BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Orasi Kosong Tanpa Pijakan Ilmiah

Penalaut.com -
Di tengah berjalannya forum diskusi dalam acara Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Softinala Institut, seorang pemuda berdiri tegap, membakar keheningan suasana forum. Alih-alih melontarkan tanya pada narasumber, ia justru menumpahkan gelisah jiwanya dalam sebuah orasi.

"Sahabatku semuanya, pernahkah kita merenung, apa sebenarnya organisasi PMII itu? Apa sesungguhnya ruh yang bersemayam dalam nama PMII?" Ucapnya, memecahkan kebisingan forum.

Sontak ruangan lengang, menyisakan deru nafas panjang, dan keheningan.

"PMII ialah rahim bagi pemikiran-pemikiran yang berani, yang sanggup membedah zaman dan menawarkannya jalan keluar. Ia adalah denyut nadi yang tak henti-hentinya berdetak untuk meruntuhkan tembok-tembok kebekuan berpikir dan merobohkan singgasana kemunafikan, kebohongan, dan ketidakadilan", lanjutnya dengan semangat membara.
PMII ialah rahim bagi pemikiran-pemikiran yang berani, yang sanggup membedah zaman dan menawarkannya jalan keluar
"Apa PMII itu? Ia adalah tempat jiwa-jiwa mahasiswa yang menolak jumud, yang matanya tak pernah lelah mengawasi denyut kehidupan sosial di sekitarnya. Tempat mereka yang tak sudi terpenjara dalam kemapanan dan tak punya sedikit pun alasan untuk memalingkan muka dari luka-luka di sekelilingnya."

Masih dengan tatapan yang tegas, ia melanjutkan. "Kader PMII ialah anak kecil yang dengan kejernihan matanya mampu menatap kebenaran tanpa selubung. Ia adalah mata yang menolak terpejam, tangan yang senantiasa merangkul, dan kaki yang senantiasa melangkah untuk kebenaran, sepahit apa pun rasanya. Ia adalah orang tua yang menyadari bahwa hanya kebenaran dan kebijaksanaanlah, sesuatu yang layak untuk digenggam."

"PMII," lanjutnya, "adalah tempat lembar-lembar gagasan yang ditimbang di atas neraca keadilan, yang berjuang menjaga kemurnian cita-cita di tengah godaan untuk memanipulasi fakta. Ia adalah para insan yang haus akan ilmu, yang melahap setiap informasi untuk memahami sebelum menghakimi."

"Kader PMII lebih memilih mengolah makna daripada sekadar menjadi konsumen hiburan sesaat. Mereka adalah bibit-bibit unggul yang sadar akan amanah yang bertengger di kepala mereka: me-rahmati alam semesta, sebijak-bijaknya, dan sebenar-benarnya."

Sekejap, ia menarik napas, menyeka buih kata di bibirnya, lalu melanjutkan dengan nada yang menikam.

"Maka, sahabat-sahabatku semuanya. Sebagai kader PMII janganlah engkau biarkan kutu-kutu memenuhi lembaran usang. Jangan sampai kutu-kutu itu lebih akrab dengan buku ketimbang kita. Jangan biarkan tempat ladang keilmuan menjadi ruang sunyi yang lengang, tempat di mana pengetahuan tertidur dengan lelap."

"Janganlah menjadi kader yang tak ubahnya seperti konsumen di pasar loak; datang ke kampus hanya membawa telinga sebagai kantung, sementara hati nurani dan akal sehatnya terkunci rapat di dalam almari."
Janganlah menjadi kader yang tak ubahnya seperti konsumen di pasar loak pengetahuan
"Sebagai kader PMII, janganlah menjadi tumpukan kertas di mesin cetak, yang rela dipoles dan dilumasi untuk kelak dipasang di mesin cetak birokrasi. Mesin cetak birokrasi yang membuat kita asing dengan rumah kita sendiri. Sebab di dalamnya telah banyak cakrawala yang dipangkas, kritisisme yang dibingkai, dan hati nurani yang ditenggelamkan di kedalaman lautan penindasan."

"Sebagai kader PMII, janganlah kalian menjadi anjing penjilat pantat pejabat, yang rela menggadaikan idealisme dan nilai-nilai organisasi untuk sekadar mencicipi tahi kekuasaan dan kencing kerakusan. Janganlah kalian pasrah untuk dikendalikan, dicetak, dan dibentuk oleh mesin birokrasi menjadi tahi. Janganlah kalian bermimpi besar seperti mereka; menjadi tahi-tahi penindas, yang merestui dan mendukung ketidakadilan!" Pungkasnya.
Janganlah kalian menjadi anjing penjilat pantat pejabat, yang rela menggadaikan idealisme dan nilai-nilai organisasi untuk sekadar mencicipi tahi kekuasaan dan kencing kerakusan
Syak, beberapa audiens terpana mendengar tiap kata yang keluar dari mulut pemuda itu. Hingga, di sudut lain dalam ruangan itu, satu audiens dengan memakai jas parlente dan dasi semulus jalan tol, bangkit dari kursinya dengan raut wajah mengeras.

"Cukup!" serunya membelah keheningan. "Hentikan permainan lidah yang membuai tanpa landasan! Apa yang kau ucapkan itu hanya sekedar tong sampah, retorika kosong yang tak punya pijakan ilmiah. Tidak teoritis, hanya berdasarkan subjektivitas yang tak konkret. Pernyataanmu lemah karena sama sekali tak ada dalil dan sumber yang sahih, kesimpulanmu rapuh karena tak berpijak pada teori yang nyata. Itu semua hanyalah ucapan emosional yang tak bisa dipertanggungjawabkan! Cukup!"

Oleh: Hilmi Hafi, Samsull
*Cerita ini diilhami oleh buku Slilit Sang Kiai, Karya Emha Ainun Najib
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak