Tayangan itu menampilkan narasi yang menyentuh aspek-aspek paling sakral dari kehidupan pesantren, relasi santri dan kiai dengan cara yang cenderung sinis dan merendahkan. Alih-alih memperkenalkan kekayaan tradisi Islam Nusantara, ia justru menimbulkan krisis representasi terhadap lembaga yang selama ini menjadi benteng moral bangsa.
Alih-alih memperkenalkan kekayaan tradisi Islam Nusantara, ia justru menimbulkan krisis representasi terhadap lembaga yang selama ini menjadi benteng moral bangsa
Media, dalam hal ini tidak hanya gagal memahami pesantren, tetapi juga gagal memahami agama sebagai ruang makna. Ketika dunia pesantren ditampilkan melalui kacamata hiburan, nilai-nilai spiritual berubah menjadi objek tontonan. Relasi santri dan kiai yang dibangun di atas adab, pengorbanan, dan cinta ilmu direduksi menjadi gestur lucu atau ritual aneh. Di sinilah letak krisisnya: media tak lagi menampilkan realitas, melainkan membentuk realitas baru yang dikonstruksi untuk memancing reaksi publik.
Trans7 memang telah meminta maaf. Namun, permohonan maaf tanpa refleksi hanyalah formalitas moral. Sebab yang rusak bukan hanya reputasi, tetapi juga makna. Media mainstream, terutama televisi, terlalu sering mengklaim diri sebagai “cermin masyarakat”, padahal yang dipantulkan seringkali bukan wajah sejati bangsa, melainkan bayangan yang telah dipoles demi kepentingan rating dan iklan.
Tayangan tentang pesantren mestinya menjadi ruang pembelajaran bagi publik untuk memahami dunia religius yang penuh makna dan etika
Tayangan tentang pesantren mestinya menjadi ruang pembelajaran bagi publik untuk memahami dunia religius yang penuh makna dan etika. Sayangnya, yang tampil justru stereotip: kiai digambarkan sebagai figur mistik, santri sebagai pengikut tak kritis, dan pesantren sebagai lembaga tertutup yang eksotik.
Namun, kritik tidak hanya perlu diarahkan pada media. Dunia pesantren pun perlu melakukan refleksi. Sudah saatnya pesantren memahami bahwa dirinya kini hidup di tengah ekosistem digital, di mana makna tidak lagi dibentuk hanya oleh kitab dan majelis, tetapi juga oleh layar dan algoritma. Jika pesantren tidak berupaya membangun narasi sendiri, maka orang lain yang akan menulis kisah mereka, sering kali dengan kacamata yang keliru.
Namun, kritik tidak hanya perlu diarahkan pada media. Dunia pesantren pun perlu melakukan refleksi
Ketertinggalan dalam literasi media menjadikan pesantren mudah disalahpahami. Padahal, pesantren menyimpan khazanah nilai yang sangat relevan dengan zaman: kesederhanaan, kejujuran, solidaritas, dan kecintaan terhadap ilmu. Nilai-nilai itu justru bisa menjadi koreksi terhadap krisis moral dunia digital yang serba dangkal dan tergesa-gesa.
Krisis representasi agama di media sebenarnya adalah krisis adab dalam memandang yang sakral. Agama dan pesantren tidak bisa dipahami dengan logika “show” atau “konten”. Ia memerlukan laku tafakur, bukan sekadar visualisasi. Namun, dalam ekosistem media modern, yang tidak menarik kamera dianggap tidak penting, yang tidak viral dianggap tidak relevan.
Maka pesantren perlu membangun kesadaran baru: bahwa menjaga marwah keilmuan dan kesalehan tidak berarti menutup diri dari dunia digital, melainkan menghadirinya dengan etika. Mengajarkan santri untuk melek media, menulis opini, membuat film pendek, atau mengelola kanal informasi sendiri adalah langkah penting agar pesantren mampu merepresentasikan dirinya dengan bermartabat.
Kesalahan Trans7 menjadi pelajaran bersama, media butuh etika, pesantren butuh strategi. Media harus menyadari bahwa setiap tayangan tentang agama adalah intervensi terhadap makna yang hidup di tengah masyarakat. Mereka tidak boleh bermain-main dengan simbol suci yang menjadi sumber nilai bagi jutaan orang. Jurnalisme bukan sekadar soal kebebasan berekspresi, tetapi juga tanggung jawab moral terhadap kebenaran dan kemanusiaan.
Sementara pesantren perlu menumbuhkan kesadaran bahwa dunia digital adalah medan dakwah baru. Mereka tidak bisa hanya menuntut penghormatan, tetapi juga perlu tampil aktif sebagai aktor representatif yang menyuarakan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin dengan cara yang relevan.
Kasus ini juga membuka refleksi lebih luas: bagaimana masyarakat modern memahami “agama” di tengah banjir informasi? Ketika keagamaan direduksi menjadi konten yang menghibur, kesalehan menjadi performatif, dan kiai menjadi selebritas, maka yang terjadi bukan lagi dakwah, melainkan komodifikasi iman.
Pesantren seharusnya menjadi benteng terhadap proses ini. Tetapi benteng itu tidak cukup kokoh jika hanya berdiri di dunia fisik. Ia harus hadir di ruang digital dengan semangat tabayyun, tawasuth, dan hikmah, bukan untuk membalas, melainkan untuk mendidik publik tentang cara berpikir yang beradab.
Pesantren harus hadir di ruang digital dengan semangat tabayyun, tawasuth, dan hikmah, bukan untuk membalas, melainkan untuk mendidik publik tentang cara berpikir yang beradab
Pada akhirnya krisis representasi ini bukan semata kesalahan satu stasiun televisi. Ia adalah cermin retak dari peradaban kita sendiri: peradaban yang kehilangan kesanggupan untuk memandang yang sakral dengan rasa hormat. Dalam masyarakat yang menjadikan segalanya konten, pesantren justru memegang peran penting untuk mengembalikan kesadaran batin, bahwa tidak semua hal harus ditampilkan, dan tidak semua yang ditampilkan mampu mewakili kebenaran.
Trans7 mungkin telah menayangkan satu episode yang keliru, tetapi kesalahan sejati ada pada cara kita, sebagai bangsa, memahami antara tontonan dan tuntunan. Di tengah gemuruh layar, pesantren seharusnya menjadi ruang hening tempat bangsa ini belajar kembali tentang makna, adab, dan kemanusiaan. Sebab tanpa itu, yang tersisa hanyalah bangsa yang pandai menonton, tapi gagal memahami dirinya sendiri.
Oleh: M. Khusna Amal (Wakil Rektor I Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember)
Posting Komentar