BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Dari Tiada ke Tiada: Catatan Kecil Tentang Mati dan Seni Menyalahkan

Penalaut.com
- Aku memiliki seorang teman. Dia biasa kupanggil "Ipul". Dia mempunyai anjing kesayangan yang diberi nama: "Simon". Tepat di hari Minggu, Simon pulang setelah sempat dilarikan ke rumah sakit hewan. Namun, tidak lama setelah kepulangannya, Simon ditabrak mobil dengan kecepatan tinggi, dan membuatnya mati seketika di tempat kecelakaan.

Satu jam setelah kejadian itu, terlihat Ipul dan adiknya tengah mengubur Simon, anjing kesayangan mereka. Tak lama, kuhampiri mereka, dan kusampaikan bela sungkawa atas kematian Simon kepada mereka (meski bela sungkawa atas kematian anjing ini terkesan aneh, tapi ya sudahlah).

Bagiku, "mati" tidak selalu menjelma ketakutan atau kesedihan. Kematian tak lebih dari hal yang biasa-biasa saja. Dan bukankah kematian memang biasa terjadi? Aku membayangkan mati sebagai sebuah pembebasan dari kepalsuan, ketidakadilan, kemunafikan, dan keserakahan.

Meski sebagian orang bilang: "Mati adalah gerbang menuju cinta atau siksa seseorang di waktu yang akan datang", tapi Simon adalah seekor anjing, bukan manusia. Mengenai hal ini, aku teringat tulisan Soe Hok Gie, dalam Catatan Seorang Demonstran (1983). Gie mengutip ungkapan salah seorang filsuf: "(jika) nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, kemudian adalah mati muda, (maka) nasib tersial adalah mati tua”.

Ya, Simon telah mati, sedang usianya masih relatif muda, masih lucu, dan ia bernasib baik--meski aku sendiri sebenarnya tidak terlalu percaya pada nasib yang dikatakan orang-orang. Tapi, rasanya, memanglah demikian.

Membahas soal ini, aku jadi teringat perdebatan di warkop, tempat biasa kami nongkrong, dengan beberapa teman minggu lalu. Seperti biasa, obrolan kami melebar ke mana-mana. Kami membahas banyak hal, "rasan-rasan", dan bicara "ngalor-ngidul".

Alkisah, saat itu kami membahas tentang "Golden Time" atau "Golden Age", dan korelasinya dengan kecenderungan seseorang dalam menjalani dinamika kehidupan. Mulai dari emosi, kecerdasan, kemandirian, sampai pola sikap manusia.

Satu dari teman kami, Aisyah (seorang perempuan yang suka kopi hitam pahit dan paling keras dalam mempertahankan argumentasi), berpendapat bahwa kecenderungan seseorang terbentuk sejak usia 0-8 tahun. Katanya, "Kalau seorang anak sejak kecil sudah diarahkan pada hal-hal positif dan kebaikan, hasilnya pasti berbeda". Namun, ia juga menambahkan dengan nada kecewa, "tapi kalau alam bawah sadarnya sudah dicemari dengan hal-hal negatif sejak dini, ya susah!".

Aisyah mengutip beberapa kutipan yang sepertinya sudah amat ia pahami. Kak Seto Mulyadi pernah mengatakan: "Masa emas anak ibarat kertas putih yang siap menerima warna apa pun yang diberikan". Ahmad Tafsir dalam Ilmu Pendidikan Islami (2004), mengatakan: "Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya; pendidikan hanyalah jalan agar kebebasan itu terarah menuju kebaikan".

Dua kutipan di atas semakin menegaskan, bahwa pembiasaan sejak dini adalah fondasi utama pembentukan karakter-arah hidup seseorang, dan mempertegas bahwa nasib bukan sesuatu yang final, melainkan bisa dibentuk lewat kesadaran, usaha, dan pembiasaan yang konsisten.

Dari hal tersebut aku menangkap pesan tersirat: "Menjadi pribadi yang positif, menarik, dan membawa kebaikan bukan hal mustahil. Semua bisa diusahakan kapan saja, asalkan seseorang mau berbenah, dalam arti bersedia menerima kritik, melakukan evaluasi, dan bertindak nyata, bukan karena takdir atau nasib!".

Namun, seperti kata peribahasa: "tak ada gading yang tak retak". Semua yang disampaikan Aisyah pun tak sepenuhnya sempurna. Ada kekurangan yang kutemukan, kekurangan yang wajar ditemukan dalam setiap pemikiran. Bukan untuk hal lain, kecuali sebagai bahan evaluasi dan koreksi bagi dirinya, terlebih lagi bagi saya sendiri.

Ia menjelaskan dengan sangat baik dan gamblang, menggunakan perumpamaan yang tepat, argumentasi yang tajam, dan struktur pemikiran yang runtut. Namun dari semua yang ia katakan, ada satu hal yang menarik perhatianku, entah karena kehati-hatian, atau mungkin karena alasan lain. Dalam penjelasan Aisyah, aku tidak menemukan satu pun kalimat yang menyalahkan siapa pun, tidak individu, tidak pihak tertentu, tidak pula keadaan.

Padahal, dalam setiap fenomena moral dan sosial di masyarakat, selalu menuntut kebutuhan untuk menemukan "siapa yang salah" dan "apa yang salah" sebagai bahan evaluasi, agar sesuatu dapat diperbaiki dan diselesaikan. Sebab, sependek pengalamanku, manusia sering kali sukar menerima perubahan tanpa terlebih dahulu "dilawan" atau "disalahkan".

Dalam konteks ini, tindakan menyalahkan tidak selalu berarti menuding secara buta, melainkan bentuk keberanian moral untuk mengungkap sebab-sebab yang tersembunyi di balik persoalan. Pernah seorang temanku mengingatkan: "tanggung jawab moral menuntut keberanian untuk menyebut kesalahan secara jujur, karena keadilan tidak akan tumbuh dari keheningan atau kepura-puraan". Menurut dia, masyarakat yang enggan menunjuk kesalahan akan terjebak dalam "etika diam"--sebuah tradisi yang menutupi kebenaran demi kenyamanan sosial.

Senada dengan hal itu, Soedjatmoko, dalam salah satu esainya bertajuk "Kesadaran dan Tanggung Jawab" menyebutkan: kritik dan keberanian untuk menyalahkan adalah tanda kematangan moral suatu bangsa. Ia melihat kemajuan intelektual dan sosial justru lahir dari kesediaan untuk menanggung konsekuensi dari kebenaran, bukan dari kepasrahan pada sistem yang salah.

Dengan kata lain, menyalahkan bukan tindakan destruktif, tetapi langkah awal menuju pembenahan, selama tujuannya adalah tanggung jawab, bukan dendam. Maka, jika masyarakat ingin berubah, keberanian untuk menyalahkan bukanlah hal yang harus dihindari, melainkan justru perlu dijaga, agar kebenaran tidak mati dalam sopan santun, dan tanggung jawab tidak terkubur oleh rasa sungkan!

Di sinilah aku berusaha mencoba membantu Aisyah dalam hal "menyalahkan". Sebab, jika penjelasan Aisyah benar, tentu ada banyak pihak yang patut dipertanyakan tanggung jawabnya.
 
Pertama, orang tua. Mereka adalah pendidik pertama dalam kehidupan seorang anak, cermin awal bagi pembentukan karakter dan nilai-nilai moral. Orang tua memiliki pengaruh besar, sementara anak, sejak kecil, terbiasa dituntut agar meng-iya-kan segala instruksi tanpa banyak bertanya. Jadi, jika arah pendidikan sejak dini menyimpang, bukankah mereka yang pertama bersalah?
 
Kedua, pemerintah. Sebenarnya, aku enggan menyebutnya dalam tulisan ini, tapi bagaimana pun, mereka tak boleh lepas tangan! Sejak dulu, masyarakat mempercayakan mandat kepada pemerintah untuk menjamin kemaslahatan bersama, termasuk dalam bidang pendidikan dan pembinaan moral bangsa. Namun, hingga kini, apa yang benar-benar terjadi? Apakah kebijakan dan tindakan mereka sudah menyentuh akar persoalan, atau sekadar menjadi wacana yang berulang di atas panggung janji?

Ketiga, lingkungan sosial dan media. Kedua hal ini menjadi "pendidik tak resmi". Lingkungan yang permisif dan media yang sering kali menampilkan kekacauan nilai, perlahan menanamkan kebiasaan baru: yang viral lebih penting daripada yang bernilai, dan yang ramai lebih menarik daripada yang benar.

Tanpa sadar, anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat dan dengar setiap hari, bukan dari apa yang seharusnya mereka pahami. Maka, kalau Aisyah berkata bahwa masa kecil menentukan arah hidup, bukankah lingkungan dan media kini justru menjadi "orang tua kedua" yang paling berpengaruh?

Ya, kurang lebihnya demikian. Adapun ihwal apa dan bagaimana posisi takdir atau nasib serta kepercayaanku terhadapnya, kita bicarakan langsung di warung kopi saja. Sebab, bagiku, bagaimanapun sebuah tulisan, retorika, dan diksi yang dibawakan, tetap terlalu sederhana dan terbatas untuk menyoal hal-hal semacam itu.

Dua hari pasca kematian Simon, kulihat di belakang rumah Ipul, tepat di atas kubur Simon (anjing kesayangannya itu), terdapat seonggok tulisan: "Selamat, mati ketawa sayang! Dari tiada ke tiada". Setelah membaca tulisan itu, aku lalu pulang, masuk kamar, kuputar musik blues, dan tidur.


Oleh: M. Roqy Azmi
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak