Hal itu juga bisa dialami oleh seseorang yang disebut “kiai”. Segala sesuatu yang keluar dari seorang tokoh, panutan umat, bahkan pemimpin organisasi masyarakat (Ormas) selalu menjadi sorotan dan pertimbangan publik. Seperti yang belakangan nyembul kembali ke permukaan (media sosial): Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, melarang kaum perempuan Nahdlatul Ulama (NU) untuk merujuk gerakan feminisme. Pernyataan Gus Yahya (sapaan akrab) yang disampaikan dalam Masa Orientasi Pengurus Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU di Swiss-Belresidence, Kalibata, Jakarta Selatan, itu mendapatkan berbagai respon dari berbagai kalangan.
Mengenai pernyataan yang cukup kontroversial itu, sebelumnya memang pernah “viral” dua tahun silam. Tulisan dan komentar kritis terhadap statement Gus Yahya pernah ditulis oleh Mamang Haerudin dan Moh. Rivaldi Abdul. Kemudian, tulisan yang secara terbuka mendukung maqolah Gus Yahya itu ditulis oleh M. Yaufi Nur Mutiullah. Sementara, dalam fenomena ini, Faqih Abdul Kodir berusaha menjadi penengah antar-dua kubu. Menurut Abdul Kodir, persoalan yang membuat “geger” warga Nahdliyin dan aktivis perempuan itu, perlu dipahami secara proporsional—dengan melihat konteks. Selain itu, ia juga menghadirkan konsep mubadalah dan penggunaan analisis feminis.
Dari tulisan yang bermaksud mengkritik statement Gus Yahya yang menyoal feminisme dalam tubuh NU itu, sejauh pembacaan yang saya lakukan, mereka belum membaca—untuk tidak menyebut “tidak sama sekali”—secara serius “mengapa Gus Yahya menolak feminisme”. Sehingga, dalam rangka melengkapi ulasan yang sudah ada, tulisan ini hanya ingin menganalisis penolakan Gus Yahya terhadap feminisme dan dampak yang timbul dari penolakan tersebut. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu memahami konteks dan apa yang sesungguhnya “dikehendaki” Gus Yahya melalui analisis teks (pernyataan) dengan merujuk dari beberapa sumber, seperti: Al-Muhajirin TV, NU Online dan TV NU.
Membaca Maqolah Gus Yahya: Revitalisasi Mazhab Muassis NU
Untuk memahami apa maksud dari penolakan Gus Yahya terhadap feminisme, kita perlu menelaah berbagai pernyataan yang disampaikan oleh Gus Yahya dalam beberapa kesempatan. Dalam hal ini, kita dapat melacak awal mula ia menyampaikan pernyataan itu pada saat Pembukaan Rakornas Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU), 10 Desember 2022. Saat di depan peserta Rakornas LKKNU, Gus Yahya menekankan transformasi nilai, merubah wawasan (keagamaan) masyarakat dimulai dari perempuan. Rencana itu (transformasi nilai) merupakan kebutuhan fungsional NU, dan secara strategis, perlu dimulai dari ibu-ibu (perempuan NU).
Berkenaan dengan “larangan” Gus Yahya kepada perempuan NU (Fatayat dan Muslimat) untuk tidak “ikut-ikutan” feminisme atau ideologi gender yang dikembangkan oleh kebudayaan lain, ia menyatakan demikian:
“Saya sejak kemarin, saya tegaskan, kita ini, NU ini ndak usah ikut-ikutan ideologi gender yang dikembangkan dari ranah budaya yang lain. Ndak usah. Ini saya ingatkan Fatayat dan Muslimat, jangan ikut-ikutan feminisme. (Karena) feminisme itu ndak tepat untuk kita. Kita harus memulai dengan wawasan keagamaan yang kita miliki.”
Kemudian, pada tahun berikutnya, Gus Yahya menyinggung kembali “pernyataan” tentang feminisme yang dianggap kontroversial itu. Sebelumnya, ia menyatakan bahwa “Fikih Peradaban” merupakan upaya warga Nahdliyin untuk melihat masalah dan memberikan tanggapan sesuai dengan perspektif Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah. Sebab, menurut Gus Yahya, demikian adalah tanggung jawab Nahdliyin untuk mengatasi persoalan yang terjadi dalam realitas sosial. Selanjutnya, Gus Yahya mempertegas (kembali) sikap terhadap “ideologi” di luar NU.
“Saya tempo hari, misalnya, mengatakan kepada Muslimat dan Fatayat saya bilang jangan ikut-ikut feminisme. Karena feminisme adalah wacana gagasan yang lahir dari luar lingkungan Islam. Kita tidak perlu, mencari-cari dalil untuk mendukung feminisme. Buat apa? Mari kita berpikir tentang peran perempuan ini dari sudut pandang Islam, ndak usah ikut feminisme. Karena feminisme itu satu set teori, satu set analisis yang kemudian dikembangkan semakin jauh sebagai ideologi. Dan kalau kita ikuti terus, tanpa ada tafsil dalam soal ini, nah ini kita bisa hanya menjadi sekedar pengekor dari inisiatif-inisiatif yang enyah membawa kepentingan siapa...” (Al-Muhajirin TV, 2023).
Selain itu, ketika Gus Yahya menyampaikan materi pada Orientasi PP Muslimat NU (2025-2030) beberapa waktu lalu, tepatnya Minggu (4/5/2025), ia tetap memegang teguh sikap penolakan terhadap wacana ideologi di luar NU, dalam hal ini feminisme, dan menyerukan agar gerakan perempuan NU merujuk kepada mazhab para muassis NU.
“Saya sampaikan pesan, supaya jangan ikut-ikutan feminisme. Karena saya tahu pasti bahwa feminisme itu adalah ideologi yang dibangun dari sumber-sumber sekuler. Kita mendapat kesempatan untuk mengembangkan gerakan perempuan dengan Muslimat NU, Fatayat NU, IPPNU. Tetapi yang kita lakukan harus gerakan perempuan yang berakar pada mazhab-nya para muassis Nahdlatul Ulama..” (TVNU, 2025).
Dari pernyataan Gus Yahya mengenai feminisme dalam beberapa kesempatan di atas, kita dapat memahami, bahwa maksud Gus Yahya “menolak” feminisme tidak lain agar warga Nahdliyin, terutama perempuan, untuk berpijak dan mengembangkan mazhab yang dimiliki Nahdlatul Ulama, yakni Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah. Berkali-kali ia menegaskan hal ini. Jika maksud dan tujuan Gus Yahya demikian, tidak ada masalah. Upaya itu justru baik untuk NU sendiri. Namun, pertanyaan yang perlu kita sampaikan: apakah harus dengan cara “menolak” perspektif lain (dalam konteks ini feminisme)?
Karena, jika kita menelaah pernyataan Gus Yahya tersebut, terdapat semacam “pembunuhan” dan “penghidupan” secara bersamaan. Sesuatu yang dibunuh, tentu, wacana feminisme dalam “kehidupan” intelektual di kalangan NU. Sedangkan, pembunuhan wacana itu diganti dengan usaha menghidupkan kembali wacana yang dianggap “milik” NU, yakni Aswaja an-Nahdliyah. Sehingga, dapat dipahami, bahwa apa yang dilakukan Gus Yahya melalui penolakan itu tidak lain adalah upaya membangkitkan “logosentrisme” keilmuan dan membangun rezim pengetahuan di dalam tubuh NU dengan cara mengkampanyekan gerakan perempuan “wajib” merujuk pada mazhab-nya para muassis.
Dengan demikian, secara tidak langsung, Gus Yahya hendak “membatasi” cara berpikir eklektis dalam aktivitas intelektual warga NU, terutama kaum perempuan. Padahal, dengan pembacaan eklektis (mengelaborasi berbagai perspektif yang ada), kita akan lebih mudah mengatasi persoalan yang sedang terjadi—lebih holistik. Dalam konteks ini, menurut saya, Gus Yahya “luput” membaca persoalan itu.
Meruntuhkan “Rezim Pengetahuan” Aswaja: Kritik atas Pernyataan Gus Yahya
Sebuah rezim pengetahuan, tidak mungkin dikenali hanya dengan menganalisis “permukaan”, sebagaimana yang dilakukan para semiolog—dengan analisis semiologis. Kita juga harus membaca sesuatu yang “tak terkatakan” (unsaid)—berupa ideologi, episteme, tujuan, dan dampak yang timbul. Dalam pandangan Foucault, suatu pengetahuan memiliki hubungan yang erat dengan kuasa (power). Ilmu pengetahuan yang selama ini kita jadikan rujukan, menurut filsuf Prancis itu, diproduksi oleh episteme (Foucault, 1972: 191).
Lebih jauh, dalam setiap komunitas masyarakat, menurut Foucault terdapat “rezim kebenaran” atau “rezim pengetahuan”-nya sendiri yang merupakan jenis pernyataan (type of statements) yang dibuat oleh kekuasaan dan diterima oleh masyarakat secara keseluruhan. Dan, rezim kebenaran itu kemudian berimplikasi pada “pendisiplinan tubuh” masyarakat. Jika mereka tidak patuh, maka harus mendapatkan hukuman dalam berbagai bentuk. Misalnya, Foucault memberi contoh dari kisah Damiens yang dihukum mati di depan publik (Foucault, 1977: 5).
Sehingga, dari pemahaman ini, Foucault ingin menegaskan, bahwa rezim pengetahuan (kebenaran) itu, secara operasional, mendisiplinkan tubuh. Dengan demikian, analisis Foucauldian ini dapat membantu kita dalam memahami: bagaimana rezim pengetahuan yang dibangun oleh Gus Yahya mendisiplinkan “cara berpikir” masyarakat NU, terutama perempuan. Dalam konteks “rezim pengetahuan Aswaja” ini, beberapa hal yang perlu disoroti: pertama, kekuasaan Gus Yahya; kedua, praktik pendisiplinan intelektual NU; ketiga, motif penolakan feminisme.
Pertama, Kuasa Yahya Cholil Staquf dan Feminisme dalam Pandangan Muslimah
Sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa kekuasaan sangat berperan penting dalam membentuk “tubuh” (cara berpikir, misalnya) masyarakat. Dalam hal ini kekuasaan yang dimaksud ialah Gus Yahya, sebagai subjek yang merasa memiliki otoritas untuk menentukan kebijakan NU, terutama bagi badan dan lembaga di bawah naungan PBNU. Penolakan Gus Yahya terhadap “ideologi” feminisme dan menyerukan kepada kaum perempuan NU untuk merujuk mazhab para muassis sebenarnya adalah usaha Gus Yahya untuk membingkai warga Nahdliyin dalam satu “lingkaran kuasa”. Hal ini dapat kita lihat bagaimana Gus Yahya mewajibkan gerakan perempuan NU merujuk pada mazhab NU: Aswaja an-Nahdliyah. Memang, NU memiliki manhaj (metode) sendiri untuk membaca realitas sosial. Dan manhaj itu telah dijadikan materi wajib dalam berbagai pelatihan NU—lembaga dan badan otonom.
Namun, apakah manhaj al-Fikr dan manhaj al-Harakah NU itu dilakukan secara ekstrem—dengan menolak perspektif lain? Tentu tidak. Sebab, salah satu karakteristik manhaj Aswaja ialah moderat (tawasuth). Dan, melihat “penolakan” Gus Yahya itu tampak sekali ekstrem dalam memandang wacana dari luar Islam—feminisme. Selain itu, untuk membaca feminisme, menurut saya tidak bisa dipahami menggunakan lanskap doktrinal. Ia harus didekati dengan lanskap teoritis, dengan maksud untuk menemukan kerangka analitis yang termuat di dalam wacana tertentu. Bukan berarti, segala sesuatu yang “dari luar” Islam itu semua buruk, atau najis mutlak. Kerangka epistemologis feminis, dalam banyak hal, juga membantu memahami realitas sosial, terutama bagaimana relasi laki-laki dan perempuan bekerja.
