BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Patologi 'Sakit' Demi Klik: Degradasi Martabat sebagai Komoditas Viral

Patologi 'Sakit' Demi Klik Degradasi Martabat sebagai Komoditas Viral
Penalaut.com - Media sosial kini tidak lagi sekadar ruang untuk berbagi cerita atau berkomunikasi dengan teman. Platform-platform digital telah menjelma menjadi panggung baru, tempat orang berlomba-lomba meraih perhatian, validasi, bahkan penghasilan. Di tengah persaingan yang semakin ketat ini, muncul fenomena yang mengkhawatirkan: penderitaan, kerentanan, dan tindakan yang melanggar etika justru dijadikan komoditas untuk mendapatkan klik, likes, dan uang. Lansia dipaksa mandi lumpur di depan kamera, anak-anak disuruh mengemis online, dan individu lain mempertaruhkan keselamatan diri demi status “viral”. Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan sebuah patologi sosial yang mencerminkan kegagalan norma dan nilai kemanusiaan di era digital. Esai ini akan menganalisis akar permasalahan tersebut, menguraikan bagaimana penderitaan diubah menjadi komoditas, serta dampak jangka panjangnya terhadap masyarakat.

Disorganisasi di Ruang Digital: Ketika Norma Kehilangan Kendali

Akar dari masalah ini terletak pada disorganisasi sosial yang bertemu dengan anomie di ruang digital. Disorganisasi sosial terjadi ketika lembaga-lembaga sosial tradisional—keluarga, komunitas, bahkan sistem pendidikan—gagal menjalankan fungsinya sebagai penjaga moral dan kesejahteraan. Di sisi lain, media sosial menciptakan ruang baru yang hampir tanpa aturan jelas. Tidak ada norma yang benar-benar mengikat, tidak ada otoritas moral yang diakui secara kolektif. Inilah yang disebut anomie: kondisi kehampaan norma di mana individu kehilangan pegangan tentang apa yang benar dan salah.

Media sosial, yang awalnya dirancang untuk mempermudah komunikasi, kini telah bertransformasi menjadi pasar bebas validasi dan ekonomi. Algoritma platform dirancang untuk memprioritaskan konten yang paling menarik perhatian, tanpa mempertimbangkan apakah konten tersebut etis atau merusak. Akibatnya, konten yang ekstrem, kontroversial, atau menyedihkan justru mendapat tempat teratas dalam timeline pengguna. Dalam kondisi seperti ini, tidak mengherankan jika orang mulai mengeksploitasi kerentanan diri sendiri atau orang lain demi mendapatkan perhatian dan uang.

Ilustrasi Kasus: Ketika Kemanusiaan Dijual untuk Klik

Eksploitasi Kelompok Rentan

Dua jenis kasus yang paling mencerminkan patologi ini adalah eksploitasi terhadap kelompok rentan dan aksi berbahaya demi konten viral. Kasus pertama melibatkan lansia atau anak-anak yang dipaksa tampil dalam konten yang merendahkan martabat mereka. Video lansia yang dimandikan lumpur, disuruh mengemis di depan kamera, atau bahkan dipertontonkan dalam kondisi lemah dan tidak berdaya, beredar luas di media sosial dengan narasi “kasihan, bantu dong”. Di balik empati semu tersebut, ada pelaku yang meraup untung dari donasi atau gift yang diberikan penonton. Anak-anak juga tidak luput dari eksploitasi serupa, di mana mereka dijadikan “aktor” dalam drama kemiskinan atau penderitaan yang sengaja diciptakan.

Aksi Berbahaya demi Konten Viral

Kasus kedua adalah konten yang mempertaruhkan keselamatan diri atau melanggar etika publik. Ada yang mempertontonkan aksi berbahaya seperti melompat dari gedung tinggi, mengonsumsi bahan kimia, atau memicu perkelahian di tempat umum, semua demi mendapatkan status viral. Ada pula yang mengunggah penderitaan pribadi secara berlebihan—dari percobaan bunuh diri, gangguan mental, hingga pertengkaran keluarga—yang seharusnya menjadi ruang privat namun malah dijadikan tontonan publik. Semua ini dilakukan dengan satu tujuan: mendapatkan views, likes, dan pada akhirnya, monetisasi.

Komodifikasi Penderitaan: Dari Martabat Menjadi Nilai Tukar

Fenomena ini dapat dibedah melalui konsep komodifikasi, yaitu proses di mana sesuatu yang seharusnya memiliki nilai intrinsik diubah menjadi barang dagangan. Dalam konteks ini, penderitaan manusia—yang seharusnya memicu empati dan solidaritas—justru diubah menjadi konten yang menarik perhatian, mengundang likes, dan menghasilkan uang. Nilai kemanusiaan yang sejatinya tidak bisa diukur dengan angka, kini digantikan oleh nilai tukar: berapa banyak views yang didapat, berapa banyak donasi yang masuk, seberapa viral video tersebut.

Proses komodifikasi ini didukung oleh mekanisme platform yang memberikan reward pada konten yang paling banyak dilihat dan dibagikan. Algoritma tidak peduli apakah konten tersebut menyakiti orang lain atau merendahkan martabat manusia. Yang penting adalah engagement. Akibatnya, pembuat konten pun terjebak dalam logika pasar: jika penderitaan laku, maka penderitaan akan terus diproduksi.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah desensitisasi yang terjadi pada masyarakat. Penonton yang terus-menerus terpapar konten eksploitatif lambat laun kehilangan kepekaan. Mereka mulai melihat penderitaan sebagai hiburan, bukan sebagai masalah yang perlu diselesaikan. Empati yang seharusnya muncul justru tumpul, digantikan oleh logika konsumsi konten: tonton, like, scroll, lanjut ke konten berikutnya.

Anomie: Kehilangan Pegangan Moral di Dunia Maya

Kondisi ini juga mencerminkan anomie dalam arti yang lebih mendalam. Di media sosial, ambisi untuk cepat terkenal dan kaya tidak lagi dibatasi oleh norma atau etika. Cara-cara yang seharusnya dianggap tidak sah—seperti mengeksploitasi orang lain atau mempertaruhkan keselamatan diri—justru menjadi strategi yang dianggap wajar, bahkan dipuji karena “berani” atau “kreatif”. Individu kehilangan pegangan tentang apa yang seharusnya menjadi batas-batas perilaku yang dapat diterima.

Lebih jauh lagi, banyak pembuat konten yang mencari validasi eksternal sebagai pengganti harga diri. Jumlah likes, followers, dan komentar positif menjadi ukuran keberhasilan dan keberhargaan diri. Ketika validasi ini datang dari konten yang eksploitatif atau berbahaya, maka individu tersebut terjebak dalam siklus yang merusak: semakin ekstrem kontennya, semakin besar perhatian yang didapat, dan semakin kuat ketergantungan psikologis pada validasi tersebut.

Dampak Jangka Panjang: Normalisasi Eksploitasi dan Krisis Empati

Patologi sosial ini membawa dampak jangka panjang yang sangat serius. Pertama, terjadi pergeseran nilai kolektif. Penderitaan yang dieksploitasi mulai dianggap normal, bahkan wajar. Masyarakat kehilangan kepekaan terhadap pelanggaran martabat manusia. Empati kolektif yang seharusnya menjadi perekat sosial justru terkikis, digantikan oleh kultur tontonan yang berjarak dan dingin.

Kedua, fenomena ini memicu eksploitasi berkelanjutan. Karena terbukti menguntungkan, semakin banyak orang yang tergoda untuk mengikuti jejak yang sama. Lansia, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya akan terus dieksploitasi selama ada pasar untuk konten semacam itu. Ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.

Ketiga, dampak terhadap kesehatan mental pembuat konten tidak bisa diabaikan. Tekanan untuk terus memproduksi konten yang ekstrem dan “sakit” dapat menyebabkan gangguan psikologis, mulai dari kecemasan, depresi, hingga disorientasi realitas. Mereka kehilangan kemampuan untuk membedakan antara kehidupan nyata dan kehidupan yang dikonstruksi untuk kamera. Identitas diri pun menjadi kabur, tergantikan oleh persona digital yang semakin jauh dari kemanusiaan sejati.

Kesimpulan: Urgensi Intervensi Sistemik

Fenomena degradasi martabat sebagai komoditas viral adalah patologi sosial yang memerlukan perhatian serius. Ini bukan sekadar masalah individu yang tidak bermoral, tetapi cerminan dari kegagalan sistemik dalam mengatur ruang digital. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan intervensi yang terstruktur dan menyeluruh.

Platform media sosial harus bertanggung jawab dengan memperketat regulasi dan mengubah algoritma agar tidak lagi memprioritaskan konten eksploitatif. Monetisasi pada konten yang melanggar martabat manusia harus dihentikan, dan mekanisme pelaporan serta penegakan harus diperkuat. Di sisi lain, edukasi literasi media menjadi kunci untuk memulihkan kesadaran kolektif. Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan kritis untuk memahami logika platform, mengenali eksploitasi, dan kembali menghargai martabat manusia sebagai nilai yang tidak bisa diperjualbelikan. Hanya dengan intervensi sistemik yang komprehensif, kita dapat menghentikan patologi ini sebelum semakin mengakar dan merusak tatanan sosial yang lebih luas.

Daftar Pustaka

Durkheim, Émile. (1897). Suicide: A Study in Sociology. Routledge.
Marx, Karl. (1867). Das Kapital: Critique of Political Economy. Penguin Classics.
Merton, Robert K. (1938). “Social Structure and Anomie”. American Sociological Review, 3(5), 672–682.
Van Dijck, José. (2013). The Culture of Connectivity: A Critical History of Social Media. Oxford University Press.
Zuboff, Shoshana. (2019). The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. PublicAffairs.

Nama: Siti Hurin Injazilah
NIM: 07020623045
Dosen : Ahmad Khoirudin, S.Ag. M.Psi dan Dra. Khodijah, M.Si.
Prodi/Fak.: Tasawuf dan Psikoterapi/Fak. Ushuluddin dan Filsafat
Kampus: UIN Sunan Ampel Surabaya
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak