Data menunjukkan 836 jiwa telah meninggal, 609 orang masih hilang, dan lebih dari 3,2 juta orang terdampak. Ada 1.009 satuan pendidikan yang terkena dampak, 326 di antaranya rusak, ada yang hanyut, ada yang tinggal rangka basah yang sulit dikenali sebagai sekolah.
Di situ, pertanyaannya bukan lagi “kapan sekolah dibuka kembali?”, tetapi “bagaimana pendidikan bisa tetap berjalan ketika orang-orangnya sendiri sedang berjuang untuk bertahan?”
Banyak anak kini tinggal di tenda pengungsian. Mereka tidur di atas tikar tipis, bangun dengan udara dingin, makan seadanya. Buat sebagian dari mereka, sekolah bukan lagi prioritas. Yang penting adalah bertahan hari ini.
Dan guru? Mereka juga manusia. Mereka pun korban. Ada yang rumahnya hanyut, ada yang kehilangan keluarga. Di satu sisi mereka bingung bagaimana memulai hidup lagi, tapi di sisi lain masyarakat menunggu mereka kembali mengajar. Beban itu berat. Guru juga butuh ruang untuk beristirahat dari luka, untuk merapikan napas, dan mendapat dukungan agar mampu berdiri lagi. Tanpa itu, mereka hanya “ada”, tapi tidak benar-benar hadir.
Keberlanjutan pendidikan setelah bencana bukan tentang seberapa cepat anak-anak kembali ke kelas. Tapi tentang bagaimana membuat mereka dan para gurunya merasa bahwa hidup mereka masih punya harapan. Banjir mungkin menghapus banyak hal, tapi pendidikan yang manusiawi bisa membantu mereka menemukan sesuatu yang tidak bisa hanyut: keberanian untuk memulai hidup kembali.
Oleh: Husna Mahmudah
Di situ, pertanyaannya bukan lagi “kapan sekolah dibuka kembali?”, tetapi “bagaimana pendidikan bisa tetap berjalan ketika orang-orangnya sendiri sedang berjuang untuk bertahan?”
Banyak anak kini tinggal di tenda pengungsian. Mereka tidur di atas tikar tipis, bangun dengan udara dingin, makan seadanya. Buat sebagian dari mereka, sekolah bukan lagi prioritas. Yang penting adalah bertahan hari ini.
Ada anak yang kehilangan ibu, ada yang kehilangan ayah, ada yang kehilangan keduanya. Rasanya tak mampu membayangkan bagaimana mereka bisa kembali belajar menulis dan berhitung, sementara luka kehilangan itu masih benar-benar baru.
Trauma mereka tidak terlihat, tapi pasti terasa. Kelak, ketika sekolah darurat mulai berjalan, mungkin tubuh mereka hadir, tapi hati mereka masih tertinggal di rumah yang sudah hilang. Karena itu, pendidikan setelah bencana tidak boleh hanya soal “mengajar lagi”. Ia harus hadir sebagai teman pemulih dengan mendengarkan cerita mereka, memberi ruang untuk menangis, bermain, tertawa sedikit demi sedikit, sampai dunia kecil mereka pulih.
Dan guru? Mereka juga manusia. Mereka pun korban. Ada yang rumahnya hanyut, ada yang kehilangan keluarga. Di satu sisi mereka bingung bagaimana memulai hidup lagi, tapi di sisi lain masyarakat menunggu mereka kembali mengajar. Beban itu berat. Guru juga butuh ruang untuk beristirahat dari luka, untuk merapikan napas, dan mendapat dukungan agar mampu berdiri lagi. Tanpa itu, mereka hanya “ada”, tapi tidak benar-benar hadir.
Keberlanjutan pendidikan setelah bencana bukan tentang seberapa cepat anak-anak kembali ke kelas. Tapi tentang bagaimana membuat mereka dan para gurunya merasa bahwa hidup mereka masih punya harapan. Banjir mungkin menghapus banyak hal, tapi pendidikan yang manusiawi bisa membantu mereka menemukan sesuatu yang tidak bisa hanyut: keberanian untuk memulai hidup kembali.
#prayforsumatera
#sumaterakembalipulih
Oleh: Husna Mahmudah



Posting Komentar