Penalaut.com - Kehadiran media sosial telah mengubah lanskap komunikasi dan interaksi sosial secara fundamental, khususnya bagi Generasi Z yang lahir dalam era digital. Dua platform yang menonjol dalam membentuk budaya digital generasi ini adalah TikTok dan X (sebelumnya Twitter). Kedua platform tersebut tidak sekadar menjadi ruang berbagi informasi, melainkan juga arena pembentukan nilai, norma, dan persepsi mengenai berbagai aspek kehidupan, termasuk pola pergaulan.
Fenomena pergaulan bebas yang semakin masif di kalangan remaja dan dewasa muda tidak dapat dilepaskan dari pengaruh konten yang beredar di media sosial. TikTok dengan algoritma video pendek yang sangat adiktif dan X dengan ruang diskursus publik yang terbuka telah menciptakan ekosistem digital yang kompleks. Konten-konten yang viral di kedua platform ini kerap menampilkan narasi tentang kebebasan personal, eksplorasi identitas seksual, dan normalisasi perilaku yang sebelumnya dianggap tabu dalam konteks sosial Indonesia.
Rumusan masalah dalam esai ini adalah bagaimana TikTok dan X secara spesifik berperan dalam membentuk persepsi Generasi Z terhadap pergaulan bebas, serta bagaimana kedua platform tersebut menciptakan dan memperkuat tren aktual terkait perilaku tersebut. Tujuan penulisan esai ini adalah untuk menganalisis secara kritis mekanisme pengaruh kedua platform media sosial tersebut, mengidentifikasi pola-pola konten yang dominan, serta memahami implikasi sosial dari fenomena ini bagi perkembangan nilai dan perilaku generasi muda Indonesia.
Pembahasan
TikTok sebagai Ruang Normalisasi Visual Pergaulan Bebas
TikTok memiliki karakteristik unik yang membuatnya sangat berpengaruh dalam membentuk persepsi Generasi Z. Platform ini mengandalkan video berdurasi pendek dengan musik latar yang menarik, transisi visual yang dinamis, dan algoritma For You Page (FYP) yang sangat personal. Algoritma ini bekerja dengan mempelajari preferensi pengguna dan secara otomatis menyajikan konten yang sesuai, bahkan tanpa pengguna menyadari bahwa mereka sedang "dibentuk" oleh sistem tersebut.
Dalam konteks pergaulan bebas, TikTok menjadi medium ampuh untuk normalisasi visual. Konten-konten yang menampilkan kedekatan fisik antara pasangan muda, tren "couple goals" dengan gestur intim, hingga tantangan viral yang bernuansa seksual, tersebar dengan sangat cepat. Video dengan tema seperti "POV (Point of View) relationship" seringkali menggambarkan skenario romantis yang melampaui batas kesopanan konvensional, namun dikemas dengan estetika yang menarik sehingga mudah diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana TikTok menciptakan ilusi bahwa perilaku dalam video tersebut merupakan standar baru pergaulan. Generasi Z yang mengonsumsi konten ini secara berulang-ulang akan mengalami proses habituasi, di mana perilaku yang sebelumnya dianggap melampaui batas menjadi tampak biasa atau bahkan diinginkan. Fenomena echo chamber semakin memperkuat hal ini, karena algoritma cenderung menampilkan konten serupa setelah pengguna menunjukkan ketertarikan pada satu jenis konten tertentu.
Selain itu, TikTok juga menciptakan tren-tren spesifik yang mendorong perilaku pergaulan bebas secara aktual. Tantangan seperti "Kiss Your Best Friend Challenge" atau berbagai tren dance yang menampilkan gerakan sensual, bukan hanya menjadi tontonan pasif, melainkan mendorong partisipasi aktif. Remaja yang ingin merasa relevan dan diterima dalam komunitas digital mereka akan terdorong untuk mengikuti tren tersebut, bahkan jika hal itu bertentangan dengan nilai yang mereka anut sebelumnya.
X (Twitter) sebagai Arena Diskursus dan Validasi Ideologis
Berbeda dengan TikTok yang mengandalkan konten visual, X berfungsi sebagai ruang diskursus publik di mana wacana tentang pergaulan bebas didebatkan, dinormalisasi, atau bahkan dirayakan melalui teks dan percakapan. Platform ini memungkinkan pengguna untuk mengekspresikan pandangan mereka secara lebih eksplisit dan terlibat dalam diskusi yang lebih mendalam dibandingkan platform video pendek.
Di X, terdapat komunitas-komunitas yang secara terang-terangan mempromosikan kebebasan seksual dan menentang nilai-nilai konservatif. Thread panjang yang membahas topik seperti sex positivity, hak atas tubuh sendiri, dan kritik terhadap moralitas tradisional mendapat respons positif yang masif, terutama dari kalangan Generasi Z. Narasi-narasi ini dikemas dalam bahasa yang progresif dan menggunakan kerangka hak asasi manusia, sehingga tampak modern dan tercerahkan.
Fenomena "viral tweet" di X juga berperan besar dalam membentuk opini publik. Ketika sebuah tweet yang mendukung kebebasan pergaulan mendapat ribuan retweet dan like, hal ini menciptakan efek bandwagon di mana pengguna lain merasa bahwa pandangan tersebut adalah pandangan mayoritas. Generasi Z yang masih dalam proses pembentukan identitas sangat rentan terhadap tekanan sosial semacam ini, dan cenderung menyesuaikan pandangan mereka agar tidak dianggap ketinggalan zaman atau terlalu konservatif.
X juga menjadi platform di mana pengalaman personal tentang pergaulan bebas dibagikan dan divalidasi. Tweet-tweet yang bercerita tentang pengalaman hubungan terbuka, eksplorasi seksual, atau penolakan terhadap komitmen tradisional sering kali mendapat respons suportif dari komunitas. Validasi sosial ini memperkuat keyakinan individu bahwa pilihan gaya hidup mereka adalah sah dan dapat diterima, bahkan jika bertentangan dengan norma yang berlaku di lingkungan offline mereka.
Interaksi antara TikTok dan X dalam Memperkuat Tren
Yang perlu dipahami adalah bahwa TikTok dan X tidak beroperasi dalam ruang hampa, melainkan saling memperkuat satu sama lain. Konten yang viral di TikTok sering kali diperbincangkan di X, di mana pengguna menganalisis, mengkritik, atau merayakan tren tersebut. Sebaliknya, diskursus yang berkembang di X dapat menginspirasi kreator TikTok untuk membuat konten yang sejalan dengan wacana tersebut.
Sebagai contoh, ketika tren tertentu tentang "situationship" atau hubungan tanpa label menjadi viral di TikTok, X akan dipenuhi dengan thread yang membahas fenomena ini dari berbagai sudut pandang. Para pengguna akan membagikan pengalaman personal mereka, memberikan saran, atau bahkan membuat lelucon tentang topik tersebut. Diskusi yang intens di X kemudian menciptakan legitimasi sosial bagi tren tersebut, yang pada gilirannya mendorong lebih banyak orang untuk mengeksplorasi pola hubungan semacam itu dalam kehidupan nyata.
Siklus ini menciptakan lingkaran umpan balik yang terus memperkuat normalisasi pergaulan bebas. Generasi Z yang aktif di kedua platform akan terpapar pada narasi yang konsisten dari berbagai sudut: visual yang estetis di TikTok dan argumentasi intelektual di X. Kombinasi ini sangat efektif dalam mengubah tidak hanya perilaku, tetapi juga sistem nilai dan keyakinan fundamental mereka tentang hubungan dan moralitas.
Kesimpulan
Analisis terhadap peran TikTok dan X dalam membentuk persepsi dan tren pergaulan bebas di kalangan Generasi Z mengungkapkan kompleksitas pengaruh media sosial terhadap pembentukan nilai dan perilaku generasi muda. TikTok, dengan kekuatan visual dan algoritma personalnya, berperan dalam normalisasi perilaku melalui paparan berulang dan penciptaan tren partisipatif. Sementara itu, X berfungsi sebagai arena diskursus di mana pergaulan bebas tidak hanya dinormalisasi, tetapi juga diintellektualisasi dan divalidasi secara sosial.
Kedua platform ini menciptakan ekosistem digital yang saling memperkuat, di mana konten visual dan wacana tekstual bekerja sama untuk mengubah persepsi Generasi Z tentang batasan-batasan dalam pergaulan. Proses ini terjadi secara halus namun sistematis, memanfaatkan kebutuhan psikologis remaja akan penerimaan sosial, identitas, dan rasa memiliki terhadap komunitas.
Implikasi dari fenomena ini sangat signifikan bagi pendidikan dan pengasuhan generasi muda. Diperlukan literasi digital yang tidak hanya berfokus pada penggunaan teknologi, tetapi juga pada kemampuan berpikir kritis terhadap konten yang dikonsumsi. Orang tua dan pendidik perlu memahami mekanisme pengaruh media sosial agar dapat memberikan bimbingan yang relevan dan efektif.
