BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Menjawab “Ejakulasi” Opini Kang Hasyim

Opini
Penalaut.com
- Opini itu subjektif. Dan Kang Hasyim keliru, kalau membaca tulisan saya menggunakan nalar oposisi biner (subjektif-objektif). Sejak awal saya memang menulis opini, bukan penelitian ilmiah. Benar kata Samsull, tulisan Kang Hasyim juga sebuah opini—yang dibuat seolah-olah “intelek-teoritis”. Begitu juga dengan tulisan Kang Slamet. Semua tulisan itu tak lebih dari sekedar opini.

Saya kira Kang Hasyim sudah tidak kesulitan lagi membedakan antara opini, esai, dan kajian ilmiah. Dia sudah sarjana. Apalagi dia berada dalam struktur PC PMII Banyuwangi. Tentu “jam terbang” Kang Hasyim lebih banyak ketimbang saya. Dengan kata lain, dia sudah banyak belajar dari “pemahaman” dan “pengalaman” ketika di PC PMII Banyuwangi. Namun, ketika saya membaca opini Kang Hasyim, sampai sekarang saya masih kebingungan: ia menulis atas nama PC PMII atau Cipayung Banyuwangi?

Kebingungan saya semakin bertambah, di saat membaca seluruh opini Kang Hasyim. Alih-alih menjawab pertanyaan “seruan objektif atau narasi sentimen”, tulisan Kang Hasyim justru sama sekali tidak menuntun kita memahami persoalan. Dia juga tidak menelanjangi tulisan saya, dan menunjukkan di mana letak kesalahan saya, selain tudingan “subjektivitas yang berlebihan” dan sebuah “pseudo-kritik”.

Selain itu, objek kritik—kalau boleh disebut demikian—Kang Hasyim ndak begitu jelas. Dia tidak menyebut nama dan lembaga, sehingga membuat opini itu tambah grambyang. Padahal saya berharap, kalau opini saya itu dilucuti dan dicincang-cincang. Tapi Kang Hasyim sama sekali tidak melakukan hal itu, dan lebih fokus menjelaskan “objektivitas”-nya Max Weber dan “pseudo-kritik”-nya Bang Saut Situmorang.

Seperti membaca sebuah artikel deskriptif, ketika membaca opini Kang Hasyim, kita akan disuguhi dua pendapat tokoh (Weber dan Bang Saut) dan interpretasi “subjektif” penulis (Kang Hasyim). Pelbagai seruan di dalam opini Kang Hasyim juga terlampau normatif dan ndakik. Alih-alih mengomentari tulisan membubarkan Cipayung Banyuwangi, dia malah sibuk memberi nasihat, laiknya menulis materi “ceramah” untuk pelatihan tingkat dasar di organisasi.

Lantas, apakah tulisan membubarkan Cipayung Banyuwangi itu seruan objektif atau narasi sentimen? Pertanyaan ini perlu dijawab. Sebab Kang Hasyim “luput” menjawab pertanyaan itu secara gamblang. Ia seperti malu-malu. Setengah hati. Atau, barangkali dia sudah kebelet “ejakulasi”, sehingga tidak ada waktu untuk menjawab pertanyaan yang dia buat sendiri.
Apakah tulisan membubarkan Cipayung Banyuwangi itu seruan objektif atau narasi sentimen? Pertanyaan ini perlu dijawab. Sebab Kang Hasyim “luput” menjawab pertanyaan itu
Pertanyaan itu, menurut saya, memiliki dua jawaban. Pertama, tulisan tersebut terbilang objektif, karena lahir dari pergumulan panjang, keresahan, kelemahan, dan kemuakan di kalangan cah enom “pinggiran”. Mereka bukan hanya dari golongan mahasiswa-organisatoris, melainkan juga dari kalangan pelajar, buruh, pedagang, suporter, hingga komunitas musik di Banyuwangi. Kalau boleh jujur, narasi “pembubaran Cipayung Banyuwangi” saya dengar malah dari mereka.

Kedua, tulisan itu memang “sentimen”. Ya, sentimen, benci, dan muak kepada tingkah polah mahasiswa “Qabil-Borjuis” itu. Bukan hanya dalam persoalan belakangan ini, melainkan juga pada sederet masalah yang terjadi beberapa tahun silam. Misalnya, mereka mengkhianati aksi sosial di Banyuwangi, sehingga membuat solidaritas massa menjadi keropos. Belum lagi, nalar dan aksi mereka, jika dibaca secara cermat, justru menguntungkan kekuasaan dan kelompok mapan—thaghut di Banyuwangi.

Perlu Kang Hasyim ketahui. Saya tidak ada masalah pribadi dengan Mas Nasa, Mas Ilham, Mas Riyan, dan Mbak Desi. Sama sekali. Tapi bukan berarti saya wajib mengikuti cara-cara mereka, to? Bukan berarti saya harus sepakat “tanpa syarat” dengan mereka, kan? Dan saya juga mafhum, kalau mahasiswa “Qabil-Borjuis” tidak sependapat dengan saya. Bisa jadi karena kepentingan mereka dan saya berbeda.

Kepercayaan saya terhadap mereka sudah hilang. Ia larut dan tenggelam akibat jejak-jejak pengkhianatan. Saya tidak percaya Cipayung Banyuwangi. Mereka, seperti sebagian besar alumni, adalah bagian dari thaghut Banyuwangi. Manipulatif. Membodohi. Membatasi. Dan menindas. Kelompok Cipayung Banyuwangi juga ikut bertanggung jawab atas “keretakan” soliditas gerakan di Banyuwangi.
Saya tidak percaya Cipayung Banyuwangi. Mereka, seperti sebagian besar alumni, adalah bagian dari thaghut Banyuwangi. Manipulatif. Membodohi. Membatasi. Dan menindas.
Kang Hasyim dan kaum “Qabil-Borjuis” barangkali mengira, bahwa saya playing victim dan pendendam. Sama sekali tidak. Saya justru malu dan kasihan melihat tingkah polah para pimpinan Ormawa kita yang “meninju ke atas” dengan “menginjak ke bawah”. Apalagi, Kang Hasyim ada di PC PMII Banyuwangi. Sampean sudah paham soal itu.

Akhir kata, saya bukan manusia baik, suci, dan merasa “sok tahu”. Saya ini hanya penganggur. Saya menulis apa saja, terutama mengenai “suara-suara” yang berusaha meletup keluar. Tulisan tentang “Qabil-Borjuis” itu adalah bagian kecil dari timbunan suara mereka yang teralienasi, salah satunya, oleh relasi-kuasa Cipayung Banyuwangi. Saya dan kawan-kawan sudah jengah. Kami semua sudah muak dengan citra dan gimmick mereka.

Lantas, kenapa Cipayung Banyuwangi tidak bubar barisan saja, Kang? Kalau sudah bubar, baru kita bareng-bareng menyusun rencana untuk membekukan PC PMII Banyuwangi. Karena ia termasuk lembaga yang sesuai dengan tulisan sampean ini:

“Organisasi mahasiswa yang terjebak pada subjektivitas hanya akan menjadi arena perebutan kepentingan, bukan lagi wadah pembelajaran dan perjuangan. Akibatnya, nilai idealisme yang seharusnya menjadi kekuatan justru terkikis oleh kebencian dan kepentingan pribadi” (Pena Laut Media, 4 September 2025).

Salam,
Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak