BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Timur yang Tak Akan Pernah Ter-Tragodia

Penalaut.com
- Dalam lintasan sejarah filsafat dunia, peradaban-peradaban besar telah melahirkan fondasi berpikir yang tak hanya membentuk identitas suatu bangsa, tetapi juga memengaruhi arah dunia. Namun, dari sekian banyak peradaban itu, hanya satu yang benar-benar mengalami apa yang disebut Michel Foucault sebagai tragedi epistemik, adalah peradaban Barat.

Ketika Barat secara sadar mulai memikirkan Tuhan sebagai konsep yang bisa diruntuhkan, lalu dengan segala instrumen akal dan sainsnya, mulai menyingkirkan-Nya dari pusat realitas.

Tragedi ini bukan sekadar kehilangan kepercayaan pada institusi agama, melainkan lebih dalam yaitu hilangnya orientasi spiritual dalam seluruh bangunan pengetahuan dan kebudayaan. Dalam bukunya The Order of Things (1994), Foucault dengan tajam menyingkap bagaimana peradaban Barat memulai langkahnya dengan ambisi besar: “memikirkan yang tak terpikirkan”, menciptakan konsep tentang Tuhan, manusia, dan dunia yang sepenuhnya bisa dipahami, dikendalikan, dan pada akhirnya, dibongkar, dan diruntuhkan.

Berbeda dengan Barat, justru Timur tampil beda. Timur, bagi Foucault, adalah peradaban yang tidak akan pernah mengalami tragedi epistemik. Sebab, Timur tidak membangun pengetahuannya di atas kebutuhan untuk menguasai realitas, melainkan untuk mengalun bersamanya. 

Timur tak perlu “membuktikan” Tuhan dengan metode logika, karena Tuhan bukan objek dalam laboratorium gagasan. Ia adalah orientasi dasar, bukan teori. Timur percaya sebelum memahami, Barat memahami agar percaya dan kemudian berhenti percaya.
Timur tak perlu “membuktikan” Tuhan dengan metode logika, karena Tuhan bukan objek dalam laboratorium gagasan
Di sinilah letak perbedaan paling mendasar antara keduanya. Dalam Timur, Tuhan adalah napas kehidupan. Ia hadir dalam seni, dalam politik, dalam bahasa, bahkan dalam cara manusia menyentuh tanah dan memandang langit. Dalam Barat, Tuhan lama-kelamaan dikurung dalam ruang ibadah dan digugat habis-habisan oleh kritik filsafat.

Pemikiran Ibn Rusyd atau Averroes adalah contoh paling kentara dari model pemikiran Timur yang harmonis antara rasio dan wahyu. Meskipun dikenal sebagai filsuf rasionalis Islam, Ibn Rusyd tetap menempatkan Tuhan sebagai Pencipta dan Pemelihara semesta. Ia tidak memisahkan antara filsafat dan agama, karena baginya, keduanya adalah jalan untuk memahami kebenaran yang satu.

Dalam pandangan Borges, Ibn Rusyd adalah tokoh yang “diselubungi dalam lingkaran Islam”, yakni filsafatnya selalu berputar dalam orbit wahyu dan tauhid, bukan melawan atau melepaskan diri darinya.

Begitu pula dalam peradaban Cina kuno. Dalam puisi Lapis Lazuli, W.B. Yeats menggambarkan bagaimana masyarakat Cina yang bersahaja tetap mampu menghadapi kekacauan dan penderitaan dengan ketenangan batin. Mereka tidak melarikan diri dari kekejaman dunia, tapi juga tidak melawannya dengan kebencian. Mereka memahami hidup sebagai bagian dari aliran kosmik yang tak bisa sepenuhnya dikendalikan, sebuah sikap yang sepenuhnya berbeda dari semangat Promethean Barat yang ingin menaklukkan segala hal.

Dalam Taoisme, penderitaan bukanlah “tragedi”, tetapi bagian dari Yin-Yang yang menjaga keseimbangan. Dalam Zen Jepang, keheningan dan kekosongan bukan kehampaan, tapi kedalaman. Bahkan dalam Upanishad dan Bhagavad Gita, yang menjadi sumber filsafat India kuno, Tuhan adalah kesadaran murni yang mengalir dalam diri setiap makhluk. Manusia bukan subjek yang melawan dunia, tetapi bagian dari kesatuan realitas yang lebih besar.