Menurut Margareth L. Andersen (2002: 355), teori feminis berusaha untuk menganalisis peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (laki-laki dan perempuan) dengan menghubungkan pengalaman personal dan kolektif dengan pemahaman tentang struktur relasi gender dalam masyarakat. Mengenai “tuduhan” bahwa feminisme merupakan konstruksi Barat yang bertentang dengan Islam, hal ini dapat kita jawab melalui tanggapan Badran (2002). Ia berpendapat, bahwa feminisme diproduksi di berbagai ruang, dimulai dengan konsep yanhgg diciptakan pada akhir 1880-an di Prancis, kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Inggris, Amerika Serikat hingga menjadi bagian dari Migane Mesir pada tahun 1920-an.
Senada dengan Badran, Fatima Seedat (2013) juga berpendapat, bahwa feminisme telah menyebar dengan cara yang berbeda ke berbagai masyarakat yang memiliki kebudayaan masing-masing. Sehingga feminisme muncul dalam rona dan bentuk yang beragam (Seedat, 2013: 33). Demikian pula jika feminisme digunakan oleh kelompok Islam. Dalam pandangan Faqih Abdul Kodir (2023), analisis feminis berguna untuk membongkar tempurung yang selama ini melenyapkan tubuh, akal, dan segala perasaan perempuan di bawah dominasi dengan mengatasnamakan agama, budaya, dan komunalisme suatu masyarakat (Kodir, 2023).
Dari ulasan ringkas di atas, kita dapat memahami, bahwa perempuan Islam di Indonesia, khususnya, memandang feminisme itu sebagai “metodologi” bukan sebagai “ideologi”. Lebih jauh, mereka membaca feminisme itu dengan pendekatan teoritis, bukan sebagaimana yang dilakukan Gus Yahya: doktrinal. Dengan demikian, dalam bagian ini, saya hendak mengatakan: untuk memahami ketimpangan yang terjadi dalam realitas sosial, teori feminis membantu kita dalam menganalisis relasi gender dan membongkar praktik subordinatif yang sering kali bersembunyi di balik “otoritas keagamaan” (religious authority) Islam. Sebab, jika hanya menggunakan perspektif Islam, selama ini pendekatan teologis-doktrinal lebih diprioritaskan daripada menggunakan kerangka teoritis-nya. Sehingga dalam membaca kasus kekerasan seksual yang dilakukan tokoh agama, misalnya, sejauh ini masyarakat masih terjebak ke dalam perspektif teologis. Dan dalam konteks ini, bukankah teori feminis membantu kita untuk membaca fenomena semacam itu secara kritis? Selain itu, yang juga penting dipahami: Gus Yahya dengan kuasa yang ia miliki di PBNU hendak nggembosi pembacaan kritis semacam ini di kalangan perempuan Nahdliyin.
Kedua, Pendisiplinan Intelektual (Perempuan) NU dan Penyeragaman Pembacaan Eklektik
Kita telah melihat kuasa (power) Gus Yahya yang secara terbuka menolak perspektif feminis. Namun, alih-alih menolak feminisme dengan menyerukan kembali ke manhaj Aswaja yang bersifat “moderat”, ia jutru tergelincir ke dalam “ekstremisme”. Penolakan Gus Yahya terhadap perspektif “selain” Islam itu kemudian berimplikasi pada pendisiplinan intelektualisme NU. Ia seakan-akan berusaha menggiring arus intelektualisme NU “hanya” merujuk mazhab dan manhaj yang telah disepakati oleh para ulama NU.
Pandangan Gus Yahya itu tampak kontradiktif jika merujuk kepada pendapat gurunya, Gus Dur. Menurut cucu muassis NU itu, umat Islam memiliki watak tradisi yang eklektik. Artinya, umat Islam memiliki watak “penyerapan yang tinggi” terhadap situasi dan perkembangan sejarah. Kemampuan menyerap ini kemudian memengaruhi ekspresi dan corak umat Islam yang dapat menghasilkan tradisi-tradisi Islam di belahan dunia. Kata “eklektik” ini oleh Gus Dur juga sering disebut “kosmopolitan”. Gus Dur menjelaskan, bahwa kosmopolitan Islam itu memiliki watak yang “dinamis”. Islam, menurut Gus Dur, harus memiliki pendekatan multi-dimensional kepada kehidupan, dan tidak hanya terikat pada ketentuan normatif yang telah mengendap sekian lama, bahkan hampir menjadi fosil yang mati (Wahid, 2007: 50).
Menurut Nur Khalik Ridwan, secara lebih eksplisit menjelaskan watak eklektik Islam yang dipahami Gus Dur tersebut sebagai berikut:
“Islam yang berwatak eklektik pada dasarnya ialah Islam yang memperjuangkan Islam rahmatan lil ‘alamin; membawa implikasi pada perlunya strategi dinamisasi, bukan revolusi; atau strategi gradual, bukan shock therapy; dan keharusan memberikan tempat bagi pendekatan yang meluas, menyentuh juga kepada jiwa, bukan hanya aspek lahir. Oleh karena itu, meskipun Gus Dur belajar Marxisme, Kapitalisme, teologi pembebasan, pandangan-pandangan Gandhi, dan sebagainya, toh akhirnya bermuara pada pembicaraan dan perjuangan mewujudkan kemaslahatan negara Pancasila (dan bukan mendirikan negara Marxis atau negara Kapitalis), dengan pandangan hidup Aswaja an-Nahdliyyah, sebagai dasarnya. Sementara pengungkapan dalam wilayah publik dan kerangka teori bungkusnya bisa bermacam-macam, tergantung situasi, audiens, dan gerak zaman; dan pada saat yang sama tetap setia menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama.” (Ridwan, 2021: 306-307).
Dari ulasan di atas kita dapat memahami bagaimana Gus Dur justru menghendaki umat Islam supaya bersikap eklektis dalam membaca realitas sosial. Dengan kata lain, umat Islam tidak hanya menggunakan satu perspektif, tidak hanya merujuk pada Islam, dan tidak hanya melihat persoalan dari satu sisi. Mereka sangat perlu mengelaborasi berbagi pemikiran, paradigma, dan kerangka analitis sebagai langkah untuk mengikuti perkembangan zaman. Kendatipun pemikiran dan kerangka analitis itu lahir “di luar” Islam. Hampir seluruh imam dan mujtahid, menurut Gus Dur, seperti Imam Hanafi dan Imam Syafi’i mempunyai sikap eklektik (kemampuan daya serap yang tinggi), atau kosmopolitan (Wahid, 2017). Lantas, mengapa Gus Yahya justru bertingkah sebaliknya—hendak menyeragamkan “cara baca” Nahdliyin dengan merujuk mazhab muassis NU?
Jelas, bahwa hal itu bukan ciri khas umat Islam (Nahdliyin) yang sejak dulu tidak hanya merujuk Islam sebagai “pisau bedah” realitas. Para ulama dan aktivis NU juga mengambil perspektif lain untuk membantu mereka dalam memahami perkembangan zaman. Sebab, mereka tahu, untuk membaca realitas sosial yang dinamis itu, perlu metodologi yang “canggih”. Dan hanya menggunakan perspektif salaf (Islam) atau turats saja tidak cukup, sehingga penting melibatkan perspektif lain seperti analisis feminis untuk membaca persoalan sosial: penindasan sistemik, ketidakadilan gender, subordinasi, hingga hegemoni kekuasaan.
Seorang kiai kharismatik dan ahli fikih asal Kajen, Kiai Sahal Mahfudh, juga pernah mendorong umat Islam (terutama Nahdliyin) untuk melakukan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) yang melibatkan beberapa ahli dengan disiplin ilmu tertentu untuk menetapkan hukum dalam suatu perkara (Mahfudh, 1994: 55). Sehingga, dalam memahami suatu persoalan dan menentukan hukum-hukumnya, umat Islam harus menggunakan pembacaan eklektik. Persoalan kemiskinan, misalnya, tidak bisa dibaca hanya dengan perspektif turats (kitab kuning). Kita perlu mendapatkan perspektif lain, seperti sosiologi, ekonomi, kultural, dan pendapat-pendapat lain sebagai upaya untuk memahami duduk perkara.
Saya kira pendapat dua ulama “andalan” NU itu cukup untuk mengingatkan—jika tidak dikatakan “membantah”—pandangan Ketua Umum PBNU, Gus Yahya. Bagaimana mungkin seorang pimpinan organisasi sosial-keagamaan sekaliber Gus Yahya memandang sesuatu secara simplistik semacam itu? Sehingga, dari pemahaman ini, saya melihat ada “kepentingan” terselubung di balik pandangan itu.
Ketiga, Motif Penolakan Gus Yahya Terhadap Feminisme
Setelah mengetahui bahwa Gus Yahya menggunakan “otoritas”-nya di PBNU untuk mendisiplinkan intelektual NU, dalam konteks ini para aktivis perempuan NU, dengan mewajibkan mereka merujuk pada “mazhab muassis”, kita perlu membaca sesuatu yang “tak terkatakan” dari penolakan Gus Yahya terhadap feminisme itu. Berkenaan dengan upaya revitalisasi manhaj NU sebagai langkah untuk mengatasi persoalan sosial, itu terobosan yang bagus. Akan tetapi, dengan menolak perspektif lain (feminisme) itulah yang menjadi persoalan nalar berpikir Gus Yahya.
Jika kita menelisik pernyataan Gus Yahya itu, kita akan menemukan beberapa motif “terselubung” yang tidak muncul ke permukaan atau sesuatu yang “tak terkatakan”. Misalnya, saat ini PBNU menjalin hubungan yang dekat dengan kekuasaan. Terbukti dengan beberapa pandangan PBNU yang memberikan “angin segar” terhadap kebijakan Prabowo. Bahkan, “kedekatan” ini sudah disinyalir oleh beberapa pihak sejak Pilpres 2024 lalu. Dengan demikian, apa yang dilakukan Gus Yahya juga berkaitan dengan pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini. Melihat gelombang demonstrasi sejak awal tahun kemarin begitu besar, bahkan beberapa ideologi politik menjadi kambing hitam, seperti Komunisme, Anarkisme, dan juga Feminisme. Wacana ideologi dari luar selalu dijadikan “kambing hitam” dan dibenturkan dengan Pancasila oleh kekuasaan negara. Sehingga, mereka yang berada di lingkaran kekuasaan ikut serta “membantu” demi keberlangsungan status quo. Terkadang mereka juga menggunakan dalil-dalil agama, dan seperangkat argumentasi teoritis untuk mempertahankan “kegagahan” kekuasaan.
Sehingga, dari analisis itu, penolakan Gus Yahya terhadap perspektif yang lahir dari “kebudayaan lain” itu bermaksud “membela” kepentingan negara: pemerintahan Prabowo-Gibran. Sebab, beberapa narasi yang dibangun oleh pihak tertentu (yang pro pemerintah), “biang kerok” demonstrasi dan kerusuhan yang belakangan ini terjadi dilakukan oleh mereka yang menggunakan “perspektif lain” itu. Lebih lanjut, sesuatu yang juga tidak menyeruak ke permukaan ialah: Gus Yahya hendak “membonsai” kritisisme di kalangan intelektual NU. Hal ini dapat kita pahami dari pernyataan Gus Yahya sendiri: “Gerakan perempuan NU wajib merujuk pada mazhabnya para muassis, bukan feminisme”.
Pernyataan yang dilontarkan seorang kiai asal Rembang itu akan berdampak pada pengkerdilan spirit kritisisme intelektual NU di berbagai tingkatan. Padahal, pembacaan eklektik, sebagaimana yang telah diuraikan di bagian sebelumnya, merupakan khazanah intelektual Islam yang memberikan pengaruh besar dalam perjalanan NU ke depan. Kita dapat memahami bagaimana “pemberontakan” intelektual yang dilakukan oleh kaum muda NU pada tahun 2000-an terhadap tradisi, doktrin keagamaan, dan realitas sosial kala itu sehingga melahirkan wacana Post-Tradisionalisme Islam (Rumadi, 2015: 95). Intelektual muda NU saat itu secara kritis membaca tradisi dan pemahaman yang mapan mengenai doktrin Islam juga dengan menggunakan pembacaan eklektik—mengambil teori kritis dari Islam dan Barat kontemporer.
Selanjutnya, berkenaan dengan usaha untuk menciptakan “rezim pengetahuan Aswaja”, atau juga bisa disebut sebagai upaya “pembakuan” (tadwin) Aswaja yang dilakukan Gus Yahya itu justru memukul mundur spirit pengembangan Aswaja. Sebab, menurut Said Aqil Siraj, Aswaja harus dipahami sebagai “manhaj”, bukan “mazhab”. Aswaja merupakan sebuah manhaj al-Fikr (cara berpikir, way of thinking) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan murid-muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik (Siraj, 2010: 2). Bahkan, secara eksplisit, Aswaja harus dikembangkan dengan pendekatan beragam:
“Sikap keagamaan yang mengutamakan dalil-dalil naqliyah daripada dalil-dalil ‘aqliyah memberikan pelajaran kepada kita bahwa yang mutlak benar hanyalah wahyu, baik yang berupa al-Qur’an maupun sunnah. Sedang yang dari hasil ijtihad manusiawi tetap hanya memiliki kebenaran nisbi saja dan masih mungkin mengandung kekurangtepatan, baik karena perubahan waktu maupun situasi sosial…Sifat menerima hidup di dalam kemajemukan merupakan nilai sosial yang patut dikembangkan, terutama bagi masyarakat pluralistik seperti Indonesia ini. Keangkuhan sosial bagaimanapun akan banyak menimbulkan kemudharatan.” (Siraj, 2010: 115).
Dengan menggiring kaum Nahdliyin, terutama kaum intelektual, untuk (hanya) merujuk apa yang disebut “mazhab muassis” adalah sikap taklid buta terhadap pemikiran ulama NU. Dan, hal ini, justru akan “membunuh” nalar kritis di kalangan NU. Jika sikap semacam ini terus dipertahankan, dan mengendap di kalangan elit NU, maka “stagnasi” pemikiran akan terjadi. Berbagai gagasan kritis-dekonstruktif terhadap pemahaman agama dan tradisi akan lenyap. Dengan ragam perspektif yang diambil, justru kita memiliki sudut pandang yang holistik. Bahkan, dalam Islam, perbedaan pendapat adalah hal yang biasa. Islam sama sekali tidak menolak perbedaan. Justru yang perlu kita waspadai bersama ialah mereka yang hendak menentukan segala hal ke dalam satu pendapat, atau cara berpikir yang tunggal. Hal ini, menurut saya, adalah sebuah “fasisme” yang harus kita waspadai, terutama dalam beragama.
Jangan Ikut-ikutan Gus Yahya!
Dari pembacaan yang dilakukan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, kita dapat memahami bahwa pernyataan Gus Yahya yang menolak feminisme itu memuat motif dan memiliki dampak yang cukup serius. Pembacaan yang saya lakukan ini, adalah suatu “penolakan” terhadap sikap taklid buta atas pandangan Gus Yahya. Kendati dia merupakan Ketua Umum PBNU, dan “kecelok” sebagai kiai, bukan berarti kita harus selalu sepakat dengan pendapat dan proses penalaran yang ia gunakan.
Sebab, selama ini, masih sedikit anak-anak muda NU yang berani “memberontak” kepada golongan tua, dan tradisi pemikiran mereka. Apa yang saat ini mereka lakukan hanyalah “ikut-ikutan” generasi sebelum mereka, dan cenderung memprioritaskan sikap sam’an wa tha’atan terhadap pemikiran elit NU. Saya tidak tahu, apakah demikian yang dikehendaki NU dan para muassis-nya itu. Saya juga dilema, mengapa di lingkaran anak muda NU yang tergabung dalam organisasi, lembaga, badan otonom, dan komunitas yang berafiliasi dengan NU saat ini sedikit yang membicarakan gagasan kritis-dekonstruktif sebagaimana generasi muda NU di awal Reformasi? Menurut saya, fenomena ini adalah masalah yang perlu kita selesaikan bersama.
Semoga apa yang kita khawatirkan kepada generasi muda NU tidak akan terjadi. Dan cepat atau lambat, gerakan intelektual muda NU menyeruak kembali ke medan “perang gagasan” di Indonesia. Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali wacana kritis di kalangan intelektual NU, saya tegaskan: Jangan ikut-ikutan Gus Yahya!
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah, Anak Muda NU Banyuwangi
Rujukan
Media Online
Abdul, Moh. Rivaldi, “Feminis-NU-isme: Ketika NU Merangkul Feminisme, Mubadalah.id, 7 Februari 2023
Haerudin, Mamang, “Gus Yahya Menolak Feminisme: Andai Ia Bukan Ketum PBNU”, Mubadalah.id, 21 Januari 2023
Kodir, Faqih Abdul, “Benarkah Gus Yahya Menolak Feminisme?”, Mubadalah.id, 18 Januari 2023
Mutiullah, M. Yaufi Nur, “Upaya Memahami Gus Yahya Menyoal Isu Feminisme: NU yang Selalu Unik”, Radar Bromo, 29 Januari 2023
Tempo.co, “Keliru: Klaim Bahwa PKI Tidak Ingin RUU TNI Disahkan”, 21 Maret 2025
Tempo.co, “Stigma Anarko Saat Demonstrasi Berakhir Rusuh”, 6 Mei 2025
Wahid, Abdurrahman, “Merumuskan Ideologi Nasional dan Agama”, Islami.co, 26 Desember 2017 (tulisan ini adalah ketikan ulang yang terbit pertama kali di Majalah Aula No. 5 Tahun VII, Mei 1985, hal. 23-32)
Youtube
Al-Muhajirin TV, TVNU, NU Online, Mojokdotco
Buku & Artikel
Andersen, Margaret L., Thingking About Women: Sociological Perspectives on Sex and Gender. Boston: Allyn & Bacon, 2002
Foucault, Michel, The Archaeology of Knowledge. New York: Pantheon Books, 1972
———, Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books, 1977
Mahfudh, Sahal, Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKiS, 1994
Ridwan, Nur Khalik, Dalil-Dalil Agama Gus Dur: Dalil-dalil Kunci Pergumulan Islam Indonesia. Yogyakarta: IRCiSoD, 2021
Rumadi, Islamic Post-Traditionalism in Indonesia. Singapore: ISEAS Publishing, 2015
Seedat, Fatima, “Islam, Feminism, and Islamic Feminisme: Between Inadequacy and Inevibility, Journal of Feminist Studies in Religion, Vol. 29, No. 2 (2013)
Siraj, Said Aqil, “Latar Kultural dan Politik Kelahiran Aswaja” dalam Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi ed. Imam Baehaqi. Yogyakarta: LKiS, 2010
Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute, 2007
Posting Komentar