Kegelapan Tanah Air kita lambat laun semakin pekat. Nyaris tak kasat mata. Kemudian kita juga sukar sekali membedakan: “mana iblis, mana manusia”. Dan sekarang kita semakin paham oleh celetukan ritmis Kang Wiji Thukul ini (Nurmalita, 2017: 52): “Kemerdekaan adalah nasi, dimakan jadi tai” (1982). Barangkali nasi (kemerdekaan) itu sudah basi, dan malah meracuni bangsa kita sendiri. Kemudian racun tersebut menjalar ke seluruh “tubuh” bangsa kita. Melemahkan. Menggerogoti. Dan diam-diam “membunuh” sendi-sendi demokrasi dan kebhinekaan kita.
Sehingga maklum, kalau salah satu “negeri di bawah angin” ini tampak reyot, terutama dalam soal sistem dan moralitas politik. Sajian “nasi-kemerdekaan” itu belum bisa kita nikmati. Padahal, usia Indonesia sudah terbilang “senja”. Dan melihat kehidupan kita saat ini, kalau mau jujur, masih jauh dari kata “layak”. Keadaan demikian bukan qadha (ketetapan) Tuhan. Ia adalah akibat dari kelakuan (penindasan) manusia. Dalam Al-Qur’an, secara simbolik, dilakukan oleh persekongkolan “Fir’aun-Qarun-Haman” (QS. Thaha: 43; an-Nazi’at: 17; Ghafir: 36; al-Qashash: 76).
Secara ironis, mazhab dan manhaj kekuasaan model begituan, merembet ke organ-organ anak muda, wa bil-khusus: mahasiswa. Perangai sebagian besar mahasiswa dewasa ini, bisa dikatakan, “meniru” segala sesuatu yang dilakukan generasi tua. Dan dianggap absah. Mahasiswa seperti ini bisa kita temui “batang-hidung”-nya di Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (Omek). Mereka kerap melakukan “sowan politik” (istilah Kuntowijoyo), suka membusungkan dada di depan para kader, dan memiliki watak “Qabil-Borjuistik”—menindas dan membela kekuasaan.
Golongan mahasiswa atau kader Omek di atas, ada di mana-mana, tak terkecuali di ujung timur Pulau Jawa, Banyuwangi. Keberadaan mereka bisa kita lacak dalam Omek, seperti: PC Himpunan Mahasiswa Islam (HMI); PC Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII); DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI); dan PC Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Semua Omek ini tergabung ke dalam kelompok “Cipayung Banyuwangi”.
Dalam kesempatan ini, saya hanya akan menulis oret-oretan tentang Cipayung Banyuwangi (CB) di atas. Sebab, sudah lama sebenarnya, grenengan tentang CB itu menjadi perbincangan di kalangan kader-kader pinggiran (dan mahasiswa Banyuwangi secara umum), kendati masih “malu-malu” diutarakan. Supaya tidak menyumbat, lalu mbeledos di kemudian hari, saya kira sekarang waktu yang pas untuk menggugat para kader “ndelogok-dobol” itu.
Cipayung Banyuwangi: Paguyuban Penerima “Berkat”
Keberadaan Kelompok Cipayung di Indonesia memiliki sejarah panjang. Bukan barang jadi. Mak brek, langsung ada begitu saja. Kelompok Cipayung ini dibentuk oleh sebagian mahasiswa (Omek) Indonesia di masa Orde Baru. Pada 20-22 Janurari 1972, di sebuah tempat bernama Cipayung, Jawa Barat, para mahasiswa yang tergabung dalam GMNI, GMKI, HMI, dan PMKRI membentuk wadah kebersamaan untuk mewujudkan “Indonesia yang kita cita-citakan” (Alfas, 2015: 137). Wadah inilah yang sering disebut: Kelompok Cipayung.Mereka sepakat membentuk forum komunikasi antar-Omek itu demi “Indonesia yang kita cita-citakan”. Secara gamblang maksud dari Kelompok Cipayung tersebut:
“Indonesia yang kuat dan bersatu, cerdas, dan modern, demokrasi dan adil hukum, sehat dan makmur, bebas dari ketakutan dan penindasan, berperan dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia; Indonesia yang layak bagi kehidupan manusia selaku makhluk Tuhan; Indonesia dapat dibangun atas pikiran-pikiran dan tekad bersama yang erat dan terarah dari generasi ke generasi bangsa Indonesia dengan tidak mengenal perbedaan agama, suku, daerah dan golongan. Karena tekad pikiran yang demikian itulah yang mencetuskan Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, dan Orde Baru” (dikutip dari Alfas, 2015: 138).
Seiring waktu berguling, beberapa Omek di Indonesia menyatakan gabung dalam Kelompok Cipayung. Saat ini sekitar dua belas Omek yang tergabung dalam forum komunikasi antar-organisasi mahasiswa itu. Dan, karena jumlah Omek bertambah, maka disebut: Kelompok Cipayung Plus. Dua belas anggota kelompok ini sempat diundang Presiden Jokowi di Istana Merdeka tahun 2022 lalu.
Organisasi mahasiswa itu menyebar seantero negeri, dan Banyuwangi menjadi salah satu “ladang garapan” kader-kader Omek. Sebab, di wilayah ini ada beberapa kampus yang bisa ditempeli Omek. Hanya saja, tidak semua Omek ada di Banyuwangi, sehingga Kelompok Cipayung di kabupaten ini tidak “plus”. Tapi sering dapat “surplus”.
Seperti yang telah disebutkan di muka, di Kota Gandrung ini, ada “Kelompok Cipayung Banyuwangi” (CB). Kelompok ini terdiri dari: PC HMI, PC PMII, PC IMM, dan DPC GMNI. Namun, dalam ulasan ini, sasaran saya hanya kepada Ketua Cabang. Sebab di kalangan akar rumput, kader-kader Omek CB itu belum tentu paham dengan dinamika dan kebengisan Ketua Cabang mereka. Ketua Cabang yang dimaksud: Ilham Layli Mursyidi (HMI); M. Haddad Alwi Nasyafiallah (PC PMII); Riyan Bachtiar (DPC GMNI); dan Desi Ayu Purwandari (PC IMM).
Para Ketua Cabang tersebut tercatat di dalam CB. Kalau toh masih ada nama lain, setidaknya keempat nama itu menjadi “representator” mahasiswa Qabil-Borjuis di Banyuwangi saat ini. Penampakan “wajah” mereka kerap dipajang di beberapa media online, ketika mengemukakan pendapat (opini), misalnya. Ya, meski mereka menulis dalam momen-momen tertentu, atau memang ada “keperluan” mendadak. Karena mereka itu tergolong anak muda yang “sibuk”—sowan ke alumni, dinas-dinas, dan Pendopo.
Lantas, bagaimana arah-gerak Cipayung Banyuwangi tersebut?
Sejauh ini, saya dan kawan-kawan subaltern juga masih bingung, ketika dihadapkan pertanyaan serupa. Sebab CB itu ndak jelas dari sisi gerakan sosial. Bahkan keberadaan CB justru menjadi lokomotif gesit dalam membawa Ketua Cabang dan “abdi”-nya untuk mendekat ke Pendopo, DPRD, dan lembaga-lembaga lain. Selain mendekati kekuasaan, siginifikansi tingkah polah kader-kader di CB cenderung mengangkangi aturan dan nilai organisasi masing-masing.
Selain mendekati kekuasaan, siginifikansi tingkah polah kader-kader di Cipayung Banyuwangi cenderung mengangkangi aturan dan nilai organisasi masing-masingKita bisa melihat bagaimana tingkah polah Kader Qabil-Borjuis itu dalam beberapa kasus, seperti: pengkhianatan Aksi Banyuwangi Menggugat; ribut setelah Pilkada 2024; menerima Baksos Presisi dari Polresta Banyuwangi; dan lain-lain. Untuk melihat “sisi lain” kegagahan ketua-ketua di CB, silakan cari akun ini: @wangsitmahasiswa (IG). Menurut saya, akun ini menarik. Ia mampu memberi warna dengan menjadi “oposan” bagi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Ormawa di Banyuwangi. Dan di dalam beberapa postingan akun “anonim” ini, kita bisa melihat watak mahasiswa-mahasiswa Qabil-Borjuis.
Beberapa waktu lalu, para “dedengkot” CB memberi pernyataan terbuka tentang situasi saat ini. Mereka (selain PC IMM) secara teatrikal mengomentari keadaan Tanah Air melalui media mainstream. Namun, sampai tulisan ini diunggah, saya belum mencium bau-bau gerakan (aksi) yang akan dilakukan CB. Tentu hal ini menimbulkan banyak pertanyaan di benak mahasiswa dan cah enom pinggiran seperti saya. Mengapa mereka tidak bergerak? Mengapa mereka tidak melakukan aksi di depan Polresta Banyuwangi? Mengapa mereka tidak segera mengambil tindakan?
Saya pikir mereka tidak mungkin “menutup mata” atas masalah tersebut. Mereka itu tahu. Sangat (sok) tahu bahkan. Barangkali, mereka takut soal ini: aksi yang ditunggangi. Kalau memang demikian alasan mereka tidak melakukan aksi di Banyuwangi, sungguh menggelikan. Bagaimana tidak, lha wong kebiasaan mereka itu kan menunggangi, mengangkangi, dan melacurkan (nilai-nilai) organisasi. Masak masih takut sama “begituan”. Apa mungkin ini efek dari “berkat-berkat” yang kerap mereka terima?
Kenapa Cipayung Banyuwangi Tidak Bubar Saja?
Kader Qabil-Borjuis di atas, menurut saya, adalah “anak-anak ideologis” Sutanagara, Mas Anom, dan Mas Weka dalam Perang Wilis (1767-1768). Ketiga nama inilah yang “menusuk” dari belakang pasukan Agung Wilis, sehingga membuat mereka mudah dikalahkan Kompeni kala itu (Anugrah, 2025: 14). Kelompok CB juga melakukan hal serupa. Mereka mengkhianati mahasiswa dan rakyat. Tindakan mereka tidak membela kepentingan rakyat. Tidak peduli dengan masalah akar rumput. Masa bodoh dengan “perjuangan”.Mereka (Cipayung Banyuwangi) mengkhianati mahasiswa dan rakyat. Tindakan mereka tidak membela kepentingan rakyat. Tidak peduli dengan masalah akar rumput. Masa bodoh dengan “perjuangan”Mereka lebih memilih “berkat” dan “popularitas” ketimbang mendengungkan suara-suara subaltern. Gerakan yang mereka lakukan selama ini cenderung menguntungkan “Fir’aun-Qarun-Haman” di Banyuwangi. Wacana mereka tak lebih dari kaleng kosong yang dilempar ke permukaan tilam. Nyaring tidak, berarti pun tidak. Nonsense. Justru, kelakuan mereka sering membuat kita “geleng-geleng kepala”. Urat malu dan “kemaluan” mereka nyaris putus. Nalar kritis mereka telah tumpul. Aksi-aksi mereka kian “mandul”. Kendati begitu, mereka masih mahir menjilat, memoles opini agar tampak “intelek”, sat-set ketika dipanggil senior, dan bisa “macak” seolah-olah berada di barisan rakyat.
Cipayung Banyuwangi dibubarkan saja. Untuk apa mati-matian dipertahankan?Menurut saya Cipayung Banyuwangi dibubarkan saja. Untuk apa mati-matian dipertahankan? Lha wong keberadaan kelompok ini sama sekali tidak memberikan “angin segar” bagi gerakan sosial kita. Wacana dan gerakan mereka juga tidak pernah benar-benar jelas arah dan tujuannya. Kelompok ini hanya “paguyuban” penerima ghanimah semata. Ia tak lebih dari sekedar lokomotif Kader Qabil-Borjuis yang mementingkan golongan tertentu.
Di sana tidak ada suara pembebasan. Kalau toh mereka kritis, bukan berarti kritisisme mereka digunakan untuk membela kaum pinggiran yang tertindas. Kalau mereka turun ke jalan, sudah bisa diterka, pola gerakan mereka selalu berima. Apakah kita masih mau bergantung kepada mereka?
Ketika ada “momentum (masalah) nasional” seperti sekarang ini, mereka akan teriak dan mengadakan konsolidasi. Menyusun rencana, dan mengajak aksi. Tapi lagi-lagi, kita selalu dikhianati oleh Kader Qabil-Borjuis macam mereka ini. Dan celakanya, masih banyak saudara-saudara kita yang “mengekor” kepada mereka.
Jika Cipayung Banyuwangi terus seperti ini, lantas untuk apa ia ada? Jika Cipayung Banyuwangi tidak memberi sejengkal perubahan dalam kehidupan masyarakat kita, lalu untuk apa ia dibentuk? Jika Cipayung Banyuwangi tidak lagi mewujudkan “Indonesia yang kita cita-citakan” itu, lha terus buat apa ia terus dihidupkan? Jadi, kalau keberadaan Cipayung Banyuwangi tidak menguntungkan kepentingan rakyat, dan malah memihak kekuasaan, kenapa ia tidak bubar saja? Bagi saya, sekali lagi, Cipayung Banyuwangi, harus dibubarkan. Sebab jika tidak, kita hanya akan memperpanjang “opera” mahasiswa Qabil-Borjuis menjilat-jilat penguasa.
Cipayung Banyuwangi, sekali lagi, harus dibubarkan. Sebab jika tidak, kita hanya akan memperpanjang “opera” mahasiswa Qabil-Borjuis menjilat-jilat penguasa.Semoga tulisan enteng-entengan ini bisa menjadi bahan obrolan lebih lanjut. Dan saya juga berharap, tulisan ini tidak dibaca “mentah-mentah” dan penuh kegusaran. Maksud tulisan ini sederhana: muhasabah sama-sama. Sekian.
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah, Mahasiswa Subaltern
Daftar Rujukan:
Nurmalita, Ristilia, Widji Thukul: Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa (Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia, 2017)
Alfas, Fauzan, PMII Dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan (Jakarta: PB PMII & Intimedia, 2015)
Anugrah, Dendy Wahyu, “Gerakan Mahasiswa Ujung Timur Jawa: Apa yang Harus Kita Lakukan?” (Pena Laut Media, 2025)
2 komentar
Bentuk oligarkhi yang berkedok atas nama rakyat, padahal mereka sibuk bagi bagi kue untuk kemaslahatan kelompoknya.
Anjing anjing penjilat yang sok sok idealis.