Penalaut.com - Dinamika politik Indonesia selalu menghadirkan kompleksitas. Di satu sisi, terdapat berbagai capaian positif dari program pemerintah, mulai dari pembangunan infrastruktur, perluasan akses pendidikan, hingga digitalisasi layanan publik. Namun di sisi lain, publik juga terus disuguhi kontroversi dan isu negatif, baik dalam bentuk kebijakan yang dianggap tidak sensitif, maupun perilaku elite politik yang sering kali kontraproduktif terhadap citra pemerintahan.
Beberapa isu terkini menunjukkan hal tersebut. Misalnya, munculnya istilah “Ibu Kota Politik” dalam Perpres IKN yang menimbulkan perdebatan konstitusional, kontroversi di sektor energi akibat kebijakan menteri terkait, hingga iklan pemerintah di bioskop yang dipandang sebagian pihak sebagai propaganda. Ditambah lagi polemik mengenai tunjangan DPR yang besar di tengah tekanan ekonomi rakyat. Semua kasus ini mencerminkan bahwa ruang politik Indonesia selalu dipenuhi tarik-menarik antara legitimasi kebijakan, kepentingan elite, dan persepsi publik.
Apakah Seluruh Kesalahan Harus Ditimpakan Kepada Presiden?
Secara teoretis, jawaban tersebut memerlukan pembedaan. Dalam sistem presidensial, presiden memang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Ia bertanggung jawab pada arah strategis dan kebijakan makro. Namun, pelaksanaan teknis berada di tangan menteri, lembaga independen, dan birokrasi daerah. Dengan demikian, tidak semua kesalahan lahir dari presiden, meskipun secara politik, presiden tetap menjadi simbol utama pemerintahan.
Jika ditelusuri lebih lanjut, terdapat setidaknya dua kategori besar:
- Kesalahan strategis; meliputi arah kebijakan nasional, pemindahan ibu kota, mandat baru lembaga, atau keputusan politik yang berdampak luas. Ranah ini jelas merupakan tanggung jawab presiden.
- Kesalahan teknis dan implementatif; meliputi distribusi bantuan sosial, pengelolaan BBM, masalah pemilu, atau korupsi di daerah. Ranah ini lebih tepat diarahkan pada menteri, lembaga, atau kepala daerah.
Namun, fenomena politik Indonesia menunjukkan bahwa publik tetap cenderung menyalahkan presiden. Ada beberapa faktor secara sosiologis yang menjelaskannya. Pertama, presiden sebagai simbol kekuasaan tertinggi menjadikan segala bentuk kebijakan maupun masalah publik dilekatkan pada dirinya. Kedua, budaya patronase politik membuat kegagalan bawahan otomatis ditarik sebagai kegagalan atasan. Ketiga, framing media dan oposisi yang lebih sering menyorot presiden karena secara politis lebih menarik. Keempat, ekspektasi publik yang tinggi akibat pemilihan langsung menjadikan rakyat cenderung menagih janji politik presiden secara personal.
![]() |
Tabel Perbandingan Kesalahan Strategis dan Teknis |
Trias Politica: Teori dan Harapan
Konsep trias politica yang diperkenalkan Montesquieu menekankan pada pemisahan kekuasaan menjadi tiga cabang:
- Eksekutif, menjalankan kebijakan pemerintahan (Presiden, Wakil Presiden, dan kabinet).
- Legislatif, membuat undang-undang dan mengawasi pemerintah (DPR dan DPD).
- Yudikatif, menegakkan hukum dan mengadili sengketa (MA, MK, lembaga peradilan).
Dalam kerangka ini, setiap cabang memiliki peran spesifik sekaligus saling mengontrol satu sama lain (check and balance). Harapannya, tidak ada satu cabang yang mendominasi atau memusatkan kekuasaan.
Namun fakta di lapangan, publik cenderung menyalahkan presiden setiap ada masalah. Salah satu faktor yang memperkuat kecenderungan masyarakat untuk menyalahkan presiden adalah minimnya literasi politik publik. Sebagian besar masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memahami sistem politik yang berlaku, khususnya konsep trias politika yang membagi kekuasaan menjadi tiga cabang: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dalam praktiknya, banyak kebijakan kontroversial—misalnya Undang-Undang yang disahkan bersama DPR—justru hanya ditimpakan kepada presiden. Padahal, tanggung jawab politik dalam sistem presidensial bersifat kolektif, dan lembaga legislatif memegang peran yang sama pentingnya. Rendahnya pemahaman publik terhadap mekanisme checks and balances membuat presiden menjadi figur tunggal yang dianggap paling bertanggung jawab atas semua keputusan negara.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui Attribution Theory, di mana publik cenderung mencari figur paling menonjol untuk dijadikan penyebab masalah, meskipun secara struktural penyebabnya tersebar pada berbagai aktor. Selain itu, rendahnya political efficacy masyarakat, yakni keyakinan bahwa partisipasi politik individu dapat memengaruhi kebijakan serta mendorong mereka lebih memilih menyalahkan presiden dibanding memahami kompleksitas politik yang ada.
Dengan kata lain, minimnya literasi politik memperkuat peran presiden sebagai “kambing hitam” utama, meskipun dalam sistem trias politika, tanggung jawab atas kebijakan dan permasalahan negara seharusnya terbagi.
Kesimpulan
Presiden sebagai simbol negara memang wajar mendapat sorotan terbesar. Namun, menyalahkan presiden atas setiap dinamika politik tanpa memahami peran legislatif dan yudikatif justru melemahkan kualitas demokrasi.
Agar demokrasi Indonesia sehat, diperlukan literasi politik publik: memahami siapa pembuat kebijakan, siapa pengawas, dan siapa pelaksana. Kritik yang proporsional kepada semua cabang kekuasaan akan memperkuat mekanisme check and balance. Jika tidak, kita hanya akan mengulang pola lama: menjadikan presiden sebagai kambing hitam, sementara aktor politik lain bersembunyi di balik bayang-bayang kekuasaan.
Oleh: Faisal Akbar
Posting Komentar