Tapi juga perlu diperhatikan hal lain dari itu adalah ketika ditentukan ber-pidato dengan durasi yang singkat, ”Bukankah seharusnya seorang pembicara juga memilih materi yang ringan dan cukup untuk dijelaskan dengan waktu yang singkat juga?”, bukan sebaliknya, alih-alih membawa materi yang ringan, dengan waktu yang singkat malah membawa materi yang berat, yang sebenarnya materi tersebut sangat perlu dijelaskan dengan waktu yang cukup panjang serta lebar.
Yang saya takutkan ketika hal ini terjadi, bukannya memahamkan masyarakat malah menjadi salah pahamnya masyarakat dalam memutuskan kesimpulan-kesimpulan dari materi yang dibawa. Bukan malah tenang, masyarakat kebingungan, resah, bahkan gelisah setelah pulang dari majlis tersebut. Hal tersebut merupakan hal yang bahaya dalam disiplin keilmuan, kemudian dengan waktu yang tidak sampai tiga puluh menit, saat itu materi yang dibawakan adalah perihal “Hakekat Ilmu”, yang dalam tulisan ini saya simpulkan materi yang dibawakan saat itu adalah termasuk pada jeratan Logika Jumud – Diskriminatif.
Logika Jumud
Logika yang mengatakan bahwa santri yang sesuai dengan ilmunya haruslah menjadi seorang kyai atau ustadz merupakan logika yang kuno dan Jumud. Kata jumud adalah bahasa Arab yang dalam bahasa indonesia berarti: membeku, mengeras, atau lebih mudahnya logika jumud saya artikan dengan logika kuno yang dangkal, tertutup, dan tidak berkembang beriringan pada setiap zamannya.Begitu juga dengan orang-orang yang masih berpendapat bahwa menjadi santri itu hanya sekedar “mengaji” saja. Saya jadi penasaran yang dimaksud oleh orang-orang seperti itu terkait ngaji, ”Mengaji yang seperti apa dan bagaimana?”
Saya curiga orang yang memiliki pendapat-pendapat seperti itu adalah orang-orang yang tidak paham mengaji, atau bahkan tidak tau apa sebenarnya hakikat dari santri dan ngaji.
Padahal ketika pendapat-pendapat seperti itu direalisasikan atau memang terjadi di masyarakat, saya yakin pasti akan timbul siklus sosial yang renggang dan tidak sehat, dikarenakan semua santri di setiap daerah berambisi menjadi kyai dengan kebanggaan terhadap santri-santrinya, maka akan terjadi persaingan yang tidak sportif, hasil yang tidak maksimal, dan malah membuat citra kaum santri menjadi buruk di masyarakat.
Beda halnya ketika semua santri di setiap daerah tersebut dapat meluangkan waktu duduk, ngopi, dan diskusi bersama, saling memahami potensi masing-masing dan berkomitmen untuk saling mendukung dan membantu.
Yang ahli dalam bidang pendidikan ilmu agama, di dukung untuk mengajar anak-anak bahkan masyarakat di daerah tersebut, yang ahli dibagian perdagangan di dukung dalam bidang perdagangannya, yang ahli di dalam pertanian di dukung dalam bidang pertaniannya. Dengan demikian dari contoh tiga bagian berbeda itu semua saling support dan fokus di bagian masing-masing maka akan terwujud potensi adanya pendidikan, perdagangan, juga pertanian yang baik dan berkualitas.
Logika Diskriminatif
Sebagian orang menganggap ada ilmu yang tidak penting untuk dipelajari, mereka yang membuat sekat antara: ini adalah ilmu dunia dan itu adalah ilmu akhirat, bahkan lebih dari itu adalah anggapan dan membedakan antara: ini adalah ilmu orang islam dan itu adalah ilmu orang kafir yang tidak layak untuk dipelajari orang islam, yang mana pada tulisan ini saya sebut logika seperti itu adalah logika diskriminatif.
Diskriminatif yang dimaksud adalah tindakan, sikap, atau perilaku yang dilakukan untuk menyudutkan pihak lain, dalam hal ini yaitu membeda-bedakan suatu ilmu dengan menyudutkan ilmu yang lain. Logika seperti ini adalah logika yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. atau para sahabatnya, karena Rasulullah SAW. adalah sosok yang revolusioner, lebih-lebih dalam hal ilmu pengetahuan. Beliau tidak pernah membedakan jenis ilmu, karena hakikat dari semua ilmu adalah milik dan atas izin dari Allah swt.
Hanya saja yang perlu ditentukan adalah skala prioritas ilmu apa yang harus dipelajari terlebih dahulu atau didahulukan dari pada yang lain, tanpa mengganggap remeh ilmu yang lain. Setelah itu, sebagai mukallaf yang juga berkewajiban untuk berdakwah, seseorang dapat mempelajari ilmu-ilmu lain yang masih dibutuhkan oleh dirinya ataupun masyarakat luas. Oleh karena itu, terdapat kitab fikih yang menerangkan bahwa ada ilmu-ilmu yang diwajibkan secara fardhu ain dan fardhu kifayah untuk dipelajari, seperti ilmu pertanian, ilmu kedokteran, ilmu arsitektur, ilmu teknologi, dan lain sebagainya. Karena jika tidak ada yang mempelajarinya, maka akan timbul kerusakan bagi umat manusia.
Saya ulangi lagi, Rasulullah SAW. adalah sosok yang sangat terbuka dan revolusioner, hal ini terbukti saat beliau menerima saran dari sahabat Salman al-Farisi dalam perang khandak untuk menggali parit mengelilingi kota Madinah. Meskipun hal tersebut adalah ilmu peperangan yang berasal dari orang Persia dan belum pernah diaplikasikan oleh orang Arab.
Bahkan, sebagaimana yang terkenal dalam hadis, Rasulullah SAW. pernah memerintahkan para sahabatnya untuk belajar sebanyak-banyaknya, mencari ilmu seluas-luasnya, bahkan jika harus pergi ke negeri China. “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri China.” Terdapat beberapa kaidah yang saya dapat dari beberapa teman bahkan guru, dan hal ini saya pegang dan harus diperhatikan setelah mengetahui logika Jumud-diskriminatif.
1) Agama islam adalah agama yang dapat dan harus sesuai di setiap tempat, zaman, dan keadaan.
2) Ambil yang baik, tinggalkan yang buruk
3) Menjaga sesuatu/tradisi lama yang baik, dan mengambil sesuatu/tradisi baru yang lebih baik.
4) Orang yang berakal harus paham di setiap zamannya, menerima realita zamannya, perhatian dan menjaga lisannya.
5) Bukan menunggu atau memilah antara yang baik dan buruk, tapi membuat dan mengusahakan setiap sesuatu menjadi baik.
Sangat saya sayangkan jika sampai detik ini terdapat sebagian dari kaum sarungan yang masih ditemukan mereka memiliki dan mempertahankan logika jumud – diskriminatif dan pendapat-pendapat yang kurang tepat terkait dikotomi ilmu pengetahuan.
Terakhir, saya membayangkan mungkin jika Rasulullah SAW. masih hidup di zaman kita saat ini, dimana kehidupan yang dulu secara singkatnya terbagi hanya menjadi dua: hidup di dunia dan di akhirat, dan sekarang sudah terbagi menjadi tiga: hidup di dunia, sosial media, dan akhirat.
Melihat zaman yang sangat komplek ini mungkin beliau akan memerintahkan umatnya tidak hanya aktif di media sosial, tetapi bahkan membuat platform media sosial mereka sendiri. Mereka harus dapat menguasai YouTube, Instagram, Twitter, dll. Bukan hanya sebagai pembuat konten, melainkan sebagai pemilik sistemnya. Jika itu tidak memungkinkan, mereka harus membuat platform media sosial yang sebanding dengan itu semua. Dan mungkin juga, beliau akan berkata: “Belajar dan Perhatikanlah kehidupan di sosial media kalian, karena itu adalah sunnah ku, barang siapa yang tidak suka dengan sunnah ku, maka (silakan),”
Sekian.
30/01/2025
Oleh: M. Roqy Azmi
Posting Komentar