BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Ketika Takdir Disalahpahami, dan Pesantren Dihukumi

Penalaut.com
- Di negeri ini, sebuah kalimat bisa berubah menjadi vonis. Ketika sang Kiai dengan suara pelan, di tengah reruntuhan pesantren yang baru saja menelan enam puluh nyawa santri, mengucapkan "bahwa ini semua adalah takdir". Sontak media sosial meledak. Ada yang menyebutnya tak berperasaan, ada yang menuduhnya lari dari tanggung jawab. Dunia digital pun menjadi ruang sidang. Dan pesantren, sekali lagi, duduk di kursi pesakitan.

Namun, sedikit yang berhenti sejenak untuk bertanya: apakah benar itu kalimat yang lahir dari kelalaian, atau justru dari luka yang terlalu dalam untuk diucapkan? Dalam tradisi pesantren, “takdir” bukan pembenaran atas musibah, melainkan cara menenangkan hati di tengah kehilangan. Tetapi di telinga publik modern yang terbiasa dengan logika sebab-akibat, kata itu terdengar seperti penolakan terhadap tanggung jawab. Maka, jurang kesalah pahaman pun terbuka lebar antara dunia pesantren yang hidup dalam kesabaran, dan dunia publik yang hidup dari penghakiman.

Ketika Birokrasi Lebih Kokoh dari Bangunan

Tragedi Al Khoziny meminta kita untuk merenungkan bahwa ini bukan hanya karena korban yang jatuh, tetapi juga karena membuka sisi lain dari wajah pendidikan rakyat "kerumitan birokrat".

Untuk sekadar membangun asrama atau ruang kelas, pesantren harus berhadapan dengan izin berlapis, persyaratan administrasi yang berbelit, dan sikap aparat yang lebih pandai mempersulit daripada membantu. Padahal, di banyak daerah, pesantren berdiri bukan karena dana pemerintah, tetapi karena gotong royong para santri.

Sebagaimana diingatkan Gus Dur, pesantren adalah lembaga sosial, bukan institusi formal yang tunduk sepenuhnya pada logika negara. Ia hidup dari niat tulus masyarakat yang percaya bahwa ilmu adalah ibadah. Tapi hari ini, ketika negara absen dalam pendampingan, dan hanya hadir untuk menutup, maka yang roboh bukan sekadar gedung, melainkan kepercayaan rakyat terhadap negara.

Dalam logika Paulo Freire ini adalah wajah nyata dari penindasan struktural: ketika sistem mengabaikan konteks sosial, dan malah menghukum korban atas keterbatasannya sendiri. Pesantren yang seharusnya didukung agar lebih aman, justru dibebani dengan kewajiban administratif yang tidak proporsional. Maka ketika bencana datang, yang pertama disalahkan bukan kebijakan, melainkan mereka yang berjuang di bawahnya.

Takdir Bukan Alasan, Tapi Bahasa Duka

Di balik pernyataan sang kyai tentang “takdir,” ada konteks spiritual yang tak dibaca publik, bahkan tak dipahami oleh publik. Menurut Imam Al-Ghazali, takdir adalah bentuk pengakuan atas kekuasaan Allah setelah semua ikhtiar dilakukan. Ia bukan pelarian, tapi bentuk tertinggi dari ketundukan dan kesabaran.

Ketika seorang kiai mengatakan “ini takdir,” bukan berarti ia menolak tanggung jawab, ia sedang menenangkan murid, keluarga korban, dan santri lainnya agar tidak larut dalam dendam dan kebencian.

Namun, di era digital yang serba tergesa, kesabaran dianggap kelambanan, dan pasrah disamakan dengan lalai. Padahal, pesantren mengajarkan bahwa hidup adalah tarikan antara usaha manusia dan kehendak Tuhan. Mungkin inilah yang tidak dimengerti oleh mereka yang menuntut segalanya harus segera ada jawabannya.

Sebagaimana dikatakan Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an, iman kepada takdir justru memperkuat tanggung jawab moral: karena siapa yang percaya pada takdir, tahu bahwa setiap amal, setiap kelalaian, akan ditimbang dengan keadilan yang sempurna. Maka, tuduhan bahwa “takdir” digunakan untuk lari dari tanggung jawab justru menunjukkan miskinnya pemahaman kita terhadap makna spiritual yang dalam.

Pendidikan yang Diperkarakan

Kisah Al Khoziny adalah cermin retak pendidikan Indonesia. Ketika pesantren, yang selama ini mengisi celah kekosongan negara dalam pendidikan moral, malah dipersalahkan, kita seolah-olah sedang menepuk wajah sendiri.
Ki Hadjar Dewantara pernah berkata: "Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya". Tapi bagaimana mungkin pendidikan bisa menuntun, bila yang menuntun justru diseret ke ruang hukum tanpa empati?

Pesantren telah menjadi rumah bagi jutaan anak desa yang tak mampu membayar biaya sekolah negeri. Mereka belajar, hidup sederhana, bekerja keras, dan tumbuh dengan karakter kuat. Ketika satu tragedi menjadi alasan untuk menutup seluruh aktivitas, bukankah itu sama saja dengan menghukum ribuan santri lain yang tak bersalah?

Dalam logika Fazlur Rahman, iman dan moral seharusnya menjadi energi sosial untuk memperbaiki struktur, bukan untuk saling menuding. Maka yang perlu kita benahi bukan semangat religiusnya, tetapi sistem pendukungnya: perizinan, pendanaan, dan pengawasan yang manusiawi. Negara tidak boleh hanya hadir ketika bencana, tapi juga ketika rakyat sedang berjuang membangun.

Saat yang Runtuh Bukan Hanya Bangunan

Mungkin benar, bangunan itu roboh karena kesalahan teknis. Tapi jika yang roboh kemudian adalah empati, maka bencana sesungguhnya baru saja dimulai. Tragedi Al Khoziny bukan hanya ujian bagi pesantren, melainkan bagi kita semua, apakah kita masih mampu berpikir dengan nurani, atau hanya dengan jari-jari yang menuding.

Karena di balik tembok pesantren yang runtuh, ada nilai-nilai yang selama ini diam-diam menjaga bangsa ini tetap waras: keikhlasan, kesabaran, dan keteguhan untuk mendidik tanpa pamrih. Jangan biarkan nilai itu ikut terkubur di bawah puing-puing reruntuhan bangunan. Sebab, ketika takdir disalahpahami dan pesantren dihukum, maka yang runtuh sebenarnya adalah akal sehat dan kemanusiaan kita sendiri.


Oleh: Akid Waliyudin

Rujukan:
Abdurrahman Wahid, Bilik-Bilik Pesantren
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan Nasional
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak