Ekonomi, politik, budaya, agama, hingga filsafat, semuanya kini terintegrasi dalam alur data yang sangat cair dan simultan. Maka, tak berlebihan jika dikatakan bahwa media sosial telah menjadi alat propaganda paling efisien di zaman ini, tempat di mana narasi-narasi besar tidak sekadar lahir, melainkan diproduksi dan dimodifikasi untuk tujuan-tujuan tertentu.
Dalam lanskap itu, Fery Irwandi (Founder Malaka Project) muncul sebagai aktor yang cukup berani mengguncang status quo. Dalam sebuah podcast yang viral, ia menyampaikan pernyataan kontroversial: “Jurusan filsafat sudah tidak lagi relevan. Untuk mempelajari filsafat kita butuh spesialisasi keilmuan yang empirik.”
Namun, yang menarik bukan hanya isi pernyataannya, melainkan efek gemanya. Mengapa pernyataan itu begitu menggegerkan? Apa sebenarnya tujuan Fery membangun narasi tersebut? Dan apakah benar ia ingin menghapus jurusan filsafat atau ada makna lain di balik narasi itu?
Dalam konteks inilah, statemen Fery harus dilihat. Ia tidak sedang membenci filsafat, melainkan menggugat metode pengajaran dan posisi filsafat dalam sistem pendidikan tinggi yang kaku dan kadang terasing dari problem nyata masyarakat. Ia ingin mengembalikan filsafat ke pangkuan masyarakat sebagai alat berpikir kritis yang hidup dan relevan.
Post-narasi bukanlah kebalikan dari narasi, tetapi kelanjutan yang melampaui. Ia adalah upaya melihat tujuan akhir dari narasi yang dibangun. Dalam hal ini, Fery tampaknya sedang menjalankan strategi post-naratif untuk mengguncang kenyamanan intelektual demi membangkitkan kesadaran baru. Alih-alih sekadar mendebat eksistensi filsafat, Fery justru ingin menghidupkan filsafat di ruang publik dengan cara paling mengejutkan dan mencabutnya dari zona nyaman akademik.
Bagi Fery, filsafat tidak cukup sekadar menjadi jurusan di kampus-kampus elite. Ia harus hadir sebagai kesadaran berpikir dalam masyarakat luas. Dalam podcast yang viral itu, ia menyebut pentingnya spesialisasi keilmuan empirik. Bukan karena ia ingin mengganti filsafat dengan positivisme semata, tetapi karena ia ingin menunjukkan bahwa filsafat harus berdialog dengan sains, teknologi, budaya, dan kenyataan konkret masyarakat. Filsafat yang menara gading tidak akan sanggup menjawab tantangan zaman.
Dengan mengguncang status quo, Fery justru ingin menyadarkan kita betapa pentingnya filsafat. Jika filsafat benar-benar hilang dari kurikulum, akankah kita masih bisa berpikir kritis terhadap kekuasaan? Jika filsafat dikesampingkan, siapa yang akan menggugat ideologi dominan? Jika filsafat dicabut, bagaimana kita bisa memahami hakikat keadilan, kebebasan, dan kebenaran?
Fery menggunakan narasi penghapusan jurusan filsafat sebagai alat provokasi intelektual. Ia mengujicoba kekuatan ide melalui algoritma media sosial, bukan untuk menghancurkan filsafat, melainkan untuk menghidupkannya kembali dalam bentuk dan semangat baru. Inilah strategi dialektika yang ironis, namun efektif. Menolak untuk membela agar yang dibela menjadi sadar akan pentingnya dirinya.
Dalam lanskap itu, Fery Irwandi (Founder Malaka Project) muncul sebagai aktor yang cukup berani mengguncang status quo. Dalam sebuah podcast yang viral, ia menyampaikan pernyataan kontroversial: “Jurusan filsafat sudah tidak lagi relevan. Untuk mempelajari filsafat kita butuh spesialisasi keilmuan yang empirik.”
Kalimat tersebut sontak mengguncang jagat intelektual dan maya. Para akademisi, dosen filsafat, mahasiswa, serta pegiat kajian keilmuan klasik, serentak melontarkan kritik. Ajang debat pun dibuka oleh Fery, dan undangan adu argumen disebar ke publik.
Namun, yang menarik bukan hanya isi pernyataannya, melainkan efek gemanya. Mengapa pernyataan itu begitu menggegerkan? Apa sebenarnya tujuan Fery membangun narasi tersebut? Dan apakah benar ia ingin menghapus jurusan filsafat atau ada makna lain di balik narasi itu?
Filsafat Penting? Masyarakat dan Hilangnya Daya Kritis
Pertanyaan ini seolah menjadi inti dari keseluruhan perdebatan. Filsafat selama ini diposisikan sebagai akar segala ilmu. Ia bukan sekadar wacana tentang metafisika, logika, atau etika, tetapi juga perangkat berpikir kritis yang mendalam dan mendasar.
Filsafat adalah laboratorium pikiran, tempat manusia belajar mempertanyakan, menimbang, dan menyusun kebenaran secara rasional.
Namun, dalam pandangan Fery Irwandi, masyarakat saat ini hanya disuruh "kritis", tanpa pernah benar-benar dibekali cara berpikir kritis itu sendiri. Akibatnya, banyak opini muncul tanpa logika, banyak gerakan sosial dilakukan tanpa analisa struktural, dan banyak emosi ditumpahkan tanpa refleksi eksistensial. Kita hidup di era di mana kecepatan berbicara lebih dihargai ketimbang kedalaman berpikir. Filsafat, dengan segala kerumitannya, menjadi asing di tengah masyarakat yang tergesa.
Dalam konteks inilah, statemen Fery harus dilihat. Ia tidak sedang membenci filsafat, melainkan menggugat metode pengajaran dan posisi filsafat dalam sistem pendidikan tinggi yang kaku dan kadang terasing dari problem nyata masyarakat. Ia ingin mengembalikan filsafat ke pangkuan masyarakat sebagai alat berpikir kritis yang hidup dan relevan.
“Hapus Jurusan Filsafat” dan Strategi Post-Naratif Fery
Di sinilah kita sampai pada lapisan paling penting dari narasi Fery, yaitu post-narasi. Apa yang sebenarnya ia maksud di balik ide penghapusan jurusan filsafat?Post-narasi bukanlah kebalikan dari narasi, tetapi kelanjutan yang melampaui. Ia adalah upaya melihat tujuan akhir dari narasi yang dibangun. Dalam hal ini, Fery tampaknya sedang menjalankan strategi post-naratif untuk mengguncang kenyamanan intelektual demi membangkitkan kesadaran baru. Alih-alih sekadar mendebat eksistensi filsafat, Fery justru ingin menghidupkan filsafat di ruang publik dengan cara paling mengejutkan dan mencabutnya dari zona nyaman akademik.
Bagi Fery, filsafat tidak cukup sekadar menjadi jurusan di kampus-kampus elite. Ia harus hadir sebagai kesadaran berpikir dalam masyarakat luas. Dalam podcast yang viral itu, ia menyebut pentingnya spesialisasi keilmuan empirik. Bukan karena ia ingin mengganti filsafat dengan positivisme semata, tetapi karena ia ingin menunjukkan bahwa filsafat harus berdialog dengan sains, teknologi, budaya, dan kenyataan konkret masyarakat. Filsafat yang menara gading tidak akan sanggup menjawab tantangan zaman.
Dengan mengguncang status quo, Fery justru ingin menyadarkan kita betapa pentingnya filsafat. Jika filsafat benar-benar hilang dari kurikulum, akankah kita masih bisa berpikir kritis terhadap kekuasaan? Jika filsafat dikesampingkan, siapa yang akan menggugat ideologi dominan? Jika filsafat dicabut, bagaimana kita bisa memahami hakikat keadilan, kebebasan, dan kebenaran?
Fery menggunakan narasi penghapusan jurusan filsafat sebagai alat provokasi intelektual. Ia mengujicoba kekuatan ide melalui algoritma media sosial, bukan untuk menghancurkan filsafat, melainkan untuk menghidupkannya kembali dalam bentuk dan semangat baru. Inilah strategi dialektika yang ironis, namun efektif. Menolak untuk membela agar yang dibela menjadi sadar akan pentingnya dirinya.
Dari Kampus ke Ruang Publik, Dari Wacana ke Kesadaran
Apa yang dilakukan Fery Irwandi bukan sekadar pernyataan kontroversial. Ia adalah sebuah eksperimen sosial dan intelektual. Lewat narasi penghapusan jurusan filsafat, ia ingin memancing kegelisahan, membongkar kenyamanan, dan menyulut kembali kesadaran berpikir yang nyaris padam. Ia ingin membawa filsafat keluar dari ruang-ruang kelas yang sunyi menuju dunia nyata yang gaduh, agar ia benar-benar hidup sebagai metode berpikir, bukan sekadar sejarah pemikiran.Dunia butuh lebih banyak provokator intelektual, bukan demi sensasi, melainkan demi menggugah kesadaran.
Dunia hari ini butuh lebih banyak filsuf yang tidak hanya menulis jurnal, tetapi juga mampu mengguncang publik dengan keberanian berpikir. Dunia butuh lebih banyak provokator intelektual, bukan demi sensasi, melainkan demi menggugah kesadaran. Fery Irwandi, dengan segala kontroversinya, tampaknya sedang mengambil peran itu.
Pada akhirnya, filsafat tidak akan pernah mati. Ia hanya tertidur sejenak menunggu seseorang membangunkannya dan mungkin, kali ini, ia dibangunkan oleh suara keras seorang Fery Irwandi.
"Kadang-kadang manusia tidak mencari kebenaran, mereka mencari kenyamanan untuk mendukung posisi mereka" (Noam Chomsky).
Pada akhirnya, filsafat tidak akan pernah mati. Ia hanya tertidur sejenak menunggu seseorang membangunkannya dan mungkin, kali ini, ia dibangunkan oleh suara keras seorang Fery Irwandi.
"Kadang-kadang manusia tidak mencari kebenaran, mereka mencari kenyamanan untuk mendukung posisi mereka" (Noam Chomsky).
Oleh: Dwi Kurniadi
Posting Komentar