BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Warna Yang Membebaskan

Pena Laut -
"Sekarang kamu tolong gambar pemandangan alam.."

Kata-kata itu sarat akan kebohongan. Ini adalah permintaan ke sepuluh kalinya. Ia menatapi kanvas dan memainkan kuas di jari-jari seperti seorang drumer tanpa sedikit pun menyentuhi kanvas. Pandangannya kosong dan hampa lalu terucap di kepalanya tentang suatu kekesalan. Ia mengalihkan tatapan dari kanvas, menuju jendela yang menampaki hamparan beton dan bangunan tinggi di luar sana. Gedung-gedung terlihat megah dan besar sekali, seperti hendak meraih langit. Sejauh mata memandang dan menelisik ke luar sana, tidak pernah lagi dia melihat adanya pepohonan atau keindahan alamiah seperti yang terbenak di kepala dan terluap di kanvasnya. Semuanya artifisial sekaligus membosankan. Dia menikmati pekerjaanya tetapi terkait hal ini barangkali apa yang menggiurkan bukan lagi proses dari melukis itu sendiri, melainkan bayaran fantastis yang ia dapatkan.

Dia tundukkan kepala lalu mulai mengetik pesan, pesan yang lagi lagi membawanya berhianat menuju kebohongan.

"Lukisan akan saya kerjakan dengan waktu sesingkat-singkatnya dan hasil seindah-indahnya."

Baginya, melukis adalah salah satu kegiatan paling suci. Dia melukis melalui hati yang tulus untuk mencurahkan segala keganjalan emosi dan imajinasi. Dia mencintai setiap proses dari melukis karena dia bisa membebaskan atau menjedakan kepenatan duniawi. Bahkan, kuas di tangannya itu telah menjadi saksi setiap kekecewaan yang pernah terlanjur lewat atau membuatnya sesak. Beberapakali, luapan sesakan itu terpampang sebagai suatu kritikan, suatu tagihan tentang mengapa hal tersebut bisa terjadi. Dan lebih lagi, melukis adalah candu sekaligus memberikan kepuasan batin, betapa menyenangkannya melihat berbagai campuran warna saling beradu dan bercumbu menghasilkan suatu karya seni.

Dia mengingat betapa dulu sering mengikuti lalu memenangkan lomba melukis. Sebetulnya selama berkompetesi di berbagai lomba itu, dia tidaklah peduli entah menang atau kalah sebab baginya melukis telah membuatnya merasa lebih hidup. Dia menemukan bagian puzzle yang hilang dari dirinya melalui aktivitas melukis. Dia hanya ingin melukis untuk melukis, tanpa terpaut atau terpaku dengan apa yang akan dihasikan oleh lukisan tersebut.

Kini, dia telah berhkhianat dari kecintaanya terhadap melukis. Rasa senang menguraikan warna sudah sejak lama tak bersemayam di hatinya semenjak uang menyelinap masuk. Jika dia tak melukis dan menghasilkan karya sesuai pesanan, mau dibawa kemana hidupnya? Bagaimana dia memenuhi kebutuhan sehari-harinya?

Dia berusaha kembali menenangkan pikiran dan mulai menggoreskan beberapa coretan di kanvas. Pemandangan berbagai gedung dari jendela apartemen adalah musuh yang terus mengancam dan meluapkan suara lantang di kepalanya. Suara tersebut tidaklah salah mendikte kondisi di sekitar. Dimana keindahan alam yang dimaksud seperti yang hendak dia gambar itu? Mereka semua telah terengus musnah karena aktivitas manusia itu sendiri lalu sekarang mereka kembali ingin menciptakan khayalan bahwa semuanya masih ada?

Aktivitas melukis adalah suci. Dia tak lagi berencana kabur dari maksud awal bahwa melukis hanya untuk melukis, bukan untuk membodohi atau justru memperbudak diri sendiri. Dia belokkan pandangan ke arah cermin sembari menatapi dan mengeluhkan betapa dirinya telah tenggelam begitu dalam. Dia tak bisa lagi hidup seperti budak. Dia ingin menjadi seniman sebebas-bebasnya lalu mengembalikan kebahagian yang telah lama terengut itu.

Di atas cermin, terlihat jarum jam menunjuk pukul 4 sore. Setelah berkutik cukup lama di depan cermin, dia cermati lagi coretan yang telah terurai samar di kanvasnya lalu terbenak imajinasi liar di kepala. Dia akan kembali melukis, dia akan kembali hidup!

Kuas bergerak liar mengarungi kanvas. Dia bebaskan ide sembari jari-jarinya mulai berliuk-liuk di hamparan lautan warna. Setiap gerakan tangan mendikte kebahagian yang telah lama dia nantikan. Dia tampak seperti anak kecil yang baru saja dimanjakan dengan mainan. Baru kali ini, senyum yang telah hilang kembali menggores indah di wajahnya, menyuguhkan gejolak kegemberian dari setiap coretan kuas.

Dia meramu lukisan lama sekali hingga malam berhasil mengubah warna langit menjadi hitam di luar jendela. Kini, lukisan tersebut telah saling terpadu dengan ribuan warna menciptakan suatu karya pembuktian akan pelarian dirinya dari penjara yang telah mengurungnya erat. Matanya mendekati lukisan itu, memastikan apakah ada bagian yang luput dari goresan kuas. Dia tambahkan sedikit warna hitam di setiap sisi lukisan tanpa melepasi senyum kebahagian yang telah terpasang di wajahnya itu.

Lihatlah kebebasan yang telah mampu membuatnya sadar bahwa hidup dimulai ketika menapak keluar dari zona nyaman. Dia membuktikannya. Dengan kebahagian membara, malam ini dia akan mempublikasikan lukisan tanpa mempedulikan bos yang memesan lukisan tersebut. Baginya, kebenaran layak dan pantas disebarluaskan. Pukul 10 malam, lukisan telah terpasang di lamannya lalu sebelum mengetahui respon dari masyarakat, dia tertidur pulas.

Keesokan paginya, cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah jendela, menggelitik kelopak matanya untuk terbuka. Dia menggeliat malas sebelum akhirnya duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya mengumpulkan kepingan-kepingan kesadaran yang masih terserak. Dia mengingat kembali malam sebelumnya—malam yang penuh dengan gairah kebebasan dan keberanian.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar berkali-kali. Notifikasi membanjiri layar. Beberapa pesan masuk dari orang-orang yang dikenalnya, sebagian besar dari mereka bertanya-tanya, sebagian lagi mencela. Ada yang menganggap lukisannya sebagai bentuk perlawanan, ada pula yang mengutuknya karena dianggap menghina suatu pihak. Dia membaca dengan tatapan kosong. Salah satu pesan yang paling mencolok adalah dari bosnya sendiri:

"Kau sudah gila? Hapus lukisan itu sekarang sebelum segalanya menjadi lebih buruk!"

Dia hanya mendengus kecil, lalu menaruh ponselnya di meja. Hari ini dia ingin menikmati udara segar. Dia sudah cukup lama merasa terkekang oleh keharusan dan kewajiban, dan hari ini dia ingin berjalan-jalan seperti manusia bebas.

Dengan langkah ringan, dia menelusuri trotoar kota yang ramai. Udara pagi terasa lebih segar dari biasanya, seolah dunia mengizinkannya merasakan kebebasan sejenak. Namun, sebelum dia bisa terlalu lama menikmati momen itu, sebuah suara lantang menghentikan langkahnya.
"Saudara, mohon ikut dengan kami!"

Dia menoleh dan melihat dua pria berseragam mendekatinya dengan wajah serius. Orang-orang di sekitarnya menatap dengan keheranan, beberapa dari mereka bahkan mulai mengambil ponsel dan merekam.

"Apa maksudnya?" tanyanya, masih mencoba memahami situasi.

"Anda dilaporkan atas pelanggaran terkait penyebaran konten yang dianggap provokatif dan menyesatkan. Kami harus membawa Anda untuk diperiksa lebih lanjut," jawab salah satu pria dengan nada tegas.

Dunia yang tadi terasa luas dan bebas kini seketika menyempit. Tangannya dipegang erat, diapit di antara dua aparat. Dia mencoba mengendalikan napasnya, namun dadanya terasa semakin sesak. Pandangan orang-orang yang memandangnya seakan menambah beban di pundaknya.

Dalam perjalanan menuju kantor polisi, pikirannya berputar. Dia hanya ingin melukis, hanya ingin menyampaikan kebenaran dalam bentuk seni. Tapi kenyataan tak semudah itu. Dunia tak selalu mengizinkan kebenaran diungkapkan dengan bebas.

Namun, di balik semua ini, senyum masih menggantung dan menghiasi wajahnya. Ada satu hal yang dia yakini—dia telah melakukan sesuatu yang berarti. Dan itu lebih dari cukup.


Oleh: Muhamad Anugrah Putra
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak