Pena Laut - Dunia jas putih—sebutan untuk tenaga medis—selama ini dianggap sebagai benteng kemanusiaan. Namun, di balik seragam steril dan stetoskop yang menggantung di leher, tersembunyi luka yang tak terlihat: kekerasan seksual berulang terhadap pasien, perawat junior, atau bahkan sesama tenaga kesehatan. Pola ini bukan sekadar isu lokal, melainkan fenomena global yang terus menganga seperti luka yang tak kunjung dijahit. Data terbaru dari Perhimpunan Dokter Indonesia (PB IDI) menyebutkan bahwa dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada 120 laporan kekerasan seksual di lingkungan medis, dengan 80% korban adalah perempuan. Angka ini mungkin hanya puncak gunung es, mengingat budaya “diam demi karir” masih kuat mengakar.
Allah SWT telah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Allah SWT telah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Ayat ini jelas mengharamkan segala bentuk eksploitasi seksual, termasuk pelecehan yang terjadi di balik tembok rumah sakit. Namun, mengapa praktik ini masih terus berulang?
Kasus terbaru yang mengguncang dunia medis adalah pemecatan seorang dokter senior di Bandung karena terbukti melakukan pelecehan terhadap enam perawat selama tiga tahun. Korban mengaku takut bersuara karena ancaman mutasi dan stigma “perusak nama baik institusi”. Mirisnya, ini bukan cerita baru. Pada 2019, seorang residen di Yogyakarta bunuh diri setelah mengalami depresi akibat pelecehan seksual oleh atasannya. Ketika korban berani melapor, yang sering mereka dapatkan bukanlah keadilan, tapi pertanyaan menyakitkan: “Apa kamu yakin tidak provokatif?” atau “Jangan sampai merusak reputasi rumah sakit.”
Islam sangat tegas melindungi kehormatan manusia. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
Ayat ini jelas mengharamkan segala bentuk eksploitasi seksual, termasuk pelecehan yang terjadi di balik tembok rumah sakit. Namun, mengapa praktik ini masih terus berulang?
Kasus terbaru yang mengguncang dunia medis adalah pemecatan seorang dokter senior di Bandung karena terbukti melakukan pelecehan terhadap enam perawat selama tiga tahun. Korban mengaku takut bersuara karena ancaman mutasi dan stigma “perusak nama baik institusi”. Mirisnya, ini bukan cerita baru. Pada 2019, seorang residen di Yogyakarta bunuh diri setelah mengalami depresi akibat pelecehan seksual oleh atasannya. Ketika korban berani melapor, yang sering mereka dapatkan bukanlah keadilan, tapi pertanyaan menyakitkan: “Apa kamu yakin tidak provokatif?” atau “Jangan sampai merusak reputasi rumah sakit.”
Islam sangat tegas melindungi kehormatan manusia. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya.” (HR. Bukhari)
Dalam konteks ini, “tetangga” bisa berarti rekan kerja, pasien, atau bawahan yang harusnya dilindungi, bukan dilecehkan.
Akar masalahnya kompleks: budaya patriarki di dunia medis sering memposisikan dokter laki-laki sebagai “dewa” yang tak boleh dibantah. Seorang perawat di Surabaya bercerita: “Saya dipanggil ke ruang operasi untuk dipegang-pegang, tapi jika protes, saya bisa dianggap tidak profesional.” Lebih parah lagi, banyak rumah sakit enggan membentuk Satuan Tugas Pencegahan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) dengan alasan “tidak perlu”. Padahal, Al-Qur’an telah memerintahkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah.” (QS. An-Nisa’: 135)
Tanpa sistem yang jelas, korban akan terus terpenjara dalam ketakutan.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
Tanpa sistem yang jelas, korban akan terus terpenjara dalam ketakutan.
Solusi Syar’i: Dari Hukum Allah hingga Reformasi Institusi
Pertama, penegakan hukum agama dan negara harus bersinergi. Pelaku kekerasan seksual tidak hanya layak dipecat, tetapi juga dihukum sesuai syariat Islam, seperti dalam QS. An-Nur: 2:الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing seratus kali.”
Kedua, pendidikan akhlak wajib masuk kurikulum kedokteran. Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Ketiga, whistleblower system harus dijamin. Korban perlu diberikan perlindungan hukum dan psikologis, bukan justru dihukum.
Dunia medis seharusnya menjadi tempat penyembuhan, bukan penderitaan baru. Ketika seorang dokter melukai pasien atau rekan kerjanya, ia bukan hanya mengkhianati sumpah Hipokrates, tetapi juga perintah Allah. Al-Qur’an mengingatkan:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-Nahl: 90)
Sudah saatnya rumah sakit tidak hanya memamerkan teknologi canggih, tetapi juga memastikan bahwa setiap orang di dalamnya aman dari kekerasan. Jika tidak, jas putih itu akan tetap bersih secara fisik, tetapi ternoda abadi secara moral.
Sudah saatnya rumah sakit tidak hanya memamerkan teknologi canggih, tetapi juga memastikan bahwa setiap orang di dalamnya aman dari kekerasan. Jika tidak, jas putih itu akan tetap bersih secara fisik, tetapi ternoda abadi secara moral.
Oleh: Nashrul Mu'minin (Content Writer, Yogyakarta)
Posting Komentar