Makna hidup yang telah terkikis itu dapat puisi kembangkan kembali karena puisi memungkinkan pengalaman estetis, adanya ruang refleksi, imajinasi, dan penafsiran personal akan realitas sekaligus idealnya kehidupan.
Dalam puisi Chairil Anwar Aku Ini Binatang Jalang, misalnya, terdapat sajak “Aku” yang sangat relevan dengan kehidupan masyarakat Modern yang notabenenya kehilangan totalitas. Chairil Anwar dalam sajaknya itu memberikan pengertian: “kalau sampai waktuku, ‘kumau tak seorang ‘kan merayu, tidak juga kau, tak perlu sedu sedan itu”. Artinya, setiap individu masyarakat harus secara totalitas bertanggung jawab, menyelesaikan dan menghadapi sendiri masalah yang sedang menimpa.
Dalam puisi Chairil Anwar Aku Ini Binatang Jalang, misalnya, terdapat sajak “Aku” yang sangat relevan dengan kehidupan masyarakat Modern yang notabenenya kehilangan totalitas. Chairil Anwar dalam sajaknya itu memberikan pengertian: “kalau sampai waktuku, ‘kumau tak seorang ‘kan merayu, tidak juga kau, tak perlu sedu sedan itu”. Artinya, setiap individu masyarakat harus secara totalitas bertanggung jawab, menyelesaikan dan menghadapi sendiri masalah yang sedang menimpa.
Pengertian ini cenderung kontradiktif dengan realitas masyarakat Modern yang kerap lari dari tanggung jawab, melimpahkan permasalahan kepada orang lain. Bahkan, tidak jarang menggunakan penyelesaian yang jauh dari kata mulia, menghalalkan segala cara! Padahal, konskuensinya terlalu mahal untuk dibayar, mereduksi kebahagiaan hidup.
Melalui sajak “Aku” pula, Chairil Anwar mengingatkan masyarakat Modern, meski masyarakat Modern identik akan rasionalitas, tetapi yang demikian cenderung semakin memperumit keadaan, jika tidak ditopang empati. Rasionalitas tanpa empati sebatas memberi kekacauan, memperlebar kesenjangan antar manusia yang mengakibatkan dehumanisasi serta semakin berjaraknya dari cita-cita liberasi; harapan yang menghendaki manusia terbebas dari kezaliman, kesewenang-wenangan, seperti yang terjadi belakangan.
Melalui sajak “Aku” pula, Chairil Anwar mengingatkan masyarakat Modern, meski masyarakat Modern identik akan rasionalitas, tetapi yang demikian cenderung semakin memperumit keadaan, jika tidak ditopang empati. Rasionalitas tanpa empati sebatas memberi kekacauan, memperlebar kesenjangan antar manusia yang mengakibatkan dehumanisasi serta semakin berjaraknya dari cita-cita liberasi; harapan yang menghendaki manusia terbebas dari kezaliman, kesewenang-wenangan, seperti yang terjadi belakangan.
Chairil Anwar menginginkