Pada Rabu (3/9/2025), situs web Penalaut.com mempublish opini “Mahasiswa Qabil-Borjuis: Kenapa Cipayung Banyuwangi Tidak Bubar Saja?” yang ditulis oleh Dendy Wahyu. Ini ramai di perbincangkan di kalangan mahasiswa Banyuwangi, wabil khusus yang tergabung dalam Cipayung. Substansi opini Dendy adalah kritik terhadap Cipayung Banyuwangi yang diam-diam saja, stuck, ndak bergerak, saat Indonesia sedang kelam-kelamnya. Jadi, bukan dalam pemaknaan legalitas Cipayung harus bubar.
Kemudian media yang sama, pada Kamis (4/9/2025) menerbitkan opini yang berjudul "Bubarkan Cipayung!, Seruan Objektif atau Narasi Sentimen?", ditulis oleh Muh. Hasyim. Dilihat dari judulnya, sudah tentu menunjukkan bahwa isi opini ini adalah kritik terhadap opini Dendy.
Menarik. Sekejap saya langsung bersyukur. Alhamdulillah, masih ada yang peduli dengan tulisan; membacanya, sekaligus kritis terhadapnya. Masih ada yang mau merawat kultur dialektis di kalangan mahasiswa Banyuwangi.
Awalnya, Hasyim menulis serangkaian epistemologi objektif dengan merujuk pada model open-ended question. Dalam hal ini objektivitas itu bukan tentang nilai intrinsik, melainkan nilai fungsional.
“Memaknai objektivitas dalam praktiknya seperti menjawab pertanyaan — "Lebih berharga emas atau besi?", tentu kebanyakan orang dengan subjektivitas nya lebih memilih emas yang merupakan representasi dari kemewahan ala-ala kapitalis. Namun pada kasus ini dalam menjawab model open-ended question kita dituntut menggunakan nalar kritis kita untuk kembali menanyakan "Dari segi apanya?", diambil dari Penalaut.com.
Hasyim juga merujuk pada definisi objektivitas-nya Max Weber. Menurutnya, objektivitas itu menilai berdasarkan fakta (data), dan melacak hubungan sebab-akibat dari fakta tersebut.
“Dalam “Objectivity in Social Science and Social Policy” (1904), Max Weber menyatakan bahwa objektivitas berarti menahan diri dari penilaian normatif pribadi, dan berusaha menyajikan fakta serta hubungan kausal sebagaimana adanya”.
Kemudian, ia juga mengutip pendapat Saut Situmorang mengenai sifat “pseudo”. Menurutnya, pseudo merupakan penilaian serampangan yang tidak mendalami konteks dan substansi.
“Dalam Kritikk(us) Sastra Indonesia yang diunggah pada jendelasastra.com., Saut Situmorang menjabarkan bahwasannya dalam dunia kritik sastra Indonesia, ada ungkapan peringatan mengenai kritikus yang hanya bersifat "pseudo"—pretensi kritis tanpa mendalami konteks atau substansi."
Baginya, kritikus seringkali terjebak dalam tindakan provokatif, tidak memahami konteks dan substansi secara mendalam.
"Pemikiran yang dihasilkan dari sikap pseudo, kritik yang muncul seringkali hanya berupa pseudo-polemik dan pseudo-kritik, karena para pengkritik tidak memahami secara mendalam konsep dasar tentang apa yang sebenarnya ia kritik. Kritik seperti ini lebih semata-mata berbasis penghakiman dangkal daripada pemahaman mendalam”.
Kira-kira begitu rentetan argumentasinya. Tapi, sepandai-pandainya tupai melompat, tetap akan terjatuh. Sebanyak-banyaknya kata ilmiah dan teori yang dikutip Hasyim itu, tetap ada cacat nalarnya.
Kira-kira begitu rentetan argumentasinya. Tapi, sepandai-pandainya tupai melompat, tetap akan terjatuh. Sebanyak-banyaknya kata ilmiah dan teori yang dikutip Hasyim itu, tetap ada cacat nalarnya.
Secara eksplisit, Hasyim menuntut objektivitas, namun ironisnya ia sendiri justru jatuh ke dalam lubang subjektivitas. Ia beberkan teori objektif, tapi di saat bersamaan ia memberi penilaian yang subjektif. Alih-alih mengkritik dengan menyajikan data-data dan analisis kausalitas, Hasyim justru tersungkur ke dalam jurang subjektivitas.
Hasyim, dari awal sudah tidak konsisten dengan judul yang ia ambil. Judul "Bubarkan Cipayung!, Seruan Objektif atau Narasi Sentimen?", memberikan pemahaman bahwa tulisan ini memuat kritiknya terhadap opini Dendy. Namun, Hasyim sama sekali tidak menyasar kesubjektifan Dendy. Ia justru terjebak dalam anggapan tak berdasarnya bahwa opini Dendy adalah subjektif.
Buktinya apa? Dalam tulisan Hasyim itu, sama sekali tidak ada data-data yang menjelaskan subjektivitas opini Dendy. Artinya, Hasyim justru mengkritik Dendy cuma sekedar sentimentil. Sentimentil yang diteorikan. Posisi teori-teori itu cuma sekedar dalih untuk membenarkan penilaian subjektif Hasyim.
Buktinya apa? Dalam tulisan Hasyim itu, sama sekali tidak ada data-data yang menjelaskan subjektivitas opini Dendy. Artinya, Hasyim justru mengkritik Dendy cuma sekedar sentimentil. Sentimentil yang diteorikan. Posisi teori-teori itu cuma sekedar dalih untuk membenarkan penilaian subjektif Hasyim.
Ia mengutip definisi objektifnya Max Weber yang mengatakan objektivitas berarti "menahan diri dari penilaian normatif pribadi, dan berusaha menyajikan fakta serta hubungan kausal sebagaimana adanya". Tapi di saat bersamaan, ia mengkritik opini Dendy berdasarkan penilaian pribadi. Satu data pun tak ada, apalagi analisis kausalitas. Jadi, secara tidak langsung, Hasyim mengangkangi nilai definisi yang dirujuk sendiri.
Ia juga meminjam konsep dari Saut Situmorang tentang "pseudo-kritik" untuk menguatkan argumen. Tapi di saat bersamaan, argumennya sendiri terjatuh ke dalam kategori itu. Ia mengkritik tanpa memberikan bukti spesifik, hanya berdasarkan generalisasi dan asumsi bahwa opini Dendy itu subjektif. Bukankah itu esensi dari pseudo-kritik itu sendiri: "pretensi kritis tanpa mendalami konteks atau substansi"?
Ia juga meminjam konsep dari Saut Situmorang tentang "pseudo-kritik" untuk menguatkan argumen. Tapi di saat bersamaan, argumennya sendiri terjatuh ke dalam kategori itu. Ia mengkritik tanpa memberikan bukti spesifik, hanya berdasarkan generalisasi dan asumsi bahwa opini Dendy itu subjektif. Bukankah itu esensi dari pseudo-kritik itu sendiri: "pretensi kritis tanpa mendalami konteks atau substansi"?
Kalau diibaratkan membangun rumah, Hasyim membangun atap dan dindingnya, tetapi melupakan pondasi dan tiangnya. Alhasil, rumah itu akan runtuh diterpa angin, sama seperti argumen ini yang ambruk karena kekurangan bukti, substansi, dan benang merah yang kuat.
Ia secara tidak langsung memanifestasikan atau mewujudkan kritikus yang bersifat pseudo. Ia termasuk kritikus yang berbasis pada penghakiman dangkal daripada pemahaman mendalam. Kritikus yang terjebak dalam tindakan provokatif, tidak memahami konteks dan substansi secara mendalam, seperti yang dikutipnya.
Pada akhirnya, opini Hasyim itu tak lebih dari sekadar besi yang berkarat. Fondasi logikanya justru rapuh dan mengikis kekuatan argumennya sendiri. Ia terjebak dalam labirin kesimpulan tanpa bukti yang konkret, hanya menjadi sebuah narasi yang menguap di udara.
Dengan demikian, Hasyim merupakan salah satu orang yang membuat organisasi mahasiswa menjadi ladang perebutan kepentingan, bukan arena perjuangan, dan yang terkikis idealismenya. Kok bisa begitu?
Pada akhir penilaiannya, Hasyim menulis dampak buruk subjektivitas bagi organisasi mahasiswa. Baginya, subjektivitas akan membuat organisasi mahasiswa cuma sekedar wadah pertarungan kepentingan, sehingga membuat terkikisnya nilai idealitas mahasiswa.
"Organisasi mahasiswa yang terjebak pada subjektivitas hanya akan menjadi arena perebutan kepentingan, bukan lagi wadah pembelajaran dan perjuangan. Akibatnya, nilai idealisme yang seharusnya menjadi kekuatan justru terkikis oleh kebencian dan kepentingan pribadi." Tulisnya.
*
Bagi saya, beginilah caranya mewujudkan objektivitas Weber, versi yang dituliskan Hasyim itu. Menyajikan fakta yang terjadi dengan berbasis data, serta menganalisis dengan merujuk pada konsep kausalitas, atau dengan menggunakan 5w+1h.
Tapi, bagi saya, tulisan ini tidak sepenuhnya objektif. Sebab, bila merujuk pada teori yang sama seperti dituliskan Hasyim, Weber dalam “Objectivity in Social Science and Social Policy” pada akhirnya mengatakan bahwa objektivitas sepenuhnya (total) tidak mungkin terjadi. Bagi Weber, nilai-nilai pribadi (value-relevance) atau subjektivitas peneliti itu tidak dapat dipisahkan dalam proses penelitian.
Jadi, topik penelitian selalu bertalian erat dengan nilai-nilai subjektivitas peneliti. Kenapa saya menanggapi opini Hasyim? Sebab subjektivitas saya mengatakan bahwa suatu kecacatan nalar—apalagi bagi mahasiswa, tidak bisa dibiarkan menjalar. Ia harus ditanggapi, dikritisi. Dan, kesalahan itu terdapat dalam opini Hasyim.
Oleh: Hilmi Samsull
Posting Komentar