Selain itu, diperlukan pendekatan yang seimbang dalam merespons fenomena ini. Alih-alih melalui larangan yang represif, dialog terbuka tentang nilai, konsekuensi, dan tanggung jawab personal akan lebih efektif dalam membantu Generasi Z membuat keputusan yang bijaksana. Platform media sosial juga perlu bertanggung jawab dengan memperbaiki algoritma mereka agar tidak secara otomatis mendorong konten yang berpotensi merugikan perkembangan psikososial remaja.
Pada akhirnya, memahami peran TikTok dan X dalam fenomena ini adalah langkah pertama untuk merancang intervensi yang tepat. Generasi Z memiliki potensi besar untuk berkontribusi positif bagi masyarakat, namun hal ini hanya dapat terwujud jika mereka dibimbing untuk menavigasi ruang digital dengan bijaksana dan tetap memegang nilai-nilai yang konstruktif bagi perkembangan diri dan masyarakat.
Daftar Pustaka
- Anderson, Monica, dan Jingjing Jiang. "Teens, Social Media & Technology 2018." Pew Research Center, 31 Mei 2018. https://www.pewresearch.org/internet/2018/05/31/teens-social-media-technology-2018/.
- Boyd, Danah. It's Complicated: The Social Lives of Networked Teens. New Haven: Yale University Press, 2014.
- Djafarova, Elmira, dan Oxana Trofimenko. "Exploring the Relationships Between Self-Presentation and Self-Esteem of Mothers in Social Media in Russia." Computers in Human Behavior 73 (2017): 20-27.
- Gler, Mark, Jennifer Van Grove, dan Christine Erickson. "The History of Social Networking." Mashable, 11 Juli 2011. https://mashable.com/2011/07/11/history-of-social-networking/.
- Herring, Susan C., dan Sanja Kapidzic. "Teens, Gender, and Self-Presentation in Social Media." Dalam International Encyclopedia of Social and Behavioral Sciences, 2nd ed., diedit oleh James D. Wright, 146-52. Oxford: Elsevier, 2015.
- Jiang, Shaojing, dan Annabel Ngien. "The Effects of Instagram Use, Social Comparison, and Self-Esteem on Social Anxiety: A Survey Study in Singapore." Social Media + Society 6, no. 2 (2020): 1-10.
- Kaye, D. Bondy Valdovinos, Patrik Wikström, dan Tobias Mattsson. "Regulating 'Free Speech': Digital Platforms and the Platformization of Truth-Claims About COVID-19." Big Data & Society 8, no. 2 (2021): 1-15.
- Livingstone, Sonia, dan Peter K. Smith. "Annual Research Review: Harms Experienced by Child Users of Online and Mobile Technologies: The Nature, Prevalence and Management of Sexual and Aggressive Risks in the Digital Age." Journal of Child Psychology and Psychiatry 55, no. 6 (2014): 635-54.
- Montag, Christian, Bernd Lachmann, Martin Herrlich, dan Krzysztof Zweig. "Addictive Features of Social Media/Messenger Platforms and Freemium Games Against the Background of Psychological and Economic Theories." International Journal of Environmental Research and Public Health 16, no. 14 (2019): 2612.
- Pew Research Center. "Social Media Use in 2021." Pew Research Center, 7 April 2021. https://www.pewresearch.org/internet/2021/04/07/social-media-use-in-2021/.
- Rideout, Victoria, dan Michael B. Robb. The Common Sense Census: Media Use by Tweens and Teens, 2019. San Francisco: Common Sense Media, 2019.
- Sholihah, Qoriatul. "Pengaruh Media Sosial terhadap Perilaku Remaja." Jurnal Kajian Islam Kontemporer 8, no. 1 (2020): 127-43.
- Twenge, Jean M. iGen: Why Today's Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for Adulthood. New York: Atria Books, 2017.
- Valkenburg, Patti M., dan Jochen Peter. "The Differential Susceptibility to Media Effects Model." Journal of Communication 63, no. 2 (2013): 221-43.
- We Are Social dan Hootsuite. Digital 2024: Indonesia. Singapore: We Are Social, 2024.
Prodi/Fak. : Tasawuf dan Psikoterapi / Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Dosen : Dra. Khodijah, M.Si. & Ahmad Khoirudin, S.Ag. M.Psi.
Mata Kuliah : Patologi Sosial
Posting Komentar