Aktivitas scrolling yang kita anggap ringan, hanyalah bentuk modern dari ketagihan yang disamarkan. Ia tidak menguras tenaga seperti mendaki gunung, tapi mengikis fokus dan energi mental perlahan-lahan. Layar yang tampak pasif itu sejatinya aktif menuntut atensi, menyajikan dunia dalam potongan visual, suara, dan notifikasi yang terus memanggil. Kita tak sekadar melihat dunia, tapi menyerapnya, tanpa henti, tanpa batas.
Berapa banyak dari kita yang membuka ponsel tanpa alasan? Awalnya hanya ingin melihat waktu, tapi kemudian terjerumus membuka satu demi satu aplikasi: media sosial, video pendek, artikel, hingga akhirnya berakhir dalam kekosongan mental yang membingungkan. Kita tertawa, terkejut, marah, kagum—dalam hitungan menit—lalu kembali merasa kosong. Inilah mental fatigue era digital: tubuh diam, tapi otak bekerja lebih keras dari yang kita kira.
Fenomena ini bukan sekadar gejala teknologi. Ia telah menjadi lanskap budaya. Scrolling adalah ritual harian, bahkan malam hari. Saat tubuh seharusnya rebah dan pikiran meluruh ke dalam mimpi, yang terjadi justru sebaliknya: kita tergiring ke dalam lautan konten yang tak kunjung usai. Kita tidak lagi mengendalikan layar; layar yang mengendalikan kita.
Dalam jangka panjang, kebiasaan ini menggerus kapasitas atensi kita. Fokus menjadi barang mahal. Pikiran menjadi cemas tanpa sebab. Kita menjadi sulit tidur, mudah jenuh, dan kehilangan rasa puas. Bahkan saat beristirahat, otak tak benar-benar diam. Ia tetap menuntut sensasi baru, gambar baru, suara baru. Lelah menjadi keadaan default yang tak kita sadari.
Lebih menyedihkan, scrolling membuat kita kehilangan ruang refleksi. Dulu, keheningan adalah tempat tumbuhnya ide dan kontemplasi. Kini, keheningan ditakuti. Di keramaian pun, kita sibuk dengan ponsel masing-masing. Kebersamaan berubah menjadi aktivitas saling diam dengan mata terpaku pada layar. Dunia terasa semakin sibuk, padahal yang sibuk hanya jari dan pikiran kita yang terus dirangsang.
Yang terlupakan adalah bahwa otak punya batas. Ia bukan mesin yang bisa bekerja terus-menerus. Ia perlu jeda, ruang kosong, dan waktu tanpa stimulasi. Tapi budaya digital seakan menafikan itu. Dalam dunia yang terus bersuara, diam menjadi bentuk perlawanan. Memilih tidak scrolling bisa menjadi tindakan revolusioner.
Masalahnya bukan pada teknologi. Bukan pula pada ponsel atau aplikasi. Masalahnya adalah bagaimana kita menata relasi kita dengan teknologi itu. Kita tidak bisa menolak dunia digital, tetapi kita bisa mengatur iramanya. Seperti musik, kehidupan butuh jeda. Butuh hening di antara nada.
Kini, penting bagi kita untuk belajar pause. Meletakkan ponsel, menutup laptop, dan menikmati ruang tanpa distraksi. Duduk tanpa tujuan, membaca tanpa scrolling, berbicara tanpa disela notifikasi. Kita perlu ruang untuk merasakan dunia dengan perlahan. Dunia yang tidak dilihat dari layar, tapi disentuh dengan kehadiran.
Karena pada akhirnya, manusia butuh makna, bukan hanya informasi. Butuh tenang, bukan hanya ramai. Dan otak kita, yang selama ini setia bekerja keras menyerap dunia digital, layak diberi waktu untuk pulang ke dirinya sendiri. Mungkin, hanya dengan itu kita benar-benar bisa merasa hidup—tanpa kelelahan yang tak bernama.
Oleh: Nashrul Mu’minin – Content Writer, Yogyakarta
Posting Komentar