BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Islam vs Barat: Siapa Sebenarnya yang Sedang Mengkolonialisasi Pikiran Kita?

Penalaut.com
- Kita sering merasa bahwa era kolonial sudah berakhir. Kita diajari di sekolah bahwa Belanda angkat kaki, Inggris pergi, Jepang menyerah, lalu Indonesia dan banyak negeri muslim lainnya merdeka. Tapi mari kita jujur: benarkah kita benar-benar merdeka? Atau jangan-jangan kita hanya berganti bentuk penjajahan? Dari tubuh ke pikiran, dari tanah ke kesadaran, dari fisik ke ideologi.

Jika pada abad ke-19 dan 20 kolonialisme hadir dengan wajah brutal—penjajahan militer, eksploitasi ekonomi, dan perbudakan sistematis—maka kolonialisme abad ke-21 jauh lebih halus. Ia tidak lagi mengikat tangan dengan rantai besi, tetapi mengikat kepala dengan rantai wacana. Ia tidak lagi merampas tanah, tetapi merampas narasi. Dan di sinilah letak persoalan paling serius: Islam sedang menghadapi kolonialisasi pikiran oleh Barat.

Dari Meriam ke Beasiswa

Dulu, penjajahan Barat dilakukan dengan kapal perang, meriam, dan pasukan bersenjata. Kini, alatnya adalah buku, kurikulum, media, hingga beasiswa. Banyak intelektual Muslim yang menempuh studi di Barat pulang dengan membawa gagasan yang mereka anggap progresif. Mereka berbicara tentang “rasionalisme Islam”, “Islam inklusif”, atau “liberalisme agama”. Semua itu terdengar indah, tapi pertanyaan mendasarnya: apakah gagasan itu lahir dari rahim Islam, atau sekadar salinan dari pola pikir Barat yang dipoles dengan bahasa Islam?

Inilah titik paling rawan: kolonialisasi pikiran tidak selalu datang dalam bentuk konfrontasi, melainkan sering menyusup melalui kolaborasi. Barat tahu betul bagaimana cara menaklukkan. Mereka tidak perlu lagi melarang umat Islam membaca Al-Qur’an; cukup buat umat Islam sendiri ragu dengan teks sucinya. Mereka tidak perlu lagi menghancurkan madrasah; cukup buat para santri merasa bahwa pengetahuan Barat lebih ilmiah, lebih maju, lebih kredibel.

Tiga Senjata Ideologi Barat

Kolonialisasi pikiran bekerja dengan “senjata” ideologis yang tampak manis, padahal menjerat:

Pertama, Kebebasan Mutlak. Barat menjual ide kebebasan absolut sebagai nilai universal. Padahal kebebasan yang mereka maksud sering kali berarti membuang otoritas wahyu dan menganggap agama sekadar urusan privat. Islam, yang menjadikan wahyu sebagai pusat kebenaran, jelas dipaksa mundur dari ruang publik.

Kedua, Relativisme Kebenaran. Semua kebenaran dianggap relatif. Tidak ada yang mutlak, semua bisa ditawar, semua bisa dinegosiasi. Bagi Islam, ini problem serius, karena Islam berdiri di atas fondasi kebenaran wahyu yang pasti. Relativisme membuat akidah tampak “fanatik”, padahal justru di situlah kejelasan moral Islam berdiri.

Ketiga, Rasionalisme Sekuler. Akal dijadikan hakim tunggal atas segala sesuatu. Jika wahyu bertentangan dengan akal (versi Barat), maka wahyu yang harus dikompromikan. Di sini letak jebakan paling halus: umat Islam dipaksa menilai agamanya dengan standar yang bukan lahir dari Islam.

Dengan tiga senjata ini, Barat membangun hegemoninya di ruang ide. Dan parahnya, banyak dari kita yang menerima tanpa curiga.

Generasi Minder: Muslim Secara Identitas, Barat Secara Pikiran

Dampak dari kolonialisasi pikiran ini terasa nyata. Banyak generasi muda Muslim yang mulai minder terhadap warisan intelektual Islam. Filsafat Yunani lebih sering dipelajari daripada filsafat Islam. Karya Orientalis dijadikan referensi primer di universitas Islam, sementara kitab turats dianggap “kuno”.

Maka lahirlah fenomena ironis: muslim secara identitas, Barat secara pikiran. Seorang mahasiswa bisa fasih bicara tentang Derrida, Foucault, atau Nietzsche, tapi gagap jika ditanya tentang al-Ghazali, Ibn Khaldun, atau Syed Naquib al-Attas. Kita bangga bisa mengutip teori Postmodernisme, tapi mengernyit jika membahas tasawuf. Kita terpesona pada jargon “human rights”, tapi alergi pada konsep maqashid al-syari’ah.

Apakah ini tanda kemajuan, atau justru bukti kolonialisasi yang berhasil?

Respons Dunia Islam: Adaptasi, Resistensi, atau Kompromi?

Tentu, dunia Islam tidak tinggal diam. Respon umat terbagi menjadi tiga pola besar.

Pertama, Adaptasi Kritis. Ada kalangan yang mencoba mengambil manfaat dari Barat tanpa kehilangan identitas Islam. Mereka belajar teknologi, sains, dan metode modern, tapi tetap menjadikan wahyu sebagai pijakan utama.

Kedua, Resistensi Total. Ada pula kelompok yang menolak habis-habisan, melihat Barat hanya sebagai racun yang berbahaya. Mereka membangun benteng ideologis dan mencoba menghidupkan Islam secara murni tanpa kompromi.

Ketiga, Kompromi Berlebihan. Nah, di sinilah masalah. Ada yang terlalu bersemangat mencari jalan tengah, sampai-sampai Islam yang tampil kehilangan ruh. Islam dipaksa jinak agar bisa diterima dalam bingkai globalisasi. Islam yang lahir bukan lagi Islam otentik, melainkan Islam versi “ramah global” yang tidak lagi mengganggu hegemoni Barat.

Pertanyaannya: apakah Islam harus terus-menerus jadi penonton, atau sudah saatnya tampil sebagai pemain utama?

Rekonstruksi Identitas: Jalan Menuju Pascakolonial

Kalau mau jujur, umat Islam hari ini sedang berada di persimpangan. Kita bisa terus menjadi konsumen narasi Barat, atau kita bisa berani membangun narasi sendiri. Dan kuncinya ada pada rekonstruksi identitas.

Rekonstruksi ini bukan sekadar nostalgia pada masa lalu gemilang, melainkan menghidupkan kembali worldview Islam sebagai filter utama. Dengan worldview ini, umat Islam tidak perlu menolak semua hal dari Barat, tapi juga tidak perlu menelannya mentah-mentah.

Kita bisa belajar sains modern, tapi tetap menempatkan wahyu sebagai orientasi. Kita bisa bicara demokrasi, tapi dengan akar nilai musyawarah dan keadilan Islam. Kita bisa mengembangkan teknologi digital, tapi tetap berpijak pada etika Islam.

Dengan cara itu, Islam tidak hanya bertahan, tapi juga menawarkan solusi bagi krisis global: krisis moral, krisis lingkungan, krisis kemanusiaan. Barat sudah terbukti gagal menyelesaikan masalah yang mereka ciptakan sendiri. Kini saatnya Islam hadir bukan sekadar sebagai “korban kolonialisasi”, tetapi sebagai alternatif peradaban.

Siapa yang Menjajah Pikiran Kita?

Pertarungan Islam dan Barat hari ini bukan lagi soal peluru dan pedang, melainkan soal pikiran dan narasi. Siapa yang menguasai pikiran, dialah yang menguasai masa depan.

Maka pertanyaan di awal kembali menggema: siapa sebenarnya yang sedang mengkolonialisasi pikiran kita? Kalau jawabannya Barat, maka tugas kita jelas: sadar, kritis, dan berani merebut kembali kendali kesadaran kita. Jangan sampai kita merasa merdeka, padahal pikiran kita masih menjadi wilayah jajahan.

Islam tidak pernah takut berdialog dengan Barat. Tapi dialog bukan berarti tunduk. Dialog berarti berani berdiri sejajar, berani menawarkan nilai, bahkan berani menolak jika itu merusak. Tanpa itu, kita hanya akan jadi tubuh Islam tanpa ruh, umat tanpa arah, identitas tanpa makna.

Dan saat itu terjadi, kolonialisme yang paling berbahaya telah menang: kolonialisme yang membuat kita nyaman dalam penjara pikiran.


Oleh: Ahmad Ilham Adli

Rujukan:

Ali, Muhamad. Islam & Penjajahan Barat: Sejarah Muslim dan Kolonialis Eropa-Kristen Memodernisasi Sistem Organisasi, Politik, Hukum, Pendidikan di Indonesia dan Melayu. Jakarta: Penerbit Serambi, 2017.
Baso, Ahmad. Islam Pascakolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme. Bandung: Mizan, 2005
Kayyis, Isnoel. Masyarakat Islam Nusantara vs Kolonialisme: Sejarah Pribumi dan Kaum Santri Melawan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2018.
Mohammad Iqbal. Peradaban Barat dan Isu-Isu Modernisasi dalam Islam. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2019.
Muid N., Abd. Islam Vs Barat, Merajut Identitas yang Terkoyak. Jakarta: PT Syamil Cipta Media, 2018.
Syarief, Nashruddin. Menangkal Virus Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani, 2015.
Z Din Muhammad. Sejarah Peradaban Islam. Surabaya: Universitas Muhammadiyah Surabaya, 2018.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak