BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Dari Mana Kita Memulai Memperbaiki Pendidikan Indonesia?

Penalaut.com -
Pendidikan di Indonesia kerap dinarasikan sebagai cerita yang belum tuntas. Masih ada potret suram: praktik jual beli ijazah, gelar yang hanya sekadar status tanpa isi, hingga lemahnya integritas akademik. Semua itu mencederai marwah pendidikan. Padahal, tujuan pendidikan bukan hanya mencetak pekerja atau gelar akademis, melainkan membentuk manusia berkarakter yang berguna bagi masyarakat.

Namun, kita sering lupa bahwa keberhasilan pendidikan tidak semata diukur dari Sekolah atau Universitas. Anak-anak belajar lebih dulu di rumah dan lingkungan tempat mereka tumbuh. Imam Al-Ghazali, ulama besar abad ke-11, dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa akhlak adalah kondisi jiwa yang dibentuk sejak dini. 

Ia menulis: “Akhlak adalah keadaan batin yang menetap dalam jiwa, sehingga lahir perbuatan tanpa dipikirkan atau diperintahkan terlebih dahulu.” Baginya, keluarga adalah madrasah pertama, orang tua adalah guru utama, dan lingkungan adalah faktor pendukung yang menentukan arah hidup seorang anak.

Pandangan klasik ini ternyata sejalan dengan temuan riset kontemporer. Sebuah studi yang dipublikasikan di BMC Public Health (2022) menemukan bahwa anak yang tumbuh dari keluarga dengan orang tua berpendidikan lebih tinggi memiliki kesehatan mental lebih baik, kebahagiaan lebih tinggi, dan risiko depresi lebih rendah. Survei lain di Yogyakarta (2021) menunjukkan bahwa pendidikan keluarga berpengaruh signifikan terhadap pembentukan karakter siswa, bahkan lebih kuat dibanding sekadar faktor kognitif di sekolah.

Jika demikian, dari mana kita memulai memperbaiki pendidikan di Indonesia? Jawabannya sederhana sekaligus kompleks: dari rumah.

Pertama, orang tua perlu disadarkan kembali akan peran mendidik, bukan sekadar mencari nafkah. Parenting, teladan sehari-hari, dan nilai-nilai dasar seperti kejujuran, kerja keras, dan empati jauh lebih membekas daripada seribu jam ceramah.

Kedua, sekolah harus menata ulang orientasi pendidikannya: bukan hanya mengejar capaian akademik, tetapi menanamkan integritas. Guru harus menjadi figur teladan, bukan hanya penyampai materi. 

Ketiga, masyarakat dan lingkungan harus kondusif: memberi ruang bagi anak tumbuh sehat, bebas dari praktik curang, diskriminasi, atau kekerasan.

Di level kebijakan, pemerintah bisa memperketat pengawasan praktik jual beli ijazah dan gelar, memperkuat kurikulum karakter, serta mendorong kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan komunitas. Media massa dan teknologi juga perlu mengambil bagian: menyediakan konten yang mendidik, bukan hanya menghibur.

Kesimpulannya, memperbaiki pendidikan di Indonesia bukan proyek instan. Tapi jika dimulai dari rumah, diperkuat di sekolah, dan dijaga oleh masyarakat, maka kita bisa mengembalikan marwah pendidikan sebagai jalan memanusiakan manusia. Imam Al-Ghazali memberi fondasi moralnya, riset modern memberi pembuktiannya—tinggal keberanian kita untuk memulai dari lingkaran terkecil.


Oleh: Husna Mahmudah 

Referensi:

Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Hanum, Fitri. “Pendidikan Akhlak dalam Lingkungan Keluarga Menurut Imam Al-Ghazali.” Al-Thariqah: Jurnal Pendidikan Agama Islam 1, no. 2 (2016): 101–110.

Rachmah, Nurlaily et al. “The positive effects of parents’ education level on children’s mental health in Indonesia.” BMC Public Health 22 (2022): 1181.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak