Pendahuluan: Krisis Identitas Spiritual Gen Z
Pernahkah kalian scrolling Instagram atau TikTok, lalu menemukan konten yang membahas ayat-ayat Al-Quran tentang sifat Allah, terus dibanjiri komentar "Kok Tuhan digambarkan kayak manusia sih?" atau "Masa Allah punya tangan? Emang Tuhan butuh fisik?"? Nah, pertanyaan-pertanyaan semacam ini bukan cuma muncul di kolom komentar media sosial, tapi juga menggantung di kepala banyak anak muda Muslim saat ini.Generasi Z, yang tumbuh di era digital dengan akses informasi tanpa batas, menghadapi tantangan unik dalam memahami keimanan. Di satu sisi, mereka terpapar berbagai perspektif filosofis, sains, dan pluralisme agama yang membuat pertanyaan teologis semakin kompleks. Di sisi lain, penjelasan agama yang diterima dari lingkungan sekitar kadang terasa terlalu kaku, tidak kontekstual, atau bahkan kontradiktif. Akibatnya, muncul fenomena "spiritual but not religious", di mana banyak Gen Z merasa yakin pada Tuhan, tapi bingung dengan ritual dan dogma agama formal.
Dalam konteks Islam, salah satu area yang paling sering menimbulkan kebingungan adalah pemahaman tentang sifat-sifat Allah (الأسماء والصفات / asma' wa sifat). Ayat-ayat Al-Quran seperti "الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ / ar-Rahman 'alal 'arsy istawa" (Yang Maha Pengasih bersemayam di atas Arsy) atau "وَجَاءَ رَبُّكَ / wa ja'a rabbuka" (dan datanglah Tuhanmu) sering kali dipahami secara literal, sehingga menimbulkan kesan bahwa Allah memiliki bentuk fisik seperti manusia. Padahal, ini bertentangan dengan prinsip dasar akidah Islam yang menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari menyerupai makhluk-Nya.
Di sinilah pentingnya memahami "التفسير العقدي / Tafsir Aqoidi", yaitu pendekatan penafsiran Al-Quran yang fokus pada persoalan akidah atau keyakinan. Tafsir ini tidak sekadar menerjemahkan ayat kata per kata, tapi menggali makna teologis yang sesuai dengan prinsip-prinsip fundamental Islam, seperti tauhid (التوحيد / keesaan Allah) dan tanzih (التنزيه / pensucian Allah dari sifat-sifat makhluk). Artikel ini akan membawa kalian menjelajahi bagaimana Tafsir Aqoidi menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis Gen Z tentang sifat Allah, sekaligus memberikan perspektif yang segar dan relevan di era modern.
Apa Itu Tafsir Aqoidi? Lebih dari Sekadar Terjemahan Literal
Sebelum masuk lebih jauh, kita perlu paham dulu apa yang dimaksud dengan Tafsir Aqoidi. Kata "aqoidi" berasal dari bahasa Arab "عقيدة / aqidah" yang artinya keyakinan atau keimanan. Jadi, Tafsir Aqoidi adalah metode penafsiran Al-Quran yang menekankan pada aspek-aspek teologi, khususnya yang berkaitan dengan hakikat Allah, rukun iman, dan persoalan metafisika lainnya.Berbeda dengan tafsir biasa yang mungkin fokus pada aspek linguistik, hukum (fiqih), atau sejarah, Tafsir Aqoidi bertujuan melindungi kemurnian akidah Islam dari pemahaman yang keliru. Misalnya, ketika Al-Quran menyebutkan "يد الله / tangan Allah" (yad Allah), tafsir biasa mungkin hanya menerjemahkannya secara harfiah. Namun, Tafsir Aqoidi akan menjelaskan bahwa "tangan" di sini adalah metafora untuk kekuasaan, karunia, atau kehendak Allah, bukan organ tubuh seperti manusia.
Pendekatan ini sangat penting karena bahasa Arab, sebagai bahasa Al-Quran, kaya akan gaya bahasa metaforis (مجاز / majaz), kiasan (كناية / kinayah), dan perumpamaan (تمثيل / tamtsil). Tanpa memahami konteks dan prinsip-prinsip teologi Islam, kita bisa terjebak dalam antropomorfisme (التشبيه / tasybiih), yaitu membayangkan Tuhan dengan karakteristik manusia yang terbatas.
Para ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali, Fakhruddin ar-Razi, dan Ibn Katsir telah mengembangkan metodologi Tafsir Aqoidi ini dengan sangat sistematis. Mereka menggunakan prinsip-prinsip seperti:
- Tanzih (التنزيه / pensucian Allah dari sifat-sifat makhluk): Allah tidak memiliki bentuk, tempat, arah, atau sifat-sifat fisik lainnya.
- Takwil (التأويل / interpretasi metaforis): Ayat-ayat yang secara lahiriah mengesankan penyerupaan Allah dengan makhluk harus ditakwilkan sesuai dengan prinsip tanzih.
- Tafwidh (التفويض / penyerahan makna kepada Allah): Jika makna suatu ayat tidak jelas, umat Islam menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah sambil tetap meyakini kesucian-Nya.
Kasus Viral: "Allah Bersemayam di Arsy" dalam Perspektif Tafsir Aqoidi
Mari kita bedah salah satu ayat yang paling sering diperdebatkan: "الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ / Ar-Rahman 'alal 'arsy istawa" (QS. Thaha: 5), yang secara harfiah diterjemahkan sebagai "Yang Maha Pengasih bersemayam di atas Arsy". Banyak orang, terutama mereka yang baru belajar Islam atau terpengaruh pemahaman literalis, langsung membayangkan bahwa Allah "duduk" di atas Arsy seperti raja duduk di singgasana. Apakah pemahaman ini benar?Menurut Tafsir Aqoidi, jawabannya tegas: tidak. Mengapa? Karena Allah Maha Suci dari terikat oleh tempat, arah, atau dimensi ruang. Dalam QS. Asy-Syura: 11, Allah berfirman dengan jelas, "لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ / Laisa kamitslihi syai'un" (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya). Jika Allah benar-benar "duduk" di suatu tempat, maka Dia terikat oleh ruang dan waktu, seperti makhluk. Padahal, ruang dan waktu adalah ciptaan Allah sendiri. Bagaimana mungkin Sang Pencipta terikat oleh ciptaan-Nya?
Para ulama seperti Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsir monumental "Mafatih al-Ghaib" menjelaskan bahwa kata "istawa" dalam konteks ini harus dipahami secara metaforis. Beberapa interpretasi yang diterima di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah antara lain:
- Istawa sebagai penguasaan penuh: Maksudnya, Allah menguasai Arsy dan seluruh alam semesta secara mutlak. Ini seperti ungkapan dalam bahasa Arab, "Istawa ar-rajulu 'alal bilad" (Si Fulan menguasai negeri tersebut), yang tidak berarti orang itu secara fisik duduk di atas negeri, tapi menguasainya.
- Istawa sebagai penegasan keagungan: Arsy adalah makhluk tertinggi dan termulia di alam semesta. Dengan menyebutkan bahwa Allah "istawa 'alal arsy", Al-Quran ingin menegaskan keagungan dan kemuliaan Allah yang melampaui segala ciptaan.
Pemahaman ini juga diperkuat oleh ayat-ayat lain yang menegaskan bahwa Allah tidak terbatas oleh tempat. Dalam QS. Al-Baqarah: 115, Allah berfirman, "فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ / Fa aynama tuwallu fa tsamma wajhullah" (Ke mana pun kamu menghadap, di situ ada wajah Allah). Ayat ini menunjukkan bahwa kehadiran Allah bersifat universal, tidak terpaku pada satu arah atau tempat tertentu.
"Tangan Allah", "Wajah Allah", dan Dilema Antropomorfisme
Contoh lain yang sering menimbulkan kesalahpahaman adalah ayat-ayat yang menyebutkan "يد الله / tangan Allah" (yad Allah) atau "وجه الله / wajah Allah" (wajh Allah). Dalam QS. Al-Fath: 10, Allah berfirman, "إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ ۚ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ / Inna alladziina yubayi'unaka innama yubayi'uunallah, yadullahi fawqa aydihim" (Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka).Sekali lagi, jika kita memahami ayat ini secara literal, kita akan terjebak dalam antropomorfisme. Tafsir Aqoidi mengajarkan bahwa "tangan Allah" di sini adalah metafora untuk kekuasaan, dukungan, dan perlindungan Allah. Ketika seseorang berbai'at (berjanji setia) kepada Rasulullah SAW, mereka sebenarnya berbai'at kepada Allah, dan Allah memberikan dukungan serta perlindungan-Nya kepada mereka. Ini seperti ungkapan dalam bahasa Indonesia, "Tangan dingin seorang pemimpin", yang tidak berarti tangannya secara fisik dingin, tapi kepemimpinannya membawa ketenangan dan kesejahteraan.
Begitu juga dengan "wajah Allah" dalam QS. Ar-Rahman: 27, "وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ / Wa yabqa wajhu rabbika dzul jalali wal ikram" (Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang memiliki keagungan dan kemuliaan). Kata "wajah" di sini merujuk pada dzat atau esensi Allah yang kekal, bukan wajah dalam pengertian fisik.
Pendekatan ini penting untuk menghindari kesalahpahaman yang bisa merusak akidah. Bayangkan jika seseorang benar-benar percaya bahwa Allah memiliki tangan, kaki, dan wajah seperti manusia. Ini akan membuat konsep Tuhan menjadi sangat terbatas dan tidak sesuai dengan keagungan-Nya. Tafsir Aqoidi hadir untuk menjaga kemurnian konsep ketuhanan dalam Islam.
Relevansi Tafsir Aqoidi di Era Gen Z: Menjawab Keraguan dengan Logika
Lalu, kenapa Tafsir Aqoidi penting banget buat Gen Z? Jawabannya sederhana: karena Gen Z adalah generasi yang kritis, rasional, dan tidak mudah menerima penjelasan dogmatis tanpa argumen logis. Mereka butuh pemahaman agama yang koheren, tidak kontradiktif, dan bisa berdialog dengan pengetahuan modern.Tafsir Aqoidi menawarkan pendekatan yang intellectually honest (jujur secara intelektual). Alih-alih memaksakan pemahaman literal yang berpotensi konflik dengan akal sehat, Tafsir Aqoidi mengajarkan bahwa Al-Quran harus dipahami secara kontekstual dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip teologi yang fundamental.
Misalnya, ketika Gen Z bertanya, "Kalau Allah tidak terikat tempat, kenapa kita harus menghadap kiblat saat salat?", Tafsir Aqoidi bisa menjawab: Menghadap kiblat bukan berarti Allah ada di arah Ka'bah, tapi sebagai simbol kesatuan umat Islam dan disiplin ritual. Allah ada di mana-mana, tapi kita membutuhkan fokus fisik dalam ibadah untuk melatih konsentrasi dan kekhusyukan.
Selain itu, Tafsir Aqoidi juga relevan dalam menghadapi gelombang informasi dari berbagai sumber yang tidak semuanya kredibel. Di media sosial, banyak konten-konten yang mempromosikan pemahaman literalis ekstrem atau bahkan menyimpang dari mainstream Islam. Dengan memahami Tafsir Aqoidi, Gen Z bisa memiliki filter intelektual untuk menilai apakah suatu pemahaman sejalan dengan prinsip-prinsip akidah yang benar atau tidak.
Penutup: Dari Kebingungan Menuju Ketenangan Spiritual
Memahami Tafsir Aqoidi bukan berarti kita menolak makna lahiriah Al-Quran atau mengabaikan teks-teks suci. Sebaliknya, ini adalah upaya untuk menghormati Al-Quran dengan memahaminya secara utuh, sesuai dengan prinsip-prinsip fundamental yang diajarkan oleh para ulama salaf dan khalaf.Bagi Gen Z yang sedang mencari ketenangan spiritual di tengah hiruk-pikuk informasi digital, Tafsir Aqoidi menawarkan jalan tengah yang elegan: tetap berpegang pada teks Al-Quran, namun memahaminya dengan kedalaman intelektual yang tidak mengorbankan akal sehat. Kita tidak perlu takut bertanya, karena pertanyaan adalah awal dari pencarian kebenaran.
Jadi, ketika lain kali kalian menemukan ayat Al-Quran yang secara lahiriah membingungkan, jangan langsung panik atau malah meninggalkan pencarian. Pelajari Tafsir Aqoidi, diskusikan dengan orang yang berilmu, dan yakinlah bahwa Islam adalah agama yang sempurna, yang mampu menjawab segala kegelisahan intelektual dengan cara yang rasional dan memuaskan.
Ingat, iman yang kokoh adalah iman yang didasari oleh pemahaman yang benar. Dan pemahaman yang benar dimulai dari cara kita menafsirkan kitab suci kita sendiri. Selamat menjelajahi kedalaman makna Al-Quran, wahai Gen Z yang kritis dan cerdas!
Referensi
- Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad. Ihya Ulumuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005.
- Ar-Razi, Fakhruddin. Mafatih al-Ghaib (Tafsir al-Kabir). Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
- Ibn Katsir, Ismail ibn Umar. Tafsir al-Quran al-Azhim. Riyadh: Dar Thaybah, 1999.
- Al-Asy'ari, Abu al-Hasan. Al-Ibanah 'an Ushul ad-Diyanah. Riyadh: Dar al-Anshar, 1990.
- As-Sabuni, Muhammad Ali. Shafwat at-Tafasir. Kairo: Dar as-Sabuni, 1997.
- Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 2015.
- Siregar, Hasnil Basri. "Metodologi Tafsir Aqoidi dalam Memahami Ayat-Ayat Mutasyabihat". Jurnal Ilmiah Studi Islam, vol. 18, no. 2, 2020, hal. 145-168.
- Rahman, Fazlur. Major Themes of the Quran. Chicago: University of Chicago Press, 2009.



Posting Komentar