PMII, yang dahulu lahir dari rahim pergulatan intelektual mahasiswa Muslim Indonesia, kini seperti kehilangan keintiman dengan akarnya sendiri. Ia tumbuh, tetapi dengan tubuh yang kosong. Ia ramai, tetapi kehilangan arah epistemologis. Organisasi yang semestinya menjadi kawah penggemblengan pikiran kini hanya menjelma menjadi mesin event. Intelektualitas dikorbankan di altar pragmatisme teknis.
Friedrich Nietzsche pernah menulis: “Manusia pada dasarnya bukan hanya hewan yang berpikir, melainkan hewan yang menilai.” Jika ukuran kaderisasi hanya berhenti pada keterampilan teknis acara, maka PMII telah kehilangan kapasitas untuk “menilai”, untuk menguji kebenaran, dan untuk melahirkan keberanian intelektual.
Mentalitas Teknoprat Pinggiran: Organisasi Sebagai EO
Mentalitas kader pun terjebak dalam apa yang bisa disebut sebagai “mentalitas teknokrat pinggiran”—sibuk mengatur rundown, proposal, konsumsi, dan panggung. Seakan-akan produktivitas kader diukur dari seberapa banyak acara yang bisa digelar, bukan seberapa dalam gagasan yang mampu digulirkan. Organisasi mahasiswa berubah menjadi Event Organizer (EO); dan dari sinilah lahir generasi kader yang miskin nalar, tapi lihai menyusun acara.Organisasi mahasiswa berubah menjadi Event Organizer (EO); dan dari sinilah lahir generasi kader yang miskin nalar, tapi lihai menyusun acara
Kegagalan Menyediakan Kaderisasi Non-Formal yang Relevan
Ironi semakin kentara ketika kita melihat bahwa di era revolusi digital, PMII seakan-akan terjebak di masa lalu. Dunia bergerak cepat: artificial intelligence, big data, green economy, hingga literasi digital menjadi kebutuhan mendesak mahasiswa. Namun PMII gagal menyediakan ruang kaderisasi non-formal yang relevan dengan zaman.Michel Foucault pernah menekankan bahwa pengetahuan bukan sekadar informasi, melainkan kekuatan yang menentukan posisi seseorang dalam struktur sosial: “Knowledge is power.” Ketika PMII tidak membekali kader dengan pengetahuan relevan, ia sebenarnya sedang memproduksi generasi yang powerless di hadapan perubahan global.
Bukankah seharusnya PMII, sebagai organisasi kaderisasi, mampu menjadi laboratorium pengetahuan alternatif?
Krisis Filsafat Gerakan
Lebih dalam dari sekadar teknis dan kurikulum, kegagalan ini adalah gejala dari krisis filsafat gerakan. Gerakan, dalam arti filosofis, bukanlah sekadar mobilisasi massa atau rutinitas acara, melainkan pencarian eksistensial akan makna kebebasan, kebenaran, dan keadilan.Søren Kierkegaard menulis: “The crowd is untruth.” Kerumunan tidak otomatis menjamin kebenaran; bahkan sering kali justru menjauhkan manusia dari otentisitas. PMII, dalam banyak anggota, lebih mencintai kerumunan (massa, struktur, acara) daripada otentisitas pencarian kebenaran.
PMII tidak lagi memposisikan dirinya sebagai subjek gerakan yang otentik, melainkan sekadar objek yang mengikuti arus kekuasaan. Gerakan yang seharusnya menyalakan api kebebasan intelektual justru dipelihara dengan logika konformitas.
Dari sinilah lahir apa yang Marx sebut sebagai alienasi: keterasingan manusia dari hakikat dirinya sendiri. Kader PMII mengalami alienasi intelektual—mereka terputus dari makna terdalam mengapa organisasi ini pernah lahir.
Eksodus Intelektual
Seandainya aku keluar, maka itu adalah bentuk perlawanan terhadap epistemologi yang mandek dan filsafat gerakan yang kehilangan ruh. Aku keluar bukan karena benci pada PMII, melainkan karena aku mencintai nilai yang lebih besar daripada sekadar organisasi: nilai kebenaran, nilai intelektualitas, dan nilai keberanian untuk berpikir merdeka.Albert Camus mengajarkan dalam The Rebel: “Aku memberontak, maka aku ada.” Keluar dari PMII bukanlah pelarian, melainkan pemberontakan intelektual terhadap stagnasi. Lebih baik dituduh membelot, daripada terjebak dalam mentalitas dan epistemologi yang menutup mata pada kebenaran.
Seandainya aku keluar dari PMII, maka aku keluar dengan satu keyakinan: lebih baik kehilangan organisasi, daripada kehilangan pikiran
Oleh: Krisna Wahyu Yanuar, Kader Menolak Kemapanan Organisasi
Posting Komentar