BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Potret Komersialisasi Kampus Hijau: Transparansi dan Keadilan yang Hilang di Balik Seremoni Wisuda

Penalaut.comWisuda seharusnya menjadi momen sakral bagi mahasiswa—puncak perjuangan panjang menempuh pendidikan tinggi, simbol keberhasilan menuntaskan masa studi. Di kampus saya, yang tergolong kampus swasta, momen itu justru berubah menjadi beban baru yang memukul dompet mahasiswa. Biaya wisuda sebesar Rp. 2.300.000 tanpa disertai rincian yang jelas seolah menjadi bukti bahwa pendidikan kini tengah bergeser dari ruang pengabdian menjadi ladang bisnis yang menguntungkan.
Di kampus saya, yang tergolong kampus swasta, momen wisuda justru berubah menjadi beban baru yang memukul dompet mahasiswa
Ketika kampus enggan membuka transparansi penggunaan dana secara detail, pertanyaan pun mengemuka: sebenarnya, apa yang mahasiswa dapat dari nominal sebesar itu? O, tentu jelas, mereka tidak mau membuka lebar, mungkin ya karena, ketika dibuka tidak ada keuntungan secara besar. Bayangkan, 2.3 juta lho, hampir menginjak biaya Unit Kuliah Tunggal (UKT) satu semester (6 bulan). 

Padahal, gelaran wisuda kita hanya dua hari sama gladi bersih. Gong-nya lagi, surat edaran disebar pada tanggal 2 September 2025 dan terakhir pembayaran 4 Oktober 2025 (1 bulan lebih 2 hari). Menyala nggak tuh yang sudah mejadi tulang punggung keluarga? Baru gajian langsung ludes, apalagi mereka yang gajinya belum menyentuh UMR Banyuwangi.

Jangan buru-buru emosi dulu. Ini masih awal, baca sampai akhir. Nah, selain biaya wisuda, muncul pungutan lain di luar biaya wisuda tadi. Misalnya, biaya foto ijazah sebesar Rp. 100.000 dan bebas tanggungan perpustakaan Rp. 100.000. Alih-alih menjadi layanan administrasi yang wajar, pungutan tambahan ini seolah-olah menjadi strategi lembaga untuk memaksimalkan keuntungan di tengah situasi ekonomi yang tidak stabil. Mahasiswa—yang berasal dari kalangan menengah ke bawah—akhirnya terpaksa menerima ketentuan ini tanpa daya tawar, demi bisa segera mengikuti ceremony yang katanya kegiatan akademik itu.

Dalam konteks hukum pendidikan di Indonesia, setiap perguruan tinggi—baik negeri maupun swasta—wajib menjunjung asas transparansi dan akuntabilitas. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, khususnya Pasal 63 ayat (2), yang menyebutkan bahwa pengelolaan dana pendidikan tinggi harus dilakukan secara efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Artinya, pihak kampus tidak bisa semena-mena menetapkan tarif tanpa memberikan laporan terbuka kepada mahasiswa. Transparansi bukan sekadar etika kelembagaan, melainkan kewajiban hukum.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak mahasiswa justru memilih bungkam. Karena mungkin, mereka khawatir jika sikap protes akan berdampak pada proses kelulusan atau penundaan administrasi akademik. Padahal tidak demikian. Atau bisa jadi karena mereka memang males.

Press Release: Ke Mana Saja Dana Wisuda?

Pada 22 September 2025 lalu, kawan-kawan sudah berikhtiar untuk melakukan audiensi atau dialog kepada pimpinan tanpa panitia. Saat itu dihadiri tujuh orang, antara lain: kawan-kawan Senat Mahasiswa (SEMA-U) dan perwakilan mahasiswa akhir, yakni saya sendiri, yang kemudian menerbitkan press release hasil audiensi tersebut. Ini pun sempat jadi bahan cibiran, karena diklaim sebagai bentuk propaganda internal. Tetapi alhamdulillah, dari ikhtiar itu, dana Rp. 100.000 untuk foto ijazah akan dikembalikan saat pengambilan ijazah.

Dalam press release tersebut, terdapat sembilan poin utama, antara lain:

1) Permohonan pemangkasan biaya wisuda diterima oleh pimpinan dan akan dibahas lebih lanjut;

2) Tidak ada fasilitas kamar hotel yang disediakan bagi yayasan, rektor, dan wakilnya, kecuali untuk panitia yang bertugas dan UKM Paduan Suara;

3) Wisuda wajib diikuti karena merupakan kegiatan akademik (mahasiswa yang tidak mengikuti tetap harus membayar biaya wisuda);

4) Biaya lain seperti biaya foto sebesar Rp. 100.000 dan bebas perpustakaan Rp. 100.000 ternyata tidak diketahui oleh pimpinan;

5) Poin ke-4 ini akan segera diusut lebih lanjut; 

6) Biaya wisuda sebesar Rp. 2.300.000,00 mencakup serangkaian proses akademik mulai dari yudisium, gladi, hingga wisuda itu sendiri.

7) Dari dana tersebut, sekitar 30-40% digunakan sebagai dana tabungan (save) untuk pengembangan kampus, seperti pembelian tanah, aset, pembangunan fasilitas lainnya.

8) Sisanya, yaitu sekitar 60%, dialokasikan untuk operasional penyelenggaraan wisuda. Hitungan 60% ini ialah 2.300.000 x 300 x 60% = 414.000.000. Itulah kebutuhan penyelenggaraan wisuda. Kebutuhan tersebut diketahui sebagai berikut:

Kesekretariatan total: 33 jt (map kecil, tas wisuda, buku album memory alumni, gordon, undangan, dan lainnya); Sie. Acara: 24 jt (meliputi: busana protokoler, insentif pembawa nampan, instruktur padusa, make up); 102 jt (meliputi seragam panitia, toga); 190 jt (meliputi hotel, transport, ballroom, insentif, dll.); Pubdekdok: 24jt (meliputi insentif JTV, streaming, tambahan sound, fotografer); Konsumsi: 30jt; Humas, akomodasi, sewa minibus: 11jt. Sehingga total keseluruhan: 414 jt.

9) Wali mahasiswa hanya satu perwakilan yang masuk dengan alasan kapasitas ballroom hotel yang tidak mencukupi ketika memasukkan dua wali mahasiswa.

Kebijakan Pimpinan Kampus: Komersialisasi Pendidikan?

Poin pertama dalam press release di atas sudah jelas, dan mutlak tidak bisa diganggu gugat dengan alasan, sebagaimana kata pimpinan, sebagai dana habis pakai. Kalau demikian, lantas mengapa biaya foto (poin keempat) bisa kembali? Selanjutnya, di poin kedua itu sangat meresahkan bagi saya. Bayangkan, jika hal tersebut tidak ada pembahasan sama sekali, apakah kalian rela para pimpinan menggunakan kasur empuk (menginap di hotel) menggunakan dana iuran dari kita? Dengan kemasan “memuliakan seorang guru”.

Selanjutnya poin ketiga, yakni mahasiswa wajib mengikuti rangkaian wisuda, karena itu pun merupakan kegiatan akademik, kata para pimpinan:

“Kalian di awal masuk ada ospek, di akhir pun kalian juga diluluskan dengan yudisium kemudian ceremony wisuda, karna ya itu tadi merupakan kegiatan akademik,” ujar salah satu pimpinan saat forum audiensi.

Dasar pernyataan di atas apa, wahai bapak-ibu pimpinan? Apakah mereka yang tetep kekeh tidak mengikuti akan dipersulit? Jika ada yang tidak mampu kalian malah menjawab “ikut tahun depan saja”. Apakah demikian solutif? Tentu tidak. Alih-alih “membantu” mahasiswa, mereka justru semakin membebani mahasiswa dengan kalimat “ikut tahun depan saja”. 

Poin kelima, keenam, dan ketujuh itu sebenarnya sama. Yang menarik perhatian ialah, betapa lucunya mereka (para pimpinan). Jika kalian membaca, pasti ngelus dodo. Hal ini semakin jelas, bahwa “komersialisasi” ini berjalan langgeng dengan dalih yang sama terus-menerus. Mereka hanya mengambil keuntungan di momen wisuda ini dengan dalih untuk dana save atau operasional. Mbok ya seng kreatif, bukak bisnis lain gitu lo. Jualan tahu bulat kek atau apa saja. Yang penting, halal!

Pak/Bu, ini sudah berjalan tiga tahun berturut-turut lho (koreksi jika salah). Nominal dana wisuda segitu aja (antara 2,1-2,3 juta). Kalau mengambil keuntungan dengan dalih operasional, di mana bentuk konkret pengembangan kampus itu? Untuk Pembelian tanah? Memang nggak cukup dengan uang DPP dan UKT kita?

Dana organisasi intra faktanya masih dipangkas tanpa adanya edukasi, pembangunan Kampus II juga masih satu kotak, fasilitas dalam kelas ya masih gitu-gitu aja, dana riset mahasiswa juga minim, dan yang paling parah lagi, kantor DEMA-U sampai sekarang masih seperti kost-kostan kecil yang dihimpit dengan dua kamar mandi. Dan masih memakai pintu model Belanda. Sudah seperti itu, masih susah sinyal pula. Miris!

Penampakan masalah di atas tidak bisa dilepaskan dari arus komersialisasi pendidikan tinggi yang makin kuat, terutama di kampus swasta. Dalam sistem yang terlalu menekankan profit (profit oriented), pendidikan berubah menjadi industri, dan mahasiswa menjadi pelanggan yang “diperas secara halus”. Padahal, amanat dalam Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan mencari keuntungan ekonomi. Ketika kampus lebih sibuk menghitung laba daripada menumbuhkan integritas, maka idealisme akademik telah dikorbankan di altar bisnis. Bukankah demikian cara kerja kapitalis?
Ketika kampus lebih sibuk menghitung laba daripada menumbuhkan integritas, maka idealisme akademik telah dikorbankan di altar bisnis. Bukankah demikian cara kerja kapitalis?
Saya akan menjelaskan secara sederhana, seperti apa yang sudah saya pelajari. Selebihnya, silakan cari sendiri. Menurut Karl Marx dalam Das Kapital, kapitalisme ialah sistem sosial dan ekonomi yang didasarkan pada kepemilikan pribadi atas alat produksi, di mana segelintir orang (kaum borjuis) menguasai sumber daya, sementara mayoritas (kaum proletar) harus menjual tenaga atau hasil usahanya untuk bertahan hidup.

Dalam sistem tersebut, segala hal diukur berdasarkan nilai tukar (uang), bukan nilai guna (manfaat sosial). Akibatnya, relasi manusia menjadi relasi ekonomi—manusia dievaluasi bukan dari kemanusiaannya, melainkan dari seberapa besar ia bisa menghasilkan keuntungan.

Jika dikaitkan dengan fenomena pendidikan, termasuk masalah biaya wisuda yang tidak transparan dan cenderung berlebihan di Kampus Hijau itu, maka dalam analisis Marx ini, kita bisa mengatakan bahwa ia adalah sebentuk kapitalisasi pendidikan. Dalam logika kapitalisme, kampus tidak lagi dilihat sebagai lembaga pengabdian untuk mencerdaskan bangsa, melainkan sebagai “perusahaan pendidikan” yang menjual jasa akademik kepada mahasiswa sebagai konsumen. Mahasiswa menjadi komoditas, dan setiap aktivitas akademik—termasuk wisuda—berubah menjadi sarana untuk memperoleh keuntungan finansial.

Dalam Das Kapital juga, Marx menjelaskan konsep “komodifikasi”. Istilah ini merujuk pada proses di mana sesuatu yang sebelumnya bersifat sosial, moral, atau spiritual, diubah menjadi barang dagangan yang bisa dijual-belikan. Fenomena biaya wisuda yang tinggi tanpa rincian jelas adalah bentuk nyata dari proses tersebut. Upacara akademik yang seharusnya memiliki nilai simbolik dan emosional, kini direduksi menjadi transaksi ekonomi: semakin besar bayarannya, semakin megah acaranya. Nilai pendidikan bergeser menjadi nilai pasar.
Mahasiswa menjadi pihak yang dieksploitasi secara ekonomi, mereka membayar mahal, tetapi tidak memperoleh manfaat yang sebanding
Marx juga memperkenalkan istilah “eksploitasi” untuk menggambarkan situasi ketika satu pihak mendapatkan keuntungan besar dari hasil kerja atau kontribusi pihak lain tanpa imbalan yang sepadan. Dalam konteks ini, mahasiswa menjadi pihak yang dieksploitasi secara ekonomi—mereka membayar mahal, tetapi tidak memperoleh kejelasan atau manfaat yang sebanding. Kampus, sebagai pemilik “alat produksi pendidikan”, memanfaatkan posisi dominannya untuk menentukan harga sepihak, tanpa memberi ruang bagi mahasiswa untuk menawar atau menolak.

Pasca Audiensi: Di Mana Lembaga Mahasiswa? 

Ketakutan menciptakan budaya diam yang berbahaya, karena membiarkan ketidakadilan terus berjalan tanpa perlawanan. Diam di hadapan ketidakadilan berarti memberi ruang bagi kesewenang-wenangan untuk tumbuh subur. Ironinya, mereka yang seharusnya paling berani bersuara (mahasiswa), justru kini menjadi korban sekaligus saksi pasif dari praktik komersialisasi pendidikan tersebut.

Kondisi ini diperparah oleh sikap cuek lembaga mahasiswa, seperti SEMA-U, DEMA-U, dan Ormawa lainnya pasca audiensi, 22 September 2025. Mereka seharusnya menjadi representasi suara kritis di kampus, tetapi justru sekedar menjadi “penonton”masalah yang sedang terjadi. Mereka yang seharusnya berperan sebagai agen kontrol kebijakan, dan pembela hak-hak mahasiswa, kini justru tampak kehilangan sensitivitas sosial. Seperti rumah kosong yang ditinggal penghuninya, mereka hanya sibuk membuat kegiatan sebagai formalitas belaka (yang minim esensi). Padahal masalah ini ada di depan mata kita, tetapi mereka seolah diam seribu bahasa, dan sama sekali tidak ada gerakan perlawanan dari mereka.
Ketika mahasiswa dan perwakilan mereka memilih bungkam, maka kampus bisa bebas menjalankan kebijakan tanpa kontrol
Ketika mahasiswa bungkam dan perwakilan mereka memilih diam, maka kampus bebas menjalankan kebijakan tanpa kontrol. Padahal, dalam konteks demokrasi kampus, partisipasi mahasiswa adalah ruh yang menjaga keseimbangan antara kepentingan akademik dan kemanusiaan. Apakah kalian hanya bisa berkompromi dengan pimpinan, wahai pejabat mahasiswa? Di mana seorang aktivis-mahasiswa yang sering berbicara ideologi kiri; di mana mereka yang sering kali membahas isu daerah, sampai lupa bahwa kampusnya sendiri sedang sakit parah. Apakah kalian takut?

Sudah saatnya mahasiswa membuka mata dan bersatu menuntut transparansi serta keadilan biaya pendidikan. Sekali lagi saya tegaskan: keadilan. Bukan untuk melawan lembaga, melainkan untuk mengembalikan marwah pendidikan sebagai ruang pengabdian, bukan pasar bebas. Menuntut kejelasan bukanlah tindakan su'ul adab, melainkan langkah intelektual yang sah dan bermartabat. Sebab dalam dunia akademik yang sehat, kritik adalah tanda cinta terhadap kebenaran, dan keberanian bersuara adalah bukti bahwa mahasiswa masih hidup sebagai insan merdeka. Bukankah demikian adalah kewajiban kita, sebagai seorang intelektual?

Sebagai penutup, bagi yang membaca tulisan ini, jika kalian pimpinan atau para dosen, tolong jangan ujug-ujug menghakimi saya. Jika kalian tidak terima, kita bisa berdiskusi mengenal masalah ini. Toh saya bukan Roy Suryo yang mengobok-obok UGM, karena masalah ijazah-ijazahan orang Solo itu.

Saya juga tidak berniat menjelekkan nama kampus. Justru sebaliknya, saya itu peduli dengan kampus, saya mencintai kampus, dan maksud tulisan ini ialah menyuarakan dan membela hak-hak kawan-kawan mahasiswa. Jangan merasa tersakiti setelah membaca tulisan ini. Kalau berani, mari kita buat forum terbuka, kita debat dan buka-bukaan data, agar semua jelas. Jangan hanya jadi bahan rasan-rasan saja, dan kemudian hilang ditelan waktu. Saya rasa ini berdampak untuk mahasiswa. Saya yakin, apa yang saya tulis ini adalah fakta

Jika kalian mahasiswa, yang tidak terima setelah membaca ini, tolong sadarlah wahai kawan-kawan, masih ada waktu untuk bergerak. Mari bersatu untuk menjadi lebih baik ke depan dan membuat perubahan ke arah yang lebih jelas. Jangan hanya menjadi patung yang hanya bisa diam tanpa kontribusi ketika ada masalah.

Saya hanya mahasiswa biasa yang tak punya jabatan, juga tidak sok menjadi pahlawan. Saya hanya menulis apa yang saya dan kawan-kawan lihat dan rasakan. Saya menyadari, bahwa setiap penyelenggaraan wisuda memerlukan biaya, namun saya juga meyakini bahwa transparansi dan keadilan adalah bagian dari nilai-nilai akademik yang harus dijunjung tinggi oleh kampus kita.

Penulis: Robien, Mahasiswa Biasa Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi

Editor: Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak