BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Kacau! Bendera One Piece Mengguncang Indonesia: Antara Kebebasan Berekspresi dan Nasionalisme

Penalaut.com
- Viralnya pengibaran bendera One Piece—dengan simbol Jolly Roger-nya yang ikonik—di truk dan tiang rumah memicu perdebatan panas di media sosial. Sebagian netizen menudingnya sebagai bentuk "penistaan" terhadap bendera Merah Putih, sementara yang lain bersikukuh itu hanya ekspresi fandom yang legal. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum Indonesia mengatur hal ini?

Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara memang mengatur secara ketat penggunaan bendera Merah Putih. Pasal 4 hingga 24 menjelaskan tata cara pengibaran, ukuran, hingga larangan merusak atau menghina bendera kebangsaan. Namun, aturan ini hanya spesifik untuk Merah Putih sebagai simbol negara. Tidak ada satu pun pasal yang melarang warga mengibarkan bendera dengan desain lain—apakah itu bergambar tokoh, klub sepak bola, atau bahkan bajak laut fiktif seperti dalam anime One Piece.

Fenomena bendera One Piece ini justru menguak celah hukum yang menarik: Indonesia tidak memiliki regulasi khusus tentang bendera non-negara. Selama bendera tersebut tidak menyerupai Merah Putih (misalnya, mengubah warna atau menambahkan simbol pada sang saka merah putih), atau mengandung simbol terlarang (seperti logo organisasi teroris), maka hukum tetap membuka ruang untuk kebebasan berekspresi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 bahkan mempertegas bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Mengibarkan bendera One Piece bisa ditafsirkan sebagai bentuk ekspresi budaya pop, terutama bagi generasi muda yang menggemari anime. Namun, pertanyaannya adalah apakah kebebasan ini mutlak? Meski legal, bukan berarti tanpa risiko. Di tingkat masyarakat, pengibaran bendera bernuansa "asing" bisa dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap simbol nasional, terutama di momen-momen tertentu seperti Hari Kemerdekaan.

Belum lagi, interpretasi subjektif tentang "penghinaan" bisa dimanipulasi oleh oknum yang tak toleran. Contoh nyata terjadi di Jepang, di mana bendera One Piece pernah dilarang di acara publik karena dianggap "mengganggu ketertiban". Di Indonesia, meski belum ada kasus serupa, potensi konflik sosial tetap ada jika fenomena ini dibiarkan tanpa edukasi.

Sebagai penulis, saya melihat ini sebagai ujian bagi cara kita memaknai nasionalisme di era globalisasi. Bendera Merah Putih adalah simbol sakral, tetapi memaksakan monopoli pengibaran bendera justru bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Solusinya? Edukasi, bukan larangan. Pemerintah bisa memperjelas aturan tanpa membungkam kreativitas, misalnya dengan mengeluarkan panduan tentang etika pengibaran bendera non-negara.

Sementara masyarakat perlu belajar menghargai perbedaan: selama tidak merendahkan Merah Putih, biarkan anak muda mengekspresikan kecintaan mereka pada Luffy dan kawan-kawan. Dengan demikian, kita dapat mempertahankan semangat kebebasan yang bertanggung jawab di bawahnya.

Dalam penutup, viralitas bendera One Piece bukan sekadar tren, melainkan cermin dinamika hukum dan sosial Indonesia. Yang perlu kita pertahankan bukan hanya warna merah dan putih di tiang bendera, tetapi juga semangat kebebasan yang bertanggung jawab di bawahnya. Nasionalisme sejati tidak takut pada bendera bajak laut fiktif, selama bendera kebangsaan tetap dikibarkan dengan bangga.


Oleh: Nashrul Mu'minin (Content Writer Yogyakarta)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak