BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Iqro' itu Perintah, Artinya Bacalah! Bukan Sitalah!

Iqro' itu Perintah, Artinya Bacalah! Bukan Sitalah!
Penalaut.com - Ada yang selalu bikin saya ngakak sekaligus geleng-geleng kepala tiap baca berita: aparat menggerebek rumah seseorang, menggeledah ruangan, lalu keluar dengan wajah tegang sambil mengangkat barang bukti buku. Bukan narkoba, bukan pistol, bukan emas hasil korupsi. Tetapi buku.

Kalau dipikir-pikir, apa nggak malu? Negara yang punya tentara, polisi, drone, tank, bahkan undang-undang segudang, ternyata masih kalah mental sama tumpukan kertas berjilid yang di rak toko Gramedia harganya bahkan bisa dicicil pakai PayLater.

Paranoia ini persis kayak cowok insecure yang tiap kali pacarnya nge-like foto cowok lain langsung panik: “Kamu selingkuh ya?!” Bedanya, kalau cowok insecure cuma ngambek, sementara negara bisa menyita.

Buku dalam imajinasi aparat seolah benda gaib yang sekali dibuka bisa langsung bikin orang turun ke jalan sambil nyalain ban bekas. Padahal, coba deh, kalian baca Das Kapital-nya Karl Marx. Bukunya tebel banget, isinya penuh istilah ekonomi yang bikin kepala pening. Percaya deh, lebih banyak mahasiswa yang ketiduran pas baca ketimbang mendadak jadi revolusioner.

Tapi ya begitulah negara kita. Ketemu kata “Marxisme”, “Anarkisme”, atau “Revolusi”, langsung keringat dingin. Sama persis kayak bapak-bapak ketemu tagihan listrik bulanan: belum dibuka, udah gemeter duluan.

Ironisnya, masyarakat kita terkenal malas membaca. Data literasi Indonesia dari tahun ke tahun selalu bikin sedih. Katanya minat baca rendah, katanya orang lebih betah scrolling TikTok daripada buka buku. Kalau begitu, bukannya aparat harusnya tenang? Wong rakyat jarang ada yang baca. Tapi entah kenapa, justru di saat masyarakat makin malas baca, negara malah makin panik sama buku. Jangan-jangan sebenarnya aparat takut sama bayangan mereka sendiri.

Tan Malaka dalam Madilog pernah bilang, ilmu pengetahuan dan dialektika adalah senjata paling tajam melawan penindasan. Nah, inilah yang bikin negara insecure. Senjata tajam bisa ditumpulkan, bom bisa dijinakkan, tapi ilmu pengetahuan? Susah. Ide tidak bisa ditembak. Kalau sudah nyantol di kepala orang, selesai sudah. Itulah kenapa aparat lebih takut sama buku tipis ketimbang sama pentungan.

Ide tidak bisa ditembak. Kalau sudah nyantol di kepala orang, selesai sudah. Itulah kenapa aparat lebih takut sama buku tipis ketimbang sama pentungan.

Pramoedya Ananta Toer pun sudah wanti-wanti: “Orang boleh pintar setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah”. Mungkin ini juga yang ditakutkan negara: tulisan bisa lebih abadi daripada kursi kekuasaan. Presiden bisa ganti lima tahun sekali, tapi sebuah buku bisa hidup ratusan tahun. Bayangkan, Das Kapital terbit tahun 1867, tapi sampai sekarang masih bikin negara di belahan dunia mana pun keliyengan.

George Orwell lewat 1984 (Nineteen Eighty-Four) sudah kasih spoiler: negara otoriter selalu takut sama bahasa. Karena bahasa membentuk pikiran, dan pikiran bisa melahirkan perlawanan. Kalau hari ini aparat menyita buku, sebetulnya kita sedang menonton remake 1984 dengan latar warung kopi, di mana buku bukan cuma jadi barang bukti, tapi juga jadi “pocong” yang bikin merinding.

Tapi coba kita lihat lebih jeli. Sebenarnya, negara ini nggak benar-benar takut sama buku. Negara takut sama rakyat yang membaca buku. Karena kalau buku cuma numpuk di rak, ya aman-aman saja. Sama kayak treadmill di rumah: selama dipakai buat jemuran, nggak ada efeknya. Baru kalau dipakai beneran, keluar keringat, bikin sehat, bikin tubuh berubah. Buku pun begitu. Begitu dibaca dan dipikirkan, dia jadi mesin perubahan.

Lucunya, tindakan aparat menyita buku malah bikin promosi gratis. Begitu ada berita buku disita, orang-orang yang tadinya nggak peduli jadi penasaran: “Eh, bukunya apa sih? Kok ditakuti?” Google langsung ramai, toko online kebanjiran order, PDF-nya nyebar ke mana-mana. Jadi kalau aparat pikir mereka sedang mengamankan negara, sebenarnya mereka sedang jadi buzzer literasi.

Bayangkan, buku yang tadinya hanya dibaca segelintir mahasiswa, begitu disita, langsung viral. Dari yang tadinya sepi peminat, mendadak best seller. Jadi kalau aparat terus-terusan begini, kita bisa usul mereka dapat penghargaan sebagai “Duta Promosi Buku Terbaik Se-Indonesia”.

Dan bukan cuma teori. Sudah banyak buktinya di lapangan. Tahun 2018, aparat di Makassar menyita buku-buku bertema “kiri” dari pameran di FIB Unhas. Katanya untuk mencegah paham Komunisme menyebar. Lah, yang datang ke pameran aja cuma mahasiswa sastra, yang kalau pun pulang revolusioner paling-paling juga bikin puisi.

Tahun 2019 di Kediri, aparat datang ke toko buku, menyita beberapa koleksi, lagi-lagi alasannya sama: takut menghidupkan kembali “ajaran terlarang”. Padahal kalau benar-benar ingin mencegah radikalisme, bukannya lebih masuk akal menyita akun-akun penyebar hoaks di media sosial yang reach-nya jutaan?

Dan baru-baru ini di Bandung, beberapa orang ditangkap, bukunya disita, lalu dijadikan barang bukti di meja konferensi pers. Sungguh pemandangan aneh: di meja itu ada buku, obeng, dan spanduk. Seolah-olah buku sama bahayanya dengan senjata tajam. Saya sampai mikir, jangan-jangan nanti buku resep masakan pun bisa dituduh subversif kalau isinya ada kata “gulingkan”, seperti misalnya: “resep tahu guling”.

Di titik ini, kita bisa lihat bahwa penyitaan buku bukan soal keamanan, tapi soal ketakutan. Ketakutan negara pada ide yang tak bisa mereka kendalikan. Buku dianggap pintu masuk menuju pemberontakan. Padahal, lebih seringnya buku itu malah pintu masuk menuju insomnia karena terlalu tebal.

Dan jangan lupa, di era digital, menyita buku cetak itu sama aja kayak ngusir asap pakai kipas tangan. Nggak ada gunanya. Sekarang ada PDF, ada e-book, ada Google Drive. Bahkan ada mahasiswa yang koleksi ribuan buku digital di harddisk. Mau disita semua juga? Capek sendiri. Jadi semakin disita, semakin jelas kelihatan kalau negara ini nggak ngerti perkembangan zaman.

Di titik ini, saya cuma bisa ketawa miris. Negara yang katanya kuat, gagah, dan berdaulat ternyata bisa kalang kabut gara-gara buku.

Maka, tugas kita sederhana saja: perbanyak baca buku. Kalau bisa, justru buku-buku yang ditakuti negara. Biar mereka makin insecure. Karena begitu rakyat membaca, negara bakal sadar: kekuasaan mereka lebih rapuh daripada kertas yang mereka musuhi itu.

Dan kalau aparat masih rajin menyita buku, mungkin sudah saatnya kita patungan ngasih mereka rak buku, sekaligus voucher Gramedia. Biar mereka tahu, buku itu nggak menggigit. Buku justru bisa bikin tidur nyenyak, karena kebanyakan orang malah ketiduran pas baca. Jadi kalau ada aparat ketahuan menyita buku lagi, jangan kaget. Itu tandanya negara sedang ketakutan. Bukan ketakutan pada bom, bukan pada peluru, tapi pada huruf-huruf kecil yang diam, sederhana, tapi menyala di kepala.

Oleh: N.A. Tohirin

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak