BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Ketika Pelindung Berubah Jadi Pemangsa: Saatnya Mahasiswa Menyuarakan Nurani Publik

Penalaut.com -
Ada yang lebih menakutkan daripada perampok bersenjata di jalanan, yaitu predator yang bersembunyi di balik pintu rumah sendiri. Seorang ayah yang mestinya jadi pelindung, tega menyetubuhi anak kandungnya sejak usia 15 hingga 16 tahun. Jika rumah adalah tempat teraman, maka kasus ini membuktikan: kadang rumah justru jadi neraka paling sunyi.

‎Apakah kita masih bisa menyebutnya “ayah”? Tidak. Ia bukan ayah, bukan orang tua, bukan pelindung. Ia predator, perampas masa depan, dan pengkhianat kemanusiaan.

‎Literasi ilmiah sudah lama membunyikan alarm soal incest. Penelitian Finkelhor & Browne (1985) memperkenalkan konsep traumatic sexualization. ‎Anak korban incest, dipaksa memaknai seksualitas secara bengkok, meninggalkan luka batin yang sulit dipulihkan.

‎Judith Herman (1992) dalam Trauma and Recovery menjelaskan, korban incest tidak hanya mengalami PTSD, tapi juga complex trauma yang menggerogoti rasa aman, identitas, dan kepercayaan terhadap figur otoritas. ‎Artinya, ketika seorang ayah menyetubuhi anaknya, yang rusak bukan hanya tubuh, tetapi juga jiwa. Dan jiwa yang rusak tidak pernah sembuh total, ia hanya bisa belajar hidup dengan luka itu.
‎Incest bukan hanya merampas masa kecil anak, tapi juga merampas seluruh masa depannya
‎Yang lebih menyakitkan, kasus-kasus incest sering kali ditutup rapat. Alasan klasik: “aib keluarga”. Padahal diam bukanlah solusi, melainkan bentuk kolaborasi jahat. Silence is complicity. Diam berarti memberi karpet merah bagi predator rumah tangga untuk terus memangsa.

‎Inilah wajah masyarakat kita yang terjebak dalam “harmoni semu.” Kita lebih takut pada gosip tetangga daripada luka anak sendiri. Kita lebih sibuk menjaga wibawa keluarga ketimbang memperjuangkan keadilan. Akhirnya, anak yang hancur jiwa dan raganya dibiarkan menanggung beban sendirian.

‎Kita memang punya Undang-Undang Perlindungan Anak. Kita punya pasal, kita punya ancaman hukuman. Tapi mari jujur: berapa banyak kasus incest yang benar-benar mendapat vonis maksimal? Lebih sering kita mendengar kompromi, “jalan damai,” atau bahkan perkawinan paksa antara pelaku dengan korban. Ironi yang sulit ditelan logika.

‎Padahal, Putnam (2003) dalam kajiannya di Child Abuse & Neglect menunjukkan bahwa korban incest membutuhkan rehabilitasi psikologis jangka panjang, bukan sekadar “perdamaian keluarga”. Sayangnya, negara lebih rajin menghitung angka hukuman daripada menghitung berapa jiwa anak yang hancur.

‎Di titik ini, saya ingin mengajukan pertanyaan pahit: di mana mahasiswa? Bukankah sejarah mencatat mahasiswa selalu berdiri paling depan saat bangsa ini terancam?

‎Kasus incest bukan sekadar “urusan domestik,” melainkan ancaman sosial. Jika generasi muda dirusak dari dalam rumah, apa artinya bicara revolusi industri 5.0, ekonomi biru, atau politik hijau? Semua jargon runtuh ketika anak-anak bangsa justru tak aman di tempat tidurnya sendiri.

‎Mahasiswa seharusnya lantang bersuara. Mereka bisa menggelar mimbar nurani, diskusi publik, advokasi korban, hingga tekanan politik agar hukum lebih tegas. Jangan sampai Ormek hanya jadi panggung retorika, sibuk soal perebutan kursi dan baliho, tapi tuli pada jeritan anak bangsa yang diperkosa di balik pintu rumah.‎
‎Jika mahasiswa bungkam soal incest, lalu siapa lagi yang akan bersuara? Kalau bukan garda moral, jangan-jangan mahasiswa hanya jadi garda formal
‎Lucunya, di negeri ini pejabat sering sekali bicara moral di podium. “Kita harus menjaga generasi muda”, katanya dengan penuh wibawa. Tapi ketika anak diperkosa oleh ayahnya sendiri, suara-suara itu tiba-tiba menguap, seakan lupa jalan kembali ke mikrofon.

‎Kita rajin membuat slogan: Indonesia Emas 2045. Pertanyaannya, bagaimana bisa emas, kalau anak-anak kita dibiarkan berkarat oleh predator rumah tangga? Bagaimana bisa generasi cemerlang, kalau yang mestinya melindungi justru melukai?

‎Kita harus sepakat: ayah yang menyetubuhi anak kandungnya bukan hanya pelaku kriminal, tapi pengkhianat moral. Tidak ada ruang kompromi. Tidak ada alasan maaf. Ia harus dihukum seberat-beratnya, dan masyarakat harus berhenti menormalkan kebiadaban dengan bungkam.

‎Mahasiswa, sebagai garda moral, punya tugas historis. Jangan hanya jadi penonton, jangan hanya sibuk dengan urusan internal kampus. Saat masyarakat membisu, suara mahasiswa harus jadi alarm terakhir yang membangunkan kesadaran publik.

‎Kasus ayah predator adalah cermin retak dari bangsa kita. Retakan itu tidak bisa dilemparkan ke anak semata, tapi ke kita semua: keluarga, masyarakat, negara, dan juga mahasiswa. Jika kita memilih diam, maka kita adalah bagian dari konspirasi sunyi. ‎Karena pada akhirnya, yang hancur bukan hanya satu anak, melainkan kepercayaan kita pada rumah, pada keluarga, pada manusia. Dan bangsa tanpa kepercayaan adalah bangsa yang rapuh.

‎Maka, mari kita nyatakan dengan lantang: stop incest, hukum predator, pulihkan korban, dan jadikan mahasiswa sebagai garda moral yang tak pernah bungkam.

Oleh: Slamet Ichlasul Amal

‎Daftar pustaka:

‎Finkelhor, D., & Browne, A. (1985). The traumatic impact of child sexual abuse: A conceptualization. American Journal of Orthopsychiatry, 55(4), 530–541.

‎Herman, J. L. (1992). Trauma and Recovery: The Aftermath of Violence—from Domestic Abuse to Political Terror. Basic Books.

‎Putnam, F. W. (2003). Ten-year research update review: Child sexual abuse. Child Abuse & Neglect, 27(6), 669–684.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak