BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Independensi Guru: Krisis Struktural Di Tubuh Pendidikan Indonesia

Penalaut.com -
Indonesia selama ini gemar menyebut guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Sayangnya, pengakuan itu hanya berhenti pada simbolisme tanpa disertai perlindungan nyata terhadap martabat guru. Di balik gedung-gedung sekolah yang baru diresmikan, ada krisis yang dibiarkan berlarut-larut: independensi guru dirampas oleh intervensi birokrasi dan kepentingan politik lokal. Kondisi ini bukan sekadar keluhan personal para guru, melainkan masalah struktural dalam sistem pendidikan Indonesia yang dibiarkan tanpa penyelesaian.

Otonomi Daerah dan Distorsi Tujuan Pendidikan

Secara teori, otonomi daerah memiliki tujuan mulia: mendekatkan pengambilan keputusan ke masyarakat lokal agar kebijakan menjadi lebih responsif dan kontekstual. Dalam konteks pendidikan, desentralisasi diharapkan mampu menyesuaikan kebijakan dengan kebutuhan daerah masing-masing.

Namun, apa yang diungkapkan oleh Stephen J. Ball, seorang sosiolog pendidikan dari Inggris, justru terjadi. Dalam teorinya tentang “education policy as discourse” (2006), Ball menjelaskan bahwa desentralisasi sering kali melahirkan distorsi arah kebijakan pendidikan ketika kepentingan politis lebih dominan daripada kepentingan pedagogis. Di Indonesia, gejala ini sangat kasat mata: jabatan kepala sekolah dipolitisasi, guru dimutasi karena preferensi politik, dan tunjangan dipermainkan sebagai alat kontrol politik oleh penguasa daerah.

Contoh nyata dapat dilihat dari laporan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang mencatat lonjakan pengaduan terkait mutasi ASN, termasuk guru, selama masa pemilihan kepala daerah. Guru bukan lagi pendidik, tapi bagian dari “instrumen politik birokratisasi pendidikan”.

Teori Profesionalisme: Ketika Guru Kehilangan Otonomi

Teori profesionalisme yang banyak dikemukakan oleh sosiolog seperti Eliot Freidson (2001) menekankan bahwa profesi seperti guru idealnya memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan karena keahlian mereka bersifat spesialis dan melayani kepentingan publik. Freidson menyatakan, ketika kontrol eksternal (terutama politik) mengatur keputusan profesional, maka kualitas layanan publik cenderung menurun karena profesional tidak dapat lagi beroperasi berdasarkan standar keilmuan.

Kondisi ini persis terjadi pada guru di Indonesia. Kurikulum bisa saja merdeka, tetapi proses pengajaran tetap terkooptasi oleh tekanan dari pihak luar. Penilaian, pengangkatan, dan promosi guru tidak lagi berdasarkan kapabilitas dan integritas, melainkan kedekatan dengan pejabat daerah atau partai politik. Akibatnya, integritas guru terancam, dan pendidikan kehilangan esensinya sebagai proses transformasi sosial yang ilmiah.

Dampak Sosial: Pendidikan yang Mencetak Generasi Tunduk

Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed (1970) secara jelas mengingatkan, pendidikan bisa menjadi alat pembebasan atau penindasan, tergantung siapa yang mengontrolnya. Ketika pendidikan dikendalikan oleh kepentingan politik, yang tercipta bukan manusia merdeka, tetapi manusia tunduk. Ketika guru dicekik oleh tekanan politik, mereka tidak mampu menumbuhkan karakter kritis dalam diri peserta didik.

Penelitian dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan berbagai lembaga akademik di Indonesia juga menguatkan temuan ini: guru yang hidup dalam tekanan politik cenderung mengadopsi praktik “mengamankan diri”, yaitu mengajar asal-asalan, menghindari kritik terhadap kebijakan yang buruk, dan tidak mau terlibat dalam diskusi kemajuan pendidikan. Ini adalah bentuk ketakutan sistemik yang diturunkan dari atas.

Negara dan Kegagalan Perlindungan

UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memang mengatur hak-hak guru, namun nyaris tidak ada pasal yang membahas secara eksplisit independensi guru dari intervensi politik lokal. Ini menunjukkan kelemahan regulasi secara fundamental. Sementara itu, pengawasan dari pusat hampir tidak berfungsi karena pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan guru PNS.

Akibatnya, posisi guru menjadi dilematis. Jika mereka patuh pada nurani, risiko mutasi dan non-promosi selalu membayangi. Jika mereka tunduk pada politik, mereka mengorbankan etika profesi mereka sendiri.

Solusi Struktural: Memperbaiki Sistem Bukan Hanya Moralitas

Pertama, solusi tidak bisa lagi sekadar mendesak guru untuk “berintegritas”. Sistem yang rusak tidak akan berubah hanya dengan harapan moral individu. Negara harus memperbaiki sistem pengelolaan guru. Negara harus memperjelas pasal perlindungan independensi guru melalui revisi regulasi, misalnya dengan memasukkan klausul “perlindungan dari intervensi politik” dalam UU ASN maupun UU Guru.

Kedua, harus ada pengawasan aktif dari lembaga independen seperti KASN, Ombudsman, atau Komnas HAM terhadap praktik mutasi dan intimidasi guru oleh pemerintah daerah. Bentuk pengawasan tidak hanya administratif, tetapi juga sosial melalui pelibatan LSM pendidikan.

Ketiga, organisasi profesi guru perlu direstrukturisasi. Menurut teori “collective power” dari Michael Lipsky (2010), profesi hanya akan mendapatkan perlindungan maksimal ketika mereka mampu membangun kekuatan kolektif yang tidak terkooptasi. Artinya, PGRI dan sejenisnya harus independen, aktif menyuarakan ketidakadilan, dan tidak larut menjadi perpanjangan tangan penguasa.

Pendidikan Tidak Akan Berkualitas Jika Guru Tidak Merdeka

Sampai saat ini, persoalan independensi guru di Indonesia masih diabaikan dalam wacana publik. Pemerintah lebih sibuk membangun fisik sekolah dan membuat kurikulum baru tanpa menyentuh akar persoalan: guru tidak diberikan kebebasan berpikir dan mengajar secara profesional. Tanpa keberanian politik untuk melindungi independensi guru, Indonesia hanya akan terus melahirkan generasi penurut, bukan generasi pembaru.

Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kemerdekaan guru. Guru yang bebas berpikir adalah syarat mutlak lahirnya pendidikan yang mencerahkan. Dan negara yang terus membiarkan guru ditindas, sama saja dengan merusak masa depannya sendiri.

Oleh: David Yogi P.

Daftar Pustaka:
Ball, S. J. (2006). Education Policy and Social Class: The Selected Works of Stephen Ball. London: Routledge.
Freidson, E. (2001). Professionalism: The Third Logic. Cambridge: Polity Press.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
Lipsky, M. (2010). Street-Level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in Public Services. New York: Russell Sage Foundation.
Republik Indonesia. (2005). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara.
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). (2022). Laporan Pengawasan Netralitas ASN dalam Pemilu dan Pilkada. Jakarta: KASN.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). (2020). Potret Mutasi Guru di Daerah: Kajian Kasus pada Guru SD Negeri. Jakarta: Pusat Penelitian Kependudukan LIPI.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak