BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Disfungsi Norma Digital: Analisis Anomie dalam Fenomena Eksploitasi Diri untuk Keuntungan Finansial

Disfungsi Norma Digital Analisis Anomie dalam Fenomena Eksploitasi Diri untuk Keuntungan Finansial
Penalaut.com - Pada pertengahan 2024, publik Indonesia dihebohkan oleh sejumlah kasus eksploitasi diri di media sosial yang melampaui batas kewajaran. Seorang lansia dipaksa mengemis secara live streaming oleh anaknya sendiri, sementara di platform lain, anak-anak dimanfaatkan untuk menarik simpati penonton demi mendulang donasi. Yang lebih mengkhawatirkan, beberapa individu dengan sengaja mempertaruhkan keselamatan dirinya melalui aksi berbahaya—mulai dari tantangan ekstrem hingga penyiksaan diri—semata-mata untuk memancing reaksi viral dan monetisasi konten. Fenomena ini menandai pergeseran nilai yang fundamental: tindakan yang dahulu dianggap memalukan dan melanggar norma kesopanan kini justru dipertontonkan secara terbuka, bahkan dianggap sebagai strategi ekonomi yang sah di ruang digital.

Realitas ini memunculkan dua pertanyaan krusial yang menjadi fokus esai ini. Pertama, mengapa individu bersedia mengorbankan martabat pribadi mereka demi keuntungan finansial di ruang digital? Kedua, bagaimana media sosial menciptakan kondisi sosiologis yang tidak hanya memungkinkan, tetapi juga membenarkan tindakan menyimpang semacam ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, esai ini akan menggunakan kerangka teori anomie dan teori regangan sebagai pisau analisis, dengan argumen utama bahwa fenomena eksploitasi diri ini merupakan manifestasi dari disfungsi norma digital—sebuah kondisi di mana norma-norma sosial yang selama ini mengatur perilaku masyarakat mengalami erosi, digantikan oleh logika ekonomi perhatian yang mengutamakan sensasionalitas di atas martabat manusia.

Anomie: Melemahnya Kontrol Sosial

Konsep anomie yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim merujuk pada kondisi sosial di mana norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat menjadi lemah atau bahkan lenyap, menciptakan kekosongan moral yang memicu penyimpangan. Dalam kondisi anomie, individu kehilangan pedoman tentang apa yang benar dan salah karena standar perilaku yang selama ini disepakati tidak lagi berlaku secara efektif. Durkheim menjelaskan bahwa anomie sering muncul pada masa transisi sosial yang cepat, ketika masyarakat belum sempat membangun norma baru untuk menggantikan norma lama yang sudah tidak relevan.

Dalam konteks digital, media sosial telah menciptakan ruang baru yang belum memiliki norma sosial yang mapan. Kontrol sosial informal—seperti rasa malu, tekanan komunitas, atau sanksi moral—yang efektif di dunia nyata menjadi sangat lemah di ruang digital. Platform media sosial justru membangun sistem norma alternatif yang paradoks: konten yang viral dianggap sebagai kesuksesan, tanpa mempedulikan cara atau substansi untuk mencapainya. Algoritma platform secara sistematis memperkuat konten yang memicu reaksi emosional kuat, termasuk konten yang menampilkan penderitaan atau eksploitasi. Akibatnya, norma tentang martabat dan privasi pribadi terkikis, digantikan oleh norma platform yang mengukur nilai seseorang dari jumlah likes, komentar, dan donasi yang diterimanya.

Teori Regangan: Ketidaksesuaian Tujuan dan Cara

Robert K. Merton memperluas konsep anomie Durkheim melalui teori regangan, yang menjelaskan bagaimana penyimpangan sosial muncul ketika terdapat kesenjangan antara tujuan yang dilegitimasi secara kultural (seperti kekayaan dan status sosial) dengan sarana yang tersedia secara sah untuk mencapai tujuan tersebut (seperti pendidikan formal atau pekerjaan layak). Ketika individu menghadapi hambatan struktural untuk mencapai tujuan melalui cara yang sah, mereka cenderung mencari jalan alternatif yang menyimpang dari norma sosial.

Merton mengidentifikasi lima bentuk adaptasi terhadap regangan ini, salah satunya adalah inovasi—yakni menerima tujuan kultural tetapi menolak cara-cara konvensional untuk mencapainya. Eksploitasi diri di media sosial merupakan bentuk inovasi penyimpangan yang sempurna: individu tetap menginginkan kesuksesan finansial dan pengakuan sosial, namun memanfaatkan platform digital sebagai jalan pintas yang memotong jalur konvensional seperti pendidikan atau kerja keras. Media sosial menyediakan infrastruktur yang memungkinkan transformasi penderitaan menjadi modal digital—sebuah aset yang dapat segera dikonversi menjadi uang melalui sistem donasi, monetisasi konten, atau endorsement. Dalam logika ini, kerentanan bukan lagi sesuatu yang harus disembunyikan, melainkan komoditas yang memiliki nilai pasar tinggi.

Disfungsi Norma Etika: Komodifikasi Penderitaan

Algoritma media sosial dirancang untuk memaksimalkan engagement dengan cara memprioritaskan konten yang memicu respons emosional intens. Konten yang menampilkan penderitaan, tragedi, atau kerentanan cenderung mendapat perhatian lebih besar karena memicu empati instan atau rasa ingin tahu yang voyeuristik. Kondisi ini menciptakan pasar permintaan terhadap konten penderitaan, di mana semakin dramatis dan sensasional sebuah konten, semakin tinggi nilai ekonominya.

