Namun, kenyataan tidak selalu seindah harapan. Masih banyak perilaku negatif yang justru merusak keharmonisan sosial dan menjauhkan masyarakat dari cita-cita tersebut. Dua di antaranya adalah sifat kikir dan rasa iri, yang ironisnya sering muncul dari orang-orang terdekat, termasuk tetangga, rekan kerja, atau bahkan keluarga sendiri. Meski sering dianggap sepele, kedua sikap ini bisa berkembang menjadi gangguan sosial yang serius jika tidak ditangani dengan baik.
Kikir dan iri hati merupakan dua sifat yang berbeda secara makna, namun sering kali saling berkaitan secara perilaku. Orang yang kikir, yaitu enggan berbagi atau membantu meskipun mampu, biasanya juga lebih mudah merasa iri terhadap keberhasilan atau kebahagiaan orang lain. Kekikiran tidak selalu soal materi. Ia bisa muncul dalam bentuk keengganan berbagi waktu, tenaga, perhatian, bahkan informasi yang bermanfaat.
Dalam budaya Indonesia yang menjunjung tinggi nilai gotong royong dan solidaritas, sikap ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai sosial. Masyarakat ideal adalah masyarakat yang saling menopang, bukan saling membatasi dan curiga.
Sementara itu, iri hati merupakan bentuk ketidaknyamanan terhadap kesuksesan atau kebahagiaan orang lain. Ia bisa dipicu oleh perasaan rendah diri, ketidakpuasan terhadap diri sendiri, atau kebiasaan membandingkan hidup dengan orang lain. Dalam dunia yang semakin terbuka seperti sekarang, di mana informasi tentang pencapaian dan gaya hidup orang lain begitu mudah diakses melalui media sosial, rasa iri pun lebih mudah tumbuh subur jika tidak disertai pengendalian diri dan rasa syukur.
Dalam kajian psikologi dan sosiologi, kedua sifat ini telah banyak diteliti. Leon Festinger, melalui teori Social Comparison, menjelaskan bahwa manusia secara alami membandingkan dirinya dengan orang lain untuk memahami posisi dan nilainya dalam masyarakat. Perbandingan ini bisa bersifat positif dan memotivasi, tetapi jika menimbulkan rasa tidak puas atau rendah diri, maka akan muncul perasaan iri yang berujung pada perilaku negatif.
Jika tidak dikendalikan, rasa iri bisa berkembang menjadi dengki, yakni keinginan agar orang lain kehilangan kenikmatan atau kebahagiaannya. Dengki inilah yang kerap menjadi akar dari gosip, fitnah, bahkan tindakan menjatuhkan orang lain secara terang-terangan. Dari perspektif sosiologi, hal ini berbahaya karena dapat memicu kecemburuan sosial, memecah solidaritas, dan bahkan menciptakan konflik horizontal antarwarga.
Sifat kikir pun demikian. Dari sudut pandang interaksionisme simbolik, kekikiran menunjukkan ketidakmampuan seseorang dalam membangun relasi sosial yang sehat. Seseorang yang terus menerus menahan diri untuk memberi atau terlibat dalam kegiatan sosial cenderung dijauhi, dianggap tidak peduli, dan kehilangan kepercayaan dari lingkungannya.
Dalam pendekatan psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, kekikiran bisa berakar dari pengalaman masa kecil, seperti pola asuh yang keras, kondisi ekonomi sulit, atau trauma kehilangan. Pola-pola tersebut bila tidak disadari dan diperbaiki, akan terbawa hingga dewasa dan menjadi penghambat dalam hubungan sosial dan pengembangan empati.
Dampak dari sifat iri hati dan kekikiran sangat nyata dan merusak. Lingkungan yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman berubah menjadi ladang prasangka, gosip, dan konflik. Hubungan antarwarga menjadi renggang. Kegiatan sosial seperti kerja bakti, arisan, atau pertemuan warga mulai ditinggalkan karena hilangnya rasa saling percaya dan semangat kebersamaan.
Lebih jauh, solidaritas masyarakat melemah, dan individu mulai menarik diri dari partisipasi sosial. Dalam kasus ekstrem, dua sifat ini bisa mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tidak etis seperti berbohong, memfitnah, mencuri, bahkan menyakiti orang lain demi memuaskan keinginan pribadi atau melampiaskan rasa tidak puasnya.
Dari sisi psikologis, orang yang dikuasai oleh iri dan kikir juga rentan mengalami stres berkepanjangan, rasa gelisah, serta ketidakpuasan hidup yang terus menerus. Mereka merasa tidak pernah cukup, selalu khawatir dengan keberhasilan orang lain, dan kehilangan kemampuan untuk menikmati hidupnya sendiri.
Oleh karena itu, sifat iri dan kikir perlu diakui sebagai penyakit sosial karena dampaknya bersifat kolektif, bukan hanya individual. Ia merusak fondasi hubungan sosial yang sehat dan menjadi penghalang besar dalam menciptakan masyarakat yang harmonis, adil, dan saling peduli.
Penyelesaian masalah ini tentu tidak cukup hanya dengan nasihat moral atau ceramah keagamaan, tetapi memerlukan pendekatan yang sistematis dan berkelanjutan, dimulai dari lingkup terkecil, yaitu keluarga. Keluarga berperan penting dalam menanamkan nilai empati, syukur, dan kepedulian sosial kepada anak-anak sejak dini. Anak perlu dibiasakan untuk berbagi, menghargai keberhasilan orang lain, dan menyadari bahwa kebahagiaan orang lain bukan ancaman, melainkan sesuatu yang patut dirayakan bersama.
Di tingkat masyarakat, diperlukan upaya nyata untuk membangkitkan kembali semangat kebersamaan. Kegiatan seperti kerja bakti, pengajian, pelatihan keterampilan, atau komunitas literasi bisa menjadi sarana efektif untuk mempererat hubungan antarwarga. Dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat, diharapkan tumbuh kembali rasa saling percaya dan tanggung jawab kolektif.
Oleh : Siti Rohmawati, Uchy Khadijah, Khairuddin



Posting Komentar