Penalaut.com - Dalam tradisi keagamaan, sejak baheula hingga sekarang, ada dua istilah kunci untuk memahami realitas kehidupan. Kedua istilah itu, ialah “sakral” dan “profan”. Bagi pemeluk agama, dunia sakral identik dengan kesucian, transenden, dan mengandung hakikat ketuhanan. Sementara dunia profan dipahami sebagai kebalikan dari sakralitas itu (tidak suci dan bersifat duniawi), atau sama sekali tidak mengandung unsur ilahiah. Kedua hal ini biasa digunakan oleh kaum agama atau spiritualis untuk membedakan “sesuatu” dengan sesuatu yang lain.
Misalnya, di mata umat Islam, mushaf al-Qur’an dan “mushaf” sastra serupa langit dan bumi. Sebab, buku pertama dianggap suci (disucikan), sedangkan buku kedua dipandang hanya tumpukan kertas dan coretan tinta. Demikian juga dalam memandang Ka’bah.
Keinginan seorang
Muslim “mengunjungi” Ka’bah, tidak mungkin bisa digantikan oleh selembar tiket
keliling dunia. Karena, sekali lagi, “bangunan” di Majid al-Haram itu dianggap lebih
mulia dan suci ketimbang sederet bangunan sejarah di belahan dunia mana pun.
Dengan demikian, dalam kehidupan kita saat ini, kalau mengikuti logika oposisi
biner tersebut, mengandung sakralitas dan profanitas sekaligus.
Model berpikir binary opposition
tersebut, di satu sisi, dapat membantu kita dalam memahami realitas kehidupan,
terutama memilah antara “yang sakral” (the sacred) dan “yang profran” (the
profane). Namun, di sisi lain, ia (sangat) berpotensi menimbulkan sikap ofensif
dan menciptakan sebuah “otoriatarianisme moral” di kalangan umat beragama
sendiri, kalau ada usaha desakralisasi atau penghinaan terhadap “yang sakral” itu.
Bahkan, dalam konteks tertentu, pembelaan seseorang atas kesakralan atau kesucian
sesuatu, bisa berujung pada arogansi dan tindakan destruktif.
Fenomena semacam itu bisa kita lihat, misalnya, dalam kasus penghinaan kitab suci al-Qur’an oleh seorang perempuan asal Banyuwangi beberapa waktu lalu. Masalah ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Sebab, sejauh ini, kasus yang menghebohkan warga Banyuwangi itu masih dibaca (hanya) menggunakan nalar hukum dan moral belaka.
Pendekatan hukum dan moral, selalu dipakai untuk “menghakimi”
dan menjebloskan orang lain ke lubang “neraka”. Maka tak heran, setelah masalah
itu muncul ke permukaan media sosial, bejibun “serangan” dan “penghakiman” dari
masyarakat memenuhi kolom komentar.
Oleh sebab itu, sebagai bahan refleksi
kita bersama, tulisan enteng-entengan ini berusaha menelaah “gegeran” itu
menggunakan lanskap dan pendekatan lain. Kemudian, tujuan utama ulasan ini adalah
menghidangkan sesuatu “yang belum terbaca” dalam fenomena tersebut.
Kitab Suci, Pornografi, dan Perempuan yang “Menyedihkan”
Di penghujung tahun ini, kita dihebohkan
oleh sebuah video tak senonoh di media sosial. Video itu menampilkan aksi seorang
perempuan telanjang dengan “sengaja” melecehkan mushaf al-Qur’an. Sejak November
lalu, video penistaan kitab suci itu sudah menjadi buah bibir masyarakat, wabil-khusus
netizen. Dalam tayangan video, melansir CNN Indonesia, gadis berusia
tujuh belas tahun itu hanya mengenakan hijab hitam sambil membaca al-Qur’an. Kemudian,
ia juga mengeluarkan kata-kata kasar dan meludahi mushaf al-Qur’an itu.
Usai aksi “konyol” itu viral di platform media sosial X, tak lama Polresta Banyuwangi berhasil menangkap pelaku di kediamannya, tepatnya di Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng pada 24 November 2025. Setelah diamankan, ia diserahkan ke Polda Jawa Timur dan kasus tersebut ditangani oleh Ditreskrimsus Polda Jatim.
Sampai tulisan ini dibuat, belum ada kabar
terbaru mengenai motif di balik pembuatan video dan perkembangan kasus tersebut.
Kendati begitu, menurut saya, kita masih bisa memahami masalah itu secara “kasat
mata”. Secara umum, kasus tersebut mengandung dua “dosa” sekaligus: penistaan agama
dan pornografi.
Pertama, tindakan penistaan
agama (Islam) dengan cara melecehkan mushaf al-Qur’an, tentu sangat tidak dibenarkan.
Sebab, aksi tersebut akan melukai hati umat Islam dan bisa memicu disintegrasi sosial.
Kemudian, dari segi hukum, hal itu merupakan tindak pidana, dan dikenai beberapa
pasal, antara lain: Pasal 1 UU 1/PNPS/1965; Pasal 156a, 175, 176, 177, dan 503 KUHP;
Pasal 304 UU 1/KUHP/2023 (baru berlaku 2026); Pasal 28 ayat (2) UU 1/ITE/2024.
Kedua, sebagaimana telah disinggung, saat menghina dan meludahi mushaf al-Qur’an itu, ia tidak mengenakan pakaian alias telanjang—sekadar memakai hijab berwarna hitam. Dengan demikian, kasus tersebut juga tergolong dalam pornografi dan/atau pornoaksi.
Sudah mafhum, bahwa
pornografi dan pornoaksi merupakan suatu tindakan tidak terpuji, setidaknya menurut
ajaran moral yang berkembang dalam masyarakat kita. Selain itu, pornografi juga
dapat “menodai” dan “merusak” moralitas generasi kita. Kemudian, kedua hal tersebut
adalah tindak pidana, dan telah diatur dalam Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang
Pornografi; UU 1/2023 tentang KUHP; dan UU ITE.
Dari sudut hukum dan moral di atas, kasus “hijab hitam” tersebut bisa dipahami sebagai tindak pidana dan asusila-amoral. Terlepas apa motif di balik aksi “konyol” itu, menurut saya, dia adalah perempuan yang sangat “menyedihkan”. Sebab, sekadar untuk mendapatkan “perhatian” orang lain saja, dia harus “mencelakai” diri sendiri dan mencoreng nama baik keluarga.
Dalam
konteks ini, ia memang “salah”. Tapi bukan berarti, perempuan asal Genteng itu tidak
lagi memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Selama dia masih hidup, dan kiamat
belum tiba, niscaya pintu taubat masih menganga untuk dia.
Bibliolatrisme & Otoritarianisme Moral: Membaca Sesuatu “Yang Belum Terbaca”
Kalau kita membaca secara cermat, dalam
kasus “kitab suci dan pornografi” tersebut, ada semacam usaha desakralisasi
mushaf al-Qur’an oleh pelaku. Meski, usaha itu dia lakukan dengan cara “murahan”.
Sementara, mayoritas umat Islam di Indonesia, khususnya di Banyuwangi, memandang
mushaf al-Qur’an sebagai “benda suci” dan mulia. Bahkan, tidak sedikit dari mereka
bersikap “bibliolatristik”—mengagungkan kitab suci secara berlebihan, sehingga menyerupai
penyembahan. Tentu, kita sama-sama tahu, bahwa sikap terakhir ini sama sekali tidak
dibenarkan dalam Islam.
Oleh sebab itu, sangat bisa dipahami,
mengapa masyarakat (Muslim) di Banyuwangi “marah” dan sampai “menghakimi” penghina
mushaf al-Qur’an tersebut. Hati mereka tercabik-cabik, kesabaran mereka ditantang,
dan akidah mereka tengah diuji. Sebagian dari mereka, merasa harus menumpahkan komentar
nyelekit di media sosial sebagai bukti, bahwa mereka masih “beriman”. Mengenai
hal ini, silakan lihat sederet komentar “menohok” dalam salah satu unggahan akun
Instagram @banyuwangi24jam (8
Desember 2025). Selain dari masyarakat, tanggapan “normatif” juga datang dari Sekretaris
MUI
Banyuwangi (11 Desember 2025).
Alih-alih membela kesucian mushaf al-Qur’an
dan menjaga kondisivitas sosial, mereka malah menciptakan “otoritarianisme moral”.
Istilah ini bisa dimaknai sebagai sebuah sikap merasa “paling benar” atau “paling
mulia” di antara orang lain. Dalam konteks “gegeran” itu, para komentator menjadi
self (subjek), dan pelaku sebagai the other (objek). Seolah-olah,
sebagai subjek, mereka merasa “paling benar” dan memiliki hak untuk menghakimi objek (pelaku).
Bahkan, bagi mereka (komentator), barangkali hal tersebut “wajib” dilakukan.
Padahal, dalam al-Qur’an sendiri, kita diperintah untuk saling mengasihi sesama umat Islam (QS. Al-Fath [48]: 29). Dan kalau toh ada seorang Muslim melakukan kesalahan, kita dihimbau menasihati mereka dengan hikmah dan kebaikan (QS. An-Nahl [16]: 125), dengan penuh kelembutan (QS. Ali Imran [3]: 159), melalui kata-kata yang baik (QS. Al-Baqrah [2]: 83), dan menasihati mereka untuk kebenaran dan kesabaran (QS. Al-‘Ashr [103]: 1-3).
Jika
demikian, mengapa kita sibuk mencela, menghakimi, dan “menerakakan” sesama Muslim?
Lantas, atas dasar apa kita melakukan hal tersebut?
Ketika mengetahui orang lain berbuat salah, kita diwajibkan untuk menasihati mereka, bukan malah mencaci maki dan membenci. Setiap manusia memiliki aib masing-masing. Dan dalam konteks ini, aib penghina mushaf al-Qur’an itu sebagian telah “dibuka” oleh Tuhan. Sebagai sesama umat Islam, seyogianya kita dapat memetik hikmah dan mengambil ibrah (pelajaran) dari fenomena tersebut.
Jika memungkinkan memberi nasihat, maka kita harus memastikan, bahwa nasihat itu
tidak melukai hati, merendahkan martabat kemanusiaan, dan memosisikan diri kita
“lebih mulia” dari dia. Namun, kalau yang terjadi justru sebaliknya, berarti kita
telah “menghina” atau “melecehkan” al-Qur’an!
Akhirul kalam, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud membenarkan tindakan perempuan asal Genteng Wetan itu. Juga tidak memiliki pretensi untuk membela dia. Sama sekali bukan demikian. Secara terbuka, tujuan saya ialah ingin mengajukan sebuah pertanyaan ini: adakah di antara kita yang tidak pernah melecehkan atau menghina al-Qur’an?
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah
*) Saya juga telah menulis tentang topik serupa (tulisan kedua), tetapi dengan narasi yang agak berbeda di akun media sosial pribadi saya (Instagram). Selengkapnya, kunjungi tautan ini.



Posting Komentar