Dalam dinamika ini, penderitaan tidak lagi dipandang sebagai pengalaman pribadi yang harus dijaga kehormatannya, melainkan sebagai produk yang dapat dikemas dan diperdagangkan. Aktor yang terlibat dalam eksploitasi diri—atau eksploitasi orang lain yang rentan seperti anak atau lansia—mengalami proses dehumanisasi bertahap. Mereka mulai melihat diri sendiri atau orang lain bukan sebagai manusia dengan martabat, melainkan sebagai aset konten yang nilai ekonominya ditentukan oleh tingkat kesedihannya. Yang lebih mengkhawatirkan, proses komodifikasi ini berlangsung dalam lingkungan tanpa sanksi moral yang jelas, karena platform media sosial cenderung bersikap netral dan hanya bereaksi setelah ada laporan massal atau tekanan publik.

Disfungsi Norma Keseimbangan: Runtuhnya Batasan Privat dan Publik

Salah satu norma fundamental dalam masyarakat adalah pemisahan antara wilayah privat dan publik. Ada aspek-aspek kehidupan yang secara kultural dianggap harus dijaga kerahasiaannya—seperti kesulitan finansial, konflik keluarga, atau kondisi kesehatan—karena mengekspos hal-hal tersebut dapat merusak martabat pribadi. Media sosial telah meruntuhkan batasan ini dengan menciptakan ilusi bahwa semua aspek kehidupan layak untuk dikonsumsi publik.

Dalam logika ekonomi perhatian, privasi kehilangan nilai strategisnya. Justru keterbukaan ekstrem—bahkan tentang aib atau kesulitan pribadi—dianggap sebagai bentuk autentisitas yang menarik simpati dan donasi. Individu yang terlibat dalam eksploitasi diri mengalami krisis identitas: mereka harus terus-menerus mempertontonkan "diri virtual" yang sensasional untuk mempertahankan atensi penonton, meski itu berarti mengorbankan "diri nyata" yang memiliki kebutuhan psikologis akan privasi dan martabat. Lama-kelamaan, batas antara persona digital dan identitas sejati menjadi kabur, menciptakan kondisi di mana individu tidak lagi mampu membedakan mana yang performatif dan mana yang otentik.

Disfungsi Kontrol Sosial: Peran Masyarakat sebagai Penonton

Fenomena eksploitasi diri tidak akan bertahan tanpa partisipasi aktif dari penonton. Meskipun banyak kritikan publik terhadap konten eksploitatif, kenyataannya jumlah donasi dan engagement terhadap konten semacam itu terus meningkat. Hal ini menunjukkan adanya disfungsi kontrol sosial di tingkat masyarakat: sanksi moral yang seharusnya berupa pengabaian atau boikot justru tidak berfungsi.

Tindakan memberi donasi kepada konten eksploitatif dapat diinterpretasikan sebagai bentuk "filantropi yang malas" (lazy philanthropy)—sebuah cara bagi individu untuk merasa telah berkontribusi pada solusi masalah sosial tanpa harus benar-benar terlibat dalam upaya sistematis. Dengan memberikan sejumlah uang kecil melalui platform digital, penonton merasa telah memenuhi tanggung jawab moral mereka, padahal tindakan tersebut justru memperkuat siklus eksploitasi. Donasi instan ini tidak mengatasi akar masalah struktural seperti kemiskinan atau ketimpangan ekonomi, melainkan hanya memberikan solusi sementara yang melanggengkan ketergantungan korban pada sistem eksploitasi digital.

Kesimpulan: Mencegah Anomie Digital

Fenomena eksploitasi diri demi keuntungan finansial di media sosial bukanlah sekadar perilaku menyimpang individual, melainkan gejala sistemik dari kondisi anomie digital—sebuah situasi di mana norma-norma sosial yang mengatur martabat, privasi, dan etika telah terkikis oleh logika ekonomi perhatian yang diperkuat oleh infrastruktur platform media sosial. Teori anomie dan teori regangan memberikan kerangka untuk memahami mengapa individu memilih jalan eksploitasi diri sebagai strategi bertahan hidup ekonomi, sekaligus bagaimana media sosial menciptakan kondisi struktural yang memungkinkan penyimpangan ini terjadi tanpa sanksi sosial yang efektif.

Solusi terhadap masalah ini tidak dapat bertumpu pada penegakan hukum semata, seperti penerapan UU Perlindungan Anak atau UU KDRT, meskipun instrumen hukum tersebut tetap penting. Diperlukan pendekatan holistik yang mencakup tiga dimensi. Pertama, regulasi platform yang mewajibkan media sosial untuk bertanggung jawab atas konten yang diprioritaskan oleh algoritma mereka, termasuk pembatasan monetisasi konten eksploitatif. Kedua, peningkatan literasi etika digital yang mengajarkan masyarakat untuk kritis terhadap konten yang mereka konsumsi dan mendukung, serta memahami bahwa donasi instan bukan solusi yang berkelanjutan. Ketiga, penguatan jaring pengaman sosial di dunia nyata sehingga individu tidak perlu memanfaatkan kerentanan mereka sebagai modal ekonomi di ruang digital.

Hanya dengan mengatasi akar struktural anomie digital, kita dapat mencegah transformasi penderitaan manusia menjadi komoditas yang diperdagangkan di pasar perhatian.

Daftar Pustaka

Durkheim, Émile. (1897). Suicide: A Study in Sociology. Routledge.
Merton, Robert K. (1938). “Social Structure and Anomie”. American Sociological Review, 3(5), 672–682.
Papacharissi, Zizi. (2015). Affective Publics: Sentiment, Technology, and Politics. Oxford University Press.
Van Dijck, José; Poell, Thomas; de Waal, Martijn. (2018). The Platform Society: Public Values in a Connective World. Oxford University Press.
Zuboff, Shoshana. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. PublicAffairs.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak