BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Suara Guru yang Menyadarkan

Penalaut.com
- Pagi itu, ruang kelas VII B terasa lebih senyap dari biasanya. Angin menerobos dari jendela yang setengah terbuka, membawa aroma tanah basah sisa hujan malam. Di bangku paling belakang, duduk seorang anak laki-laki bernama Rafi. Ia tampak menunduk, memainkan ujung pensilnya, sementara papan tulis di depan dipenuhi rumus-rumus Bahasa Arab yang belum sempat ia pahami.

“Rafi, coba kamu tulis arti kata ‘ikra’ di papan!” suara Bu Siti, guru Bahasa Arab, memecah keheningan.

Rafi terperanjat. Ia berdiri pelan, berjalan ke depan, lalu memegang spidol dengan tangan gemetar. Di wajahnya, tampak kebingungan yang tak bisa disembunyikan.

“Maaf, Bu… saya lupa,” jawabnya lirih.

Bu Siti menatapnya lekat-lekat. Suaranya tetap lembut, namun tegas, “Rafi, Ibu tahu kamu anak yang sopan dan rajin membantu di sekolah, tapi Ibu kecewa karena kamu kurang serius belajar. Kalau kamu mau berhasil, jangan hanya rajin bekerja. Rajin belajar juga, Nak.”

Beberapa teman menahan tawa kecil. Rafi menunduk makin dalam. Dadanya terasa sesak, seolah kata-kata Bu Siti menancap tepat di hatinya. Ia kembali duduk, sementara pikirannya melayang jauh — bukan pada pelajaran, melainkan pada sawah yang menunggu di ujung desa.

Sore harinya, setelah azan magrib berkumandang, Rafi berjalan menembus jalan setapak menuju sawah. Di tangannya tergenggam senter kecil dan karung bekas beras. Di rumah, ibunya sedang sakit, sementara adiknya merengek minta uang jajan untuk besok. Sejak ayahnya meninggal setahun lalu, Rafi terbiasa mencari bekecot di sawah untuk dijual kepada pengepul di pasar pagi.

Lumpur menempel di celana dan kakinya, tapi ia tak peduli. Setiap kali cahaya senter mengenai sesuatu yang licin dan bergerak lambat, Rafi dengan cekatan menangkapnya. Di sela sunyi malam, hanya terdengar suara jangkrik dan gemericik air sawah.

Namun, di dalam benaknya, suara Bu Siti masih bergema.

“Kalau kamu mau berhasil, jangan hanya rajin bekerja. Rajin belajar juga, Nak.”

Rafi berhenti sejenak. Ia memandang bayangan dirinya di genangan air. “Benar juga, ya… kalau aku terus begini, kapan bisa bantu Ibu lebih banyak?” gumamnya. Ada rasa malu, tapi juga semangat yang perlahan tumbuh.

Menjelang tengah malam, karungnya sudah hampir penuh. Ia pulang dengan langkah berat namun hati yang sedikit lebih tenang. Sesampainya di rumah, ia mencuci kakinya, menaruh hasil tangkapannya di dapur, lalu menatap ibunya yang tertidur lemah.

“Ibu, besok Rafi mau belajar lebih rajin, ya,” bisiknya pelan.

Keesokan harinya, di sekolah, Bu Siti sedang menulis di papan tulis ketika pintu kelas diketuk. Rafi datang terlambat, tapi kali ini wajahnya tidak menunduk. Ia meminta maaf dengan sopan, lalu duduk di bangku depan.

Ketika pelajaran dimulai, ia angkat tangan lebih dulu.

“Bu, arti ‘ikra’ itu ‘bacalah’, kan? Itu ayat pertama yang turun kepada Nabi Muhammad,” ucapnya penuh keyakinan.

Bu Siti menoleh, menatapnya dengan senyum yang tak disangka. “Iya, betul sekali, Rafi.”

Beberapa teman menatap kagum. Rafi menunduk malu, tapi ada kebanggaan kecil yang tumbuh di dadanya.

Hari-hari berikutnya, Rafi semakin tekun. Siang ia belajar, malam tetap mencari bekecot — tapi kini dengan hati yang lebih ringan. Ia tidak lagi merasa rendah karena pekerjaannya, sebab ia tahu setiap langkah di lumpur adalah bagian dari perjuangan.

Suatu sore, Bu Siti memanggilnya seusai pelajaran.
“Rafi, Ibu minta maaf kalau kemarin kata-kata Ibu membuatmu sedih.”

Rafi tersenyum, “Tidak apa-apa, Bu. Justru karena teguran itu, Rafi jadi sadar. Ternyata belajar juga bentuk ikhtiar, seperti mencari bekecot di sawah.”

Bu Siti menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu anak yang kuat, Rafi. Jangan pernah berhenti berjuang. Suara guru hanya bergema sebentar, tapi semangat muridlah yang membuatnya berarti.”

Rafi menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu, di balik setiap kritik, selalu tersimpan kasih. Dan malam itu, saat ia kembali menyusuri sawah, suara Bu Siti masih terdengar jelas di telinganya — bukan lagi sebagai teguran, melainkan sebagai cahaya yang menuntun langkahnya di antara lumpur dan bintang.


Oleh: Fathan Faris Saputro (Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi MPID PDM Lamongan)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak