BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Kepala Desa Kebakaran Jenggot

Penalaut.com
- Dalam teknik memanah, setelah seseorang melepas tarikan tali busur, maka anak panah akan segera melesat. Begitu juga dalam urusan tembak-menembak. Ketika pelatuk pistol sudah ditarik, maka peluru akan melaju bebas dan mustahil untuk dikendalikan. Pemanah dan penembak tidak lagi memiliki kuasa atas anak panah dan peluru tadi. Setelah ia dilepaskan, ia akan melesat cepat ke titik tujuan. Tak peduli di depan ada satir atau tembok besar. Meski ada halangan, ia (akan) tetap bergerak maju dan, sekali lagi, mustahil dikendalikan.

Hukum di atas juga berlaku bagi manusia dalam berkata-kata. Setiap ujaran, kata pepatah klasik, bagaikan anak panah. Ketika kata-kata sudah keluar dari kerongkongan, si pengujar tidak lagi memiliki kuasa untuk mengendalikannya. Sekali dilontarkan, tidak mungkin bisa dicabut kembali. Oleh sebab itulah, guru-guru kita dulu senantiasa mengingatkan: menjaga lisan. Kalau terpeleset kaki, nanti dalam hitungan hari akan sembuh juga. Tapi kalau terpeleset lidah, bisa-bisa menebas kepala!

Tata krama menjaga lisan ini, tampaknya kurang begitu diperhatikan oleh salah satu anggota dewan (DPR) di Banyuwangi. Bapak Suwito, seorang Anggota DPRD Banyuwangi, beberapa waktu lalu bikin gaduh. Sebab, ia melontarkan pernyataan cukup “menohok” dan membuat sebagian pihak kebakaran jenggot.

Menurut beliau, “delapan puluh persen Kepala Desa di Banyuwangi terlibat korupsi dana bantuan sosial (bansos)”. Pernyataan ini kemudian membuat para Kades di Banyuwangi seperti sedang kesurupan sosok macan putih Prabu Tawangalun.

Anak panah dari Pak Suwito melaju pesat, dan menusuk citra Kades di Banyuwangi. Pada Senin (17/11) kemarin, 189 Kades berduyun-duyun menuju ke Kantor DPRD Banyuwangi. Tujuan mereka mendesak DPR, khususnya Pak Suwito, untuk memberikan klarifikasi atas pernyataan yang menyulut kegaduhan di Banyuwangi itu. Setelah melalui proses dialog, akhirnya Ketua Fraksi Partai Gerindra itu meminta maaf atas pernyataannya tempo hari di hadapan publik.

Pak Suwito mengaku, bahwa kata-kata tentang “Kades korupsi bansos” tersebut salah. Ia juga menyadari, kalau pernyataan itu keliru dan muncul karena kecerobohan dirinya. “Sekali lagi, pernyataan saya soal delapan puluh persen kepala desa Banyuwangi korupsi bansos itu salah. Saya cabut kata-kata saya,” tandas seorang politisi asal Singojuruh itu.

Persoalan di atas menarik untuk dicermati, karena berkaitan dengan Pemerintah Desa (Pemdes) dan bantuan sosial untuk masyarakat. Sejak zaman baheula, soal “dana” memang sangat riskan dibicarakan. Sebab bisa menimbulkan fitnah dan bahkan pertikaian. Apalagi, dana itu hak orang banyak.

Sebagaimana kita tahu, masyarakat desa adalah “tulang punggung” negara. Sudah semestinya mereka diberi keadilan dan disejahterakan. Hal ini bisa diwujudkan, ketika Pemdes benar-benar menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan baik. Kalau mereka justru sibuk memperkaya diri dan memoles citra, sudah barang tentu cita kesejahteraan itu hanya omong kosong belaka. Ia tampak menawan, tetapi bikin sengsara.

Pernyataan “Kades korupsi bansos” itu, meski diakui salah oleh Pak Suwito, saya kira perlu untuk ditindaklanjuti. Jangan-jangan memang ada yang tidak “beres” dari kinerja Pemdes kita. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap aliran dana kepada Pemdes.

Kita bisa belajar dari kasus Bantuan Langsung Tunai (BLT) Kades Plampangrejo beberapa bulan lalu. Kalau masyarakat tidak bergerak dan mendesak Kades, apakah kasus itu bisa terkuak? Apakah lantas Pak Yudi Wiyono mengundurkan diri? Bisa jadi tidak. Karena, jika “penyelewengan” itu tidak diketahui oleh publik, niscaya beliau tetap memimpin desa dan keadaan akan baik-baik saja.

Sehingga, untuk memastikan bahwa pernyataan Pak Suwito itu benar-benar salah, maka harus dibuktikan dengan data-data dari proses audit dan evaluasi secara transparan (terbuka). Kalau para Kades merasa tidak melakukan tindakan koruptif, tentu mereka tidak akan gundah gulana.

Dengan kata lain, kita bisa “memanfaatkan” kekhilafan Pak Suwito sebagai batu loncatan untuk menelisik lebih lanjut: apakah para Kades di Banyuwangi sudah menjalankan tugas dengan baik dan menyalurkan bantuan sosial sesuai aturan yang berlaku?

Selain itu, kita juga bisa mengambil hikmah dalam persoalan ini: menjaga lisan. Usia dan jabatan (ternyata) tidak lantas menjamin seseorang bijaksana dan bijaksini. Kita bisa melihat pada sosok Pak Suwito. Beliau sudah banyak makan asam-garam kehidupan. Juga cukup terlatih dalam membuat kebijakan strategis. Tetapi, untuk menjaga lisan agar tidak “ngawur” saja, tampaknya beliau masih kewalahan.

Sebagai masyarakat kecil, kita patut prihatin dengan masalah ini. Sebab, pemimpin kita belum bisa memberikan uswah yang baik untuk generasi kita, terutama tentang bagaimana menjaga lisan agar tidak menimbulkan malapetaka. Meski telah “dicabut”, bukan berarti kata-kata itu hilang seketika. Ia tetap ada, dan masih terngiang-ngiang di kepala kita semua.

Dan, supaya “kesalahan” Pak Suwito bisa memberikan faedah, bagaimana kalau kita mendesak Badan Pemeriksa Keungan (BPK) dan pihak terkait untuk mengaudit seluruh anggaran desa?

Oleh: Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak