Kita semua menyaksikan bagaimana amarah tumpah ruah di jalanan. Namun, di tengah kobaran api di berbagai daerah, ada satu nama yang menjadi sorotan dari semua tragedi: Affan Kurniawan, seorang tulang punggung keluarga dan pengais rezeki, yang nyawanya harus berakhir di tangan aparat yang seharusnya melindungi dan memberikan rasa aman.
Kematiannya bukan sekadar berita, bukan sekadar poster-poster dengan tajuk ‘Rest in Peace’. Tapi ia adalah sebuah cermin, bahwa di mata kekuasaan, nyawa rakyat biasa tak lebih dari angka statistik.
Doa terbaik untuk beliau, semoga diterima di sisi-Nya, dan semoga tak ada lagi “Affan-Affan” lainnya yang harus mengalami nasib serupa.
semoga tak ada lagi “Affan-Affan” lainnya yang harus mengalami nasib serupa
Menolak Lupa: Dari Gerakan Hingga Kekerasan Negara
Kemarahan yang kita rasakan hari ini bukanlah hal baru. Ini adalah bagian dari sejarah panjang perlawanan rakyat Indonesia. Kita pernah melawan dominasi modal asing di Peristiwa Malari 1974, hingga menuntut keadilan di Gelombang Reformasi 1998. Kita tahu, ketika suara rakyat disumbat dan terhambat, perlawanan akan selalu menemukan laku juang serta jalannya.Namun, kita juga harus belajar dari kegelapan yang pernah ada. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada Mei 1998, merupakan saksi bisu betapa mengerikannya kekerasan negara. Data korban tewas dan luka-luka adalah pengingat. Nama-nama seperti Wiji Tukul, Ucok Munandar, Yadin Muhidin dan beberapa mahasiswa serta aktivis yang hilang dan tak pernah kembali adalah luka yang tak akan pernah sembuh, dan lalu yang tak boleh terulang.
Gus Dur dan Demokrasi yang Terancam
Kita sering menganggap Gus Dur sebagai sosok yang humoris, seorang intelektual muslim, dan kiai yang begitu sederhana. Tapi di balik tawa dan humornya, ada pemikiran-pemikiran yang mendalam tentang keadilan dan demokrasi.Beliau tidak pernah lelah mengingatkan kita tentang arti pentingnya memuliakan manusia. Menurut Gus Dur, “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, dan merendahkan manusia berarti merendahkan penciptanya”.
Lantas, lihatlah apa yang terjadi sekarang, ketika seorang pengemudi ojek online (ojol) tewas ditabrak lalu dilindas Rantis Brimob. Seakan seonggok nyawa seorang manusia dianggap remeh, dan sama sekali tidak berharga di mata mereka. Disusul dengan instruksi secara lisan dari Kapolri yang diperintah oleh Presiden Prabowo untuk menindak tegas bahkan “tembak di tempat” ini bukan lagi soal penegakan hukum, tapi ini adalah pembungkaman suara rakyat dengan kekerasan. Kemudian di mana kita bisa menemukan kemuliaan dan memuliakan manusia itu?.
Gus Dur juga mengajarkan kepada kita semua, bahwasanya Demokrasi sejati bukanlah soal pemilu dan pergantian kekuasaan semata. Demokrasi adalah tentang keadilan sosial. Apa gunanya demokrasi jika rakyat masih menderita, jika wakil rakyat sibuk mengurus tunjangan tidak jelas itu dan korupsi? Saya rasa beliau tak akan tinggal diam melihat keadaan yang kacau ini.
Semisal beliau masih hidup, pasti akan berdiri di samping rakyat, bukan malah menerima undangan presiden Prabowo di Hambalang. Namun jika Gus Dur yang diundang bisa jadi beliau tidak akan hadir dan jawaban ringan jika ditanya, “Ketiduran” sesederhana itu.
Karena beliau pasti tahu betul, esensi dari kekuasaan adalah melayani rakyat, bukan menindas, apalagi di tengah kondisi seperti ini. Praduga saya bisa jadi para ketua Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) itu sedang tertekan jika tidak hadir, sekali lagi ini masih praduga, di luar itu biar sejarah yang menjawab.
Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, dan merendahkan manusia berarti merendahkan penciptanya- Gus Dur -
Aksi Nyata Anak Muda: Bukan Hanya di Jalanan
Di tengah kegelapan ini, kita, orang-orang muda memiliki kekuatan dan peran yang sangat krusial. Tidak semua dari kita bisa turun ke jalan, tapi semua dari kita bisa menjadi penjaga akal sehat bangsa ini, tentu dengan kiat dan langkah apa pun yang bisa ditempuh.Kita hidup di era di mana informasi bisa jadi pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial bisa jadi alat perlawanan yang kuat. Namun di sisi yang lain, ia juga sangat rentan menjadi sarang hoaks, provokasi, dan perpecahan, hingga penghapusan fitur live Tiktok. Padahal ia sangat berguna untuk melihat langsung situasi dan kondisi di lapangan.
Maka, perlawanan kita dimulai dari dalam diri sendiri. Lawan apatisme dengan membaca. Lawan kebodohan dengan berpikir kritis. Cari tahu fakta dari sumber terpercaya, bukan hanya dari kutipan atau unggahan yang viral, lalu asal share ke sana ke mari.
Jadilah saringan informasi bagi dirimu dan orang di sekitarmu. Dalam hal ini jangan 'fomo' dengan sekadar ikut-ikutan, demi harmonisasi antara gerakan yang menapak tanah (demonstrasi di jalanan), serta gerakan yang terbang melalui jaringan (media sosial dst).
Aksi nyata tidak harus selalu heroik. Aksi nyata dimulai dari sebuah keberanian untuk tidak diam dan terus berisik. Aksi nyata bisa berupa diskusi kecil di warung kopi, menyebarkan kesadaran di grup WhatsApp keluarga, atau bahkan membuat satu tulisan yang membuka mata. Ubah kemarahan menjadi energi positif untuk membangun, dan kecemasan menjadi semangat revolusi, syukur-syukur bisa juga menyadarkan kroni-kroni perusak bangsa ini.
Jika mereka pikir kita lelah, dan jika mereka mengira kita akan diam setelah amarah ini reda, mereka telah salah besar. Mari sudahi ‘diam’ dan ‘menonton’. Ambil kembali kedaulatan kita. Bangkitkan semangat perlawanan. Jangan biarkan nyawa Affan Kurniawan menjadi sia-sia. Jangan Biarkan perjuangan para aktivis pendahulu menjadi sia-sia.
Kobarkan semangat, lawan kemunafikan!Akhiri Diammu, Turun ke Jalan, Kobarkan Perlawanan!
Oleh: Muhammad Nasrullah
Wahid, A. (1999) 'Tuhan Tidak Perlu dibela' 1999. Yogyakarta: LKiS
Tim Relawan untuk Kemanusiaan. (2006). Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Jakarta. Diakses pada 30 Agustus 2025.
Sumber
Penculikan Aktivis 1998, 13 Orang Tanpa Kabar Hingga Kini (7 September 2023). Diakses pada 30 Agustus 2025Wahid, A. (1999) 'Tuhan Tidak Perlu dibela' 1999. Yogyakarta: LKiS
Tim Relawan untuk Kemanusiaan. (2006). Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Jakarta. Diakses pada 30 Agustus 2025.
Posting Komentar