Sementara itu, Barat menempuh jalur yang sebaliknya. Setelah membangun metafisika Tuhan dalam tradisi Kristen skolastik, datanglah gelombang dekonstruksi besar-besaran. Nietzsche mendeklarasikan “Tuhan telah mati”, Freud memposisikan agama sebagai neurosis kolektif, dan Marx menyebutnya sebagai “candu masyarakat”. Dalam pendekatan positivistik ala Auguste Comte dan empirisisme modern, agama dianggap sebagai fase primitif dari kesadaran manusia yang akhirnya harus ditinggalkan demi kemajuan sains.

Pada titik ini, Barat memang mengalami pencerahan, tapi dengan harga yang sangat mahal; kehilangan pusat makna. Maka lahirlah gelombang krisis eksistensial. Manusia modern di Barat menjadi makhluk yang sangat bebas, tetapi sangat sepi. Keterasingan (alienasi), absurditas, dan kehampaan menjadi tema besar dalam karya para pemikir Barat modern, dari Sartre, Camus, sampai Derrida.
Barat memang mengalami pencerahan, tapi dengan harga yang sangat mahal; kehilangan pusat makna. Maka lahirlah gelombang krisis eksistensial
Sementara itu, Timur, meskipun diterpa modernisasi dan kolonialisme, tetap mempertahankan nilai-nilai spiritualnya. Di India, Gandhi memimpin perjuangan melawan Inggris dengan jalan non-kekerasan yang sepenuhnya bersumber dari nilai-nilai Hindu dan spiritualitas Timur. Di Iran, revolusi Islam meletus bukan atas nama kebebasan sekuler, melainkan atas nama kebangkitan Islam. 

Di Indonesia sendiri, Pancasila menempatkan ketuhanan pada sila pertama, sebuah pernyataan bahwa hidup berbangsa harus dimulai dari fondasi spiritual.

Tentu Timur bukan tanpa cacat. Konflik antaragama, korupsi, sektarianisme, dan kemiskinan tetap ada. Namun yang membedakan adalah orientasi dasarnya; Timur tidak pernah mengeluarkan Tuhan dari ruang publik. Ketika politik runtuh, orang Timur masih punya agama. Ketika ekonomi guncang, mereka kembali ke masjid, kuil, atau wihara.

Itulah mengapa Timur, dalam pengertian Foucault, tak akan pernah mengalami tragedi seperti Barat. Karena tragedi sejati bukan kemiskinan atau perang, tetapi hilangnya makna hidup. Timur tetap menjaga makna itu, meskipun dalam sunyi, meskipun dalam keterbatasan.

Dalam dunia hari ini yang terjerembab dalam krisis ekologi, krisis etika, dan krisis identitas, Timur justru tampil sebagai alternatif. Barat telah menghabiskan daya logikanya untuk membongkar segalanya. Kini ia kembali mencari makna, dan banyak yang menoleh ke Timur; ke meditasi, ke sufisme, ke filsafat Timur, bahkan ke bentuk-bentuk spiritualitas non-dogmatik.

Kita bisa melihat bagaimana Timur menjadi ruang kontemplasi dunia yang lelah. Dari praktik yoga yang mendunia, hingga kebangkitan kajian sufistik dan perenungan dalam. Timur menawarkan bukan dogma, tapi kedalaman rasa, bukan argumentasi, tapi pengalaman eksistensial. Dunia hari ini tak butuh kemenangan, tapi pemulihan. Dan Timur punya bahasa untuk itu.
Jika Barat adalah kisah tentang “pemberontakan terhadap langit”, maka Timur adalah kisah tentang “kesetiaan kepada langit”
Jadi, jika Barat adalah kisah tentang “pemberontakan terhadap langit”, maka Timur adalah kisah tentang “kesetiaan kepada langit” Dan selama langit tetap menjadi orientasi kehidupan, Timur tidak akan pernah benar-benar runtuh. Ia mungkin sunyi, tapi tak pernah kehilangan arah.

Timur tidak tragis, karena ia tahu, sejak awal, di mana pusat makna berada.

Oleh: Rifki Rahman, Mahasiswa AFI UIN Sunan Kalijaga

Referensi

Berg, Nancy E. "When Ibn Rushd Met Borges", Journal of Arabic Literature 41, 1-2 (2010): 148-159. https://doi.org/10.1163/157006410X486783

Ian Almond, Nietzche Berdamai Dengan Islam (Depok: Kepik Ungu, 2011)

Michel Foucault, The Order of Things (New York: Vintage Books, 1994)

William Butler Yeats, Lapis Lazuli, dalam The Collected Poems of W. B. Yeats, ed. Richard J. Finneran (New York: Scribner, 1996)

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak