BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Klash Kontroversial: ML atau FF? Analisis Dampak Religiusitas & Psikologi Generasi Z di Era Metaverse

Penalaut.com -
Gema perang virtual antara Mobile Legends (ML) dan Free Fire (FF) tak hanya berkecamuk di layar ponsel, tapi juga merambah ke ranah agama dan psikologi remaja. Di tengah maraknya tren gaming di kalangan Generasi Z (lahir 1997–2012), pertanyaan kritis mengemuka: "Mana yang lebih berpengaruh buruk—ML atau FF?" atau justru sebaliknya, "Bisakah game-game ini menjadi media pembelajaran yang kreatif?"

Data Sensor Tower (2025) mencatat, ML dan FF masih mendominasi unduhan mobile game di Asia Tenggara, dengan rata-rata pemain menghabiskan 2–4 jam per hari. Di Indonesia, 68% pemain berusia 12–24 tahun—masa kritis pembentukan karakter dan keimanan. Survei Lembaga Kajian Digital dan Akhlak (LKDA) Yogyakarta terhadap 1.200 remaja mengungkap fakta mencengangkan: 42% pemain ML/FF mengaku sering lupa waktu salat, 27% terbiasa berkata kasar saat ranked match, dan 15% menggunakan uang jajan untuk top-up tanpa izin orang tua.

Psikolog klinis, Dr. Aisyah Ramadhani, M.Psi., menjelaskan bahwa mekanisme reward system dalam ML dan FF—seperti winning streak, skin eksklusif, atau peringkat—merangsang dopamin berlebihan. "Ini memicu adiksi mirip judi. Remaja jadi mudah emosi saat kalah dan mengabaikan tanggung jawab nyata," paparnya.

Tak hanya itu, budaya toxic seperti bullying sesama pemain, kata-kata kotor, dan cheating turut membentuk kepribadian negatif. "Ada fenomena split personality: di dunia nyata pendiam, tapi di game menjadi agresif," tambahnya.

Ustaz Muhammad Al-Fatih, pengasuh Pesantren Digital, mengingatkan sabda Rasulullah (ﷺ):

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ...

"Kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat hingga ditanya tentang empat hal: umurnya untuk apa dihabiskan..." (HR. Tirmidzi).

"Bermain game boleh asal tidak melalaikan kewajiban. Tapi, jika sampai meninggalkan salat, berbohong untuk top-up, atau menyakiti orang lain lewat chat, itu sudah masuk haram," tegasnya.

Beberapa langkah konkret bisa diambil:
1. Pembatasan waktu lewat parental control.
2. Edukasi literasi digital di sekolah dan masjid.
3. Sinergi dengan developer untuk membuat konten edukatif, seperti skin bertema sejarah Islam atau quest berbasis nilai moral.

Free Fire sendiri telah meluncurkan mode "Anti-Toxic" yang memfilter kata kasar, sementara ML mengadakan turnamen amal untuk remaja pesantren. Namun, menurut pengamat teknologi edukasi, Ahmad Zaki, "Ini belum cukup. Perlu regulasi lebih ketat, termasuk batasan spending untuk pemain di bawah umur."

Di sudut sebuah warnet Yogyakarta, Rian (17 tahun), pemain legendary ML, mengaku bingung: "Saya tahu harus kurangi main game, tapi sulit. Teman-teman semua onfire terus." Ceritanya mewakili dilema jutaan remaja.

Tantangan ke depan semakin kompleks dengan hadirnya metaverse dan AI-generated content. Jika tidak diimbangi dengan fondasi agama dan pengawasan, Generasi Z berisiko tersesat dalam labirin virtual—terjebak antara clash di game dan clash nilai kehidupan.

Firman Allah dalam QS. Al-Hadid: 20:

وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًا ۖ وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٌ ۚ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ

"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu, serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan..."


Oleh: Nashrul Mu’minin (Content Writer, Yogyakarta)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak