Berbagai kalangan termasuk legislator partai mengusulkan penetapan bencana tersebut sebagai bencana nasional. Melegitimasi politik kepada presiden guna melakukan audit lingkungan, pemberian izin, dan penegakan hukum kepada figur-figur penyebab rusaknya lingkungan. Rekapitulasi data BNPB di 3 provinsi, pertanggal 4 Desember 2025, sebanyak 836 jiwa meninggal dunia, 509 jiwa orang hilang, dan 2.700 jiwa terluka.[1]
Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup menyatakan ada 8 (delapan) perusahaan yang berkontribusi memperparah banjir di wilayah Sumatera Utara.[2] Berdasarkan data dari Walhi Sumatera Utara, salah satu perusahaan yang andil memperparah dampak bencana adalah PT Toba Pulp Lestari (TPL). PT TPL memiliki konsesi ratusan hektare yang terletak di wilayah Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara. Wilayah hulu yang dialihfungsikan dari hutan alami, hutan adat, hutan kemenyan menjadi perkebunan monokultur.
Sejak Orde Baru, Indonesia mempermudah investasi dan menurunkan standart perlindungan terhadap alam dan lingkungan.[3] Hal ini diperparah pada masa reformasi lewat tindakan agresif proses Omnibus Law untuk melahirkan UU Cipta Kerja. Pemerintah pusat mengambil kewenangan (perizinan) daerah dalam hal tata ruang, disesuaikan dengan kepentingan nasional yang selalu dibicarakan dibawah meja. Salah satu proses deregulasi dilakukan pemerintah agar pengusaha terlibat dalam pembangunan (privatisasi). Mendiskriminasi masyarakat lewat minimnya partisipasi dalam pembuatan kebijakan.
Koruptif perizinan korporasi sudah menjadi hal wajar meskipun mendapat penolakan dari masyarakat terdampak. Investasi diberi karpet merah oleh pemegang kebijakan (pemerintah) tanpa memperhatikan izin lingkungan dan kesepakatan masyarakat. Hak-hak masyarakat digadaikan dengan iming-iming pendongkrakan pertumbuhan ekonomi daerah. Satu contoh, penolakan berkepanjangan atas beroperasinya PT TPL di Sumatera Utara oleh masyarakat adat Sihaporas.[4]
Dalam pandangan John Rawls, apa yang dimaksud ide nalar publik (public reason) ialah memahami posisi dasar setiap orang sebagai warga negara. Pemahaman dasar, penting untuk menentukan makna fairness dari hubungan politik setiap orang karena akan berdampak pada putusan yang dihasilkan dari sebuah relasi politik dalam masyarakat.[5] Seorang warga negara dapat dikatakan terlibat dalam nalar publik jika dia melakukan deliberasi yang dipandu oleh konsepsi politik yang paling masuk akal mengenai keadilan.[6]
Footnote:
[1] Geoportal Data Bencana Indonesia
[2] https://www.liputan6.com/news/read/6226572/8-perusahaan-bakal-dipanggil-klh-terkait bencana-banjir-sumatera
[3] Gaban, Farid,. Laksono Dandhy. (2025). #Reset Indonesia Gagasan Indonesia Baru. Jakarta: Indonesia Tera.
[4] Beranda | ppman
[5] Prastowo, Yustinus. Sitorus, Fitzerald K,. dkk. (2025). Etika Pada Era Krisi Etika. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
[6] Brown, Alexander.(2010). On the Public Reason of the Society of Peoples. Public Reason 2 (1)
[7] Yuza, Ahmad Fitrah., dkk. Deforestation Policy Governance In Indonesia. Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol.9, No.1, 2023 (Hal 47)
[8] Salsabila, Alyah Rezky Salsabila,. Nugroho,. Anastasya Adityawati. (2024). Analisis Keputusan Tata Usaha Negara: Perlindungan Hak Masyarakat Wadas terhadap Perizinan Proyek Tambang Bendungan Bener Berdasarkan Prinsip Free and Prior Informed Consent (FPIC). Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Humaniora Vol: 4, No 2 (Hal 8)
Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup menyatakan ada 8 (delapan) perusahaan yang berkontribusi memperparah banjir di wilayah Sumatera Utara.[2] Berdasarkan data dari Walhi Sumatera Utara, salah satu perusahaan yang andil memperparah dampak bencana adalah PT Toba Pulp Lestari (TPL). PT TPL memiliki konsesi ratusan hektare yang terletak di wilayah Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara. Wilayah hulu yang dialihfungsikan dari hutan alami, hutan adat, hutan kemenyan menjadi perkebunan monokultur.
Sejak Orde Baru, Indonesia mempermudah investasi dan menurunkan standart perlindungan terhadap alam dan lingkungan.[3] Hal ini diperparah pada masa reformasi lewat tindakan agresif proses Omnibus Law untuk melahirkan UU Cipta Kerja. Pemerintah pusat mengambil kewenangan (perizinan) daerah dalam hal tata ruang, disesuaikan dengan kepentingan nasional yang selalu dibicarakan dibawah meja. Salah satu proses deregulasi dilakukan pemerintah agar pengusaha terlibat dalam pembangunan (privatisasi). Mendiskriminasi masyarakat lewat minimnya partisipasi dalam pembuatan kebijakan.
Koruptif perizinan korporasi sudah menjadi hal wajar meskipun mendapat penolakan dari masyarakat terdampak. Investasi diberi karpet merah oleh pemegang kebijakan (pemerintah) tanpa memperhatikan izin lingkungan dan kesepakatan masyarakat. Hak-hak masyarakat digadaikan dengan iming-iming pendongkrakan pertumbuhan ekonomi daerah. Satu contoh, penolakan berkepanjangan atas beroperasinya PT TPL di Sumatera Utara oleh masyarakat adat Sihaporas.[4]
Dalam pandangan John Rawls, apa yang dimaksud ide nalar publik (public reason) ialah memahami posisi dasar setiap orang sebagai warga negara. Pemahaman dasar, penting untuk menentukan makna fairness dari hubungan politik setiap orang karena akan berdampak pada putusan yang dihasilkan dari sebuah relasi politik dalam masyarakat.[5] Seorang warga negara dapat dikatakan terlibat dalam nalar publik jika dia melakukan deliberasi yang dipandu oleh konsepsi politik yang paling masuk akal mengenai keadilan.[6]
Deforestasi di Indonesia selalu dipersoalkan dengan tumpang tindih regulasi dan kebijakan.[7] Politisasi perizinan lahan membentuk berbagai kegiatan ekstraktif. Pengelolaan hutan oleh perusahaan seringkali dibingkai dalam public reason, karena dianggap rasional dan dapat diterima secara umum. Realita di lapangan, kontribusi perusahaan untuk perkembangan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang. Membuka lapangan pekerjaan baru hanya untuk pekerja kasar, sehingga ketimpangan sosial yang terjadi di lapangan sangat masif.
Public reason memungkinkan digunakan masyarakat pada penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) ketika korporasi besar masuk ke daerah-daerah. FPIC merupakan pedoman standar untuk memastikan bahwa kebijakan yang dikeluarkan harus menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat.[8]
Public reason memungkinkan digunakan masyarakat pada penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) ketika korporasi besar masuk ke daerah-daerah. FPIC merupakan pedoman standar untuk memastikan bahwa kebijakan yang dikeluarkan harus menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat.[8]
Sejalan dengan pemenuhan public reason. Akan tetapi praktik dilapangan, pemerintah seringkali membingkai public reason yang mengarah pada kepentingan korporasi. Akibatnya masyarakat hanya menerima kerusakan ekologi dari adanya konsesi perusahaan yang masuk, seperti yang terjadi di 3 provinsi pada akhir November lalu. Sementara kerugian jelas lebih banyak ditanggung oleh masyarakat terdampak.
Oleh: Dinda Anggun Lestari
Oleh: Dinda Anggun Lestari
Footnote:
[1] Geoportal Data Bencana Indonesia
[2] https://www.liputan6.com/news/read/6226572/8-perusahaan-bakal-dipanggil-klh-terkait bencana-banjir-sumatera
[3] Gaban, Farid,. Laksono Dandhy. (2025). #Reset Indonesia Gagasan Indonesia Baru. Jakarta: Indonesia Tera.
[4] Beranda | ppman
[5] Prastowo, Yustinus. Sitorus, Fitzerald K,. dkk. (2025). Etika Pada Era Krisi Etika. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
[6] Brown, Alexander.(2010). On the Public Reason of the Society of Peoples. Public Reason 2 (1)
[7] Yuza, Ahmad Fitrah., dkk. Deforestation Policy Governance In Indonesia. Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol.9, No.1, 2023 (Hal 47)
[8] Salsabila, Alyah Rezky Salsabila,. Nugroho,. Anastasya Adityawati. (2024). Analisis Keputusan Tata Usaha Negara: Perlindungan Hak Masyarakat Wadas terhadap Perizinan Proyek Tambang Bendungan Bener Berdasarkan Prinsip Free and Prior Informed Consent (FPIC). Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Humaniora Vol: 4, No 2 (Hal 8)



Posting Komentar