BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Gus Dur dan Buku: Membaca Gus Dur yang Tengah Tidur

Penalaut.com
- Membicarakan KH. Abdurrahman Wahid, yang lebih akrab dipanggil Gus Dur, menurut saya tidak akan pernah ada habisnya. Membicarakan dalam hal ini bukan berarti grundeli ataupun ngrasani, melainkan memperbincangkan hal-hal yang berkaitan dengan Gus Dur. Apakah itu dari segi pemikiran, cerita-cerita humor, maupun tulisan-tulisan dan tindakan nyeleneh-nya. Tokoh kosmopolit–yang tidak hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia, bahkan umat NU, tetapi juga milik masyarakat dunia–ini seperti satu fenomena anomali di masanya, bahkan hari ini dalam cerita-cerita kawan, saudara, keluarga dan orang-orang yang bahkan tidak pernah ditemuinya.
 
Dalam satu kesempatan, Gus Dur pernah menghadiri undangan dari pendeta Hindu buta yang berusia 80 tahun dalam acara kedatangan Swami Shanti Prakash (pendeta Hindu asal India). Saat Gus Dur hadir di tengah-tengah lingkaran, pendeta tua itu merentangkan tangan kanannya, sebagai bentuk ucapan selamat datang atas kehadiran Gus Dur, kemudian pendeta tua memeluk dan berbisik padanya “Saya titip umat Hindu di sini.” Selepas pelukan, bisikan dan pertemuan itu, Gus Dur sangat bangga dan bersyukur bahwa ia telah diakui sebagai warga umat manusia; “Rasanya tidak sia-sia hidup ini,” katanya (Salim, 2021:132). Hingga hari ini tidak pernah habis dibahas, menunjukkan bahwa pribadi Gus Dur telah membumi dan kemudian mengakar dalam alam bawah sadar kesejarahan bangsa Indonesia, bahkan dunia.

Gus Dur, berikut pemikiran-pemikirannya, hingga ia diakui sebagai warga umat manusia, tidak berangkat dari ruang kosong, tidak karena ia memiliki previlese cucu dan sekaligus anak kiai, dan juga tidak karena jabatan-jabatan yang ia emban. Luasnya khazanah pemikiran Gus Dur mengenai banyak aspek, dimulai dari satu hal yang ia tekuni, yakni membaca. Buku dan Gus Dur adalah teman dekat. Walaupun, selain membaca buku, ternyata Gus Dur membaca hal-hal yang tak tertulis juga.

Saya kira penting sekali untuk generasi bangsa membaca Gus Dur (tulisannya), lebih-lebih kepada mereka yang secara komunal menyandarkan dasar gerakan padanya; Gusdurian. Pandangan terhadap berbagai aspek yang Gus Dur miliki, bukan sempurna, tetapi sangat dapat menjadi rekomendasi bagi generasi bangsa agar memiliki pandangan yang luas atas kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, sekaligus kritis di tengah hiruk-pikuk, akrobat dan kabar buruk dari pe-me-rin-tah.

Kacamata Tebal Gus Dur

KH. Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur adalah tokoh besar di masa-masa awal bangsa Indonesia merdeka. Sebagai tokoh bangsa, tentu kebiasaan membaca buku menjadi satu medium untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan dalam keluarganya–bahkan jika zaman itu sudah ada komik, mungkin juga direkomendasikan pada anaknya (mungkin). Deliar Noer, seorang dosen, pemikir, peneliti dan politikus yang sekawan dengan KH. Wahid Hasyim, saat akan menemui KH. Abdul Wahab Chasbullah yang sedang menginap di rumah putra Rais Akbar Nahdlatul Ulama itu, telah menyaksikan kondisi Gus Dur yang berkacamata tebal.

Dalam kesaksian Noer, ia melihat beberapa anak kecil yang sedang asyik berlari-lari, namun ada satu anak laki-laki kecil, mengenakan kacamata tebal, ia sedang membaca buku (Salim, 2021:16). Noer menyadari bahwa anak dengan kacamata tebal itu adalah Gus Dur, saat putra sulung KH. Wahid Hasyim itu sudah menjadi Ketua Umum PBNU. Memang cerita Gus Dur gandrung terhadap membaca sudah seperti mitos saja; diceritakan dari generasi ke generasi.

Semasa di SMEP, (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) medio 1952 – 1957, Gus Dur telah melahap magnum opus tokoh komunisme, Karl Marx, yakni Das Kapital, lalu Who is to be Done karya Lenin. Selain itu juga karya novelis Andre Gide yang berjudul La Porte Efroite yang pada akhirnya mengilhami Gus Dur memberi nama putri pertamanya dengan nama Alissa, nama salah satu tokoh di dalam novel tersebut (Ahmad, 2021:33).

Kebiasaan Gus Dur membaca tidak berhenti setelah pendidikan menengahnya usai. Banyak buku sudah ia baca. Bahkan–masih perlu didalami validitasnya–dalam kesempatan silaturahim saya dengan beberapa orang yang pernah hidup (dalam organisasi maupun Pesantren Ciganjur; santri) bersama Gus Dur, menuturkan 2000-an buku sudah dilahap habis oleh Gus Dur. Yang lain menyebutkan teknik Gus Dur untuk memahami buku dengan jalan ngakali adiknya, yakni Hasyim Wahid (Gus Im), dengan menyuruhnya untuk membaca, merangkum, kemudian mendiskusikan dengannya, sedangkan Gus Dur sendiri sebenarnya belum pernah membaca buku yang ia sodorkan pada anak bungsu KH. Wahid Hasyim itu. Itu Teknik yang cukup efisien dan menghemat umur.

Dalam satu fase hidupnya, yakni saat kecewa dengan Al-Azhar (sebab tidak sesuai ekspektasi), ia menikmati Kairo sebagai pelampiasan dengan melakukan banyak hal, termasuk mengunjungi perpustakaan-perpustakaan besar di sana. Setidaknya ada tiga perpustakaan yang ia kunjungi selama di Kairo–selain bioskop dan kedai kopi–yakni perpustakaan Amerika, Kairo dan Perancis. Tidak hanya membaca, Gus Dur juga mencoret-coret buku yang ia baca di perpustakaan-perpustakaan besar itu, yang konon hingga kini jejak coretannya masih ada (Ahmad, 2021:34).

Jauh dari rumah dan tidak dalam pengawasan yang ketat, menjadikan Gus Dur lebih leluasa untuk menyalurkan hobi membacanya. Walaupun semasa di pesantren, ia juga sempat menyediakan waktu khusus untuk membaca buku. Bahkan saat di Kairo, saking hausnya akan bacaan, ia tidak segan membaca potongan-potongan koran ataupun majalah tua yang tergeletak, entah saat di sekeliling rumah maupun kala menunggu bus tiba (Barton, 2020:90). Wajar jika dalam suatu wawancara, Gus Dur menyebutkan bahwa satu-satunya pacar yang ia miliki hanyalah buku (Salim, 2021:16).

Kebiasaan Berbagi Buku dan Diskusi

Gus Dur, sebagaimana “mitos” tentangnya mengenai membaca, berbagi bahan bacaan seolah juga menjadi keharusan baginya. Ia sering menanyakan buku baru sekaligus membagikan (untuk dibaca) buku-buku yang telah ia baca kepada kawan maupun juniornya.

Karakter Gus Dur agar bangsa ini memiliki cakrawala pengetahuan pada pelbagai aspek, dengan cara meminjam-bagikan buku pada orang-orang dekatnya, tentu sangat kontraproduktif dengan akhir paragraf kata pengantar yang ia tulis dalam Mati Ketawa Ala Rusia; orang yang meminjamkan buku adalah orang yang bodoh dan orang yang mengembalikan buku yang ia pinjam adalah perbuatan orang gila (Dolgopolova, 1986). Berangkat dari ungkapannya sendiri, Gus Dur termasuk orang yang bodoh. Namun demikian, berbagi bacaan sudah menjadi kebiasaan Gus Dur, lebih-lebih di masa rezim orba yang sangat sulit untuk mengakses buku-buku bacaan yang penting.

Hal ini juga disaksikan Hairus Salim (pendiri LKiS), bahwa buah pikiran Hassan Hanafi dalam buku Kazuo Shimogaki yang berjudul Al-Yasaar al-Islamy (Kiri Islam) yang pada saat itu beredar di lingkungan anak-anak muda, khususnya pemuda NU, berasal dari Gus Dur (Salim, 2021:18). Selain itu, Salim sendiri juga masih menyimpan buku Ashgar Ali Engineer yang bertandatangan asli penulisnya, yang juga bertuliskan: “ila akhi al-karim Abdurrahman Wahid.” Ternyata buku itu merupakan hadiah dari penulis kepada saudaranya (saudaraku: akhi), yakni Gus Dur, yang kemudian dipinjam Salim dan tidak atau lupa dikembalikan. Mungkin saja biar tidak jadi orang gila.

Tidak hanya berbagi buku bacaan, Gus Dur juga tidak jarang menanyakan buku keluaran terbaru kepada kawan-kawannya. Artinya, selain senang meminjamkan, ia juga rajin meminjam. Gus Dur masuk kategori orang bodoh sebagaimana humornya, sebab meminjam-bagikan bukunya, namun ia bukanlah orang yang gila. Meskipun bukan dalam konteks mengembalikan buku pinjaman secara harfiah.

Dalam hal ini, Gus Dur meminta Salim untuk menyalin (fotokopi) dua buku yang ditulis oleh mistikus muslim asal India, Hasan Askari, setelah ia tanya kepada Salim keluaran buku terbaru. Meminta tolong menyalin tanpa memberikan uang, sama dengan meminjam uang Salim untuk ongkos fotokopi. Dua minggu setelah itu, Gus Dur mengambil salinan buku tersebut, namun ia tidak memberi sepeser pun uang ganti ongkos fotokopi (Salim, 2021:20). Gus Dur bukan orang gila, kan?

Beberapa bulan berlalu, Salim mendapatkan informasi dari kawannya asal Malang (Gus Udin) yang bercerita telah membaca karya muslim asal India itu. Ternyata Gus Udin ini mendapatkan salinan buku itu dari Gus Im (adik Gus Dur) dan berencana akan diterjemahkan. Tanpa meminta klarifikasi, Salim berspekulasi bahwa buku itu awal beredar darinya, disalin, lalu ia berikan kepada Gus Dur (tanpa ongkos ganti), kemudian beralih ke Gus Im–entah dengan ngakali adiknya atau tidak–dan berakhir di tangan aktivis Malang itu. Beberapa tahun berlalu dua buku itu diterjemahkan dan diterbitkan oleh Risalah Gusti dengan judul Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim Humanis, dan LKiS yang diberi judul Lintas Iman: Dialog Spiritual (Salim, 2021:20).

Terlepas dari humor Gus Dur, bahwa ia masuk kategori orang bodoh dan bukan orang gila, kita semakin memahami bagaimana Gus Dur sebagai pribadi yang memiliki wawasan luas memang berangkat dari kebiasaan membaca, meminjam bahkan menyebar-bagikan buku. Kepeduliannya pada literasi dengan menyebarkan buku pada adiknya, maupun kawan dan kadernya juga menunjukkan bahwa pengetahuan yang didapat seseorang tidak harus disimpan sendiri. Dan justru dengan berbagi buku bacaan, kemudian berdiskusi, wawasan akan lebih matang dan mendapat pemahaman yang lebih baik serta komprehensif.
 
Jika berkilas balik, di masa Gus Dur di Kairo, buku-buku yang telah ia baca di tanah air–seperti karya Marx dan Lenin–juga ia bawa dan didiskusikan di kedai-kedai kopi bersama mahasiswa dan kaum cendekiawan di sana (Barton, 2020:90). Sehingga di Kairo ia banyak melahap pemikiran-pemikiran Eropa yang ia serap dari diskusi di kedai-kedai kopi itu, yang bisa saja di Indonesia ia tidak dapat melakukannya.

Gusdurian dan Buku-buku Gus Dur

Menjadi penggerak Gusdurian tidak hanya sekedar menyerukan perjuangan-perjuangan sebagaimana Gus Dur berjuang. Hal paling prinsip yang perlu disadari dan dilakukan bersama oleh penggerak adalah memahami Gus Dur. Jika slogan “Gus Dur sudah meneladankan, saatnya kita melanjutkan” bergaung di seantero dunia di mana Komunitas Gusdurian berada, maka konsekuensinya adalah membaca– kemudian memahami–bagaimana dan apa yang telah diteladankan oleh Gus Dur.

Dalam hal ini, tulisan-tulisan Gus Dur yang terpublikasi dalam gusdur.net, maupun yang sudah terkodifikasi dan diterbitkan oleh beberapa penerbit–sebagaimana dibahas secara rinci dalam bab 2 buku Negara Bukan-bukan: Prisma Pemikiran Gus Dur tentang Negara Pancasila (Ridwan, 2018:33)–menjadi literatur primer bagi siapapun yang ingin mempelajari keteladanan Gus Dur–yang bermuara dari pemikirannya–lebih-lebih bagi yang membawa gerakan atas nama Gus Dur, yakni Gusdurian. Dan tulisan-tulisan orang lain yang membahas tentangnya menjadi literatur sekunder.

Jadi, tidak cukup hanya dengan menyerukan slogan itu saja, tetapi juga harus ngeh dengan apa yang didengung-dengungkan itu. Walaupun akan sulit memahami Gus Dur melalui tulisannya sendiri maupun tulisan orang lain tentangnya serta laku juangnya dalam pelbagai persoalan, sebab–seperti kata Nurcholish Madjid–selain rezeki, jodoh dan mati, ternyata Gus Dur juga satu hal misterius yang hanya Tuhan yang tahu. Namun, bukan berarti Gus Dur tidak bisa dipahami. Dengan diskusi bersama, sebagaimana Gus Dur diskusi, pemahaman atas tulisan Gus Dur akan cenderung lebih mudah didapatkan.

Inilah yang sebenarnya sedang diupayakan oleh Komunitas Gusdurian Banyuwangi yang secara terang-terangan dan seolah tergopoh melayangkan sebuah pamflet bertajuk “Mari Wujudkan Perpustakaan Gus Dur Terbesar di Dunia.” Ini bukan guyonan intelektual sebagaimana MBG yang dapat meningkatkan kemampuan matematika dan berbahasa Inggris. Emang iya?

Terakhir, terlintas dalam benak saya bahwa setelah tulisan ini diudarakan dan setelah Temu Nasional Jaringan Gusdurian dan Konferensi Pemikiran Gus Dur usai, Gus Dur yang tengah tidur kemudian terbangun, lalu berseloroh: “Orang mau bubarin DPR kok dibilang tolol sedunia.”

Selamat menunaikan giat Temu Nasional Jaringan Gusdurian dan Konferensi Pemikiran Gus Dur Tahun 2025. Meneladani Gus Dur, Merawat Indonesia.

Terimakasih dan mohon maaf.


Oleh: Muhammad Sholeh Muria (Koordinator Komunitas Gusdurian Banyuwangi)


Rujukan:

Salim, Hairus. 2021. Gus Dur: Sang Kosmopolit. Yogyakarta: Mojok.

Ahmad, Maghfur. 2021. Gus Dur: Islam, Negara dan Isu-isu Politik. Pekalongan: Scientist Publishing.

Barton, Greg. 2020. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: IRCiSoD.

Dolgopolova, Z. 1986. Mati Ketawa Cara Rusia. Jakarta: Pustaka Gratifipers.

Ridwan, Nur Khalik. 2018. Negara Bukan-bukan: Prisma Pemikiran Gus Dur tentang Negara Pancasila. Yogyakarta: IRCiSoD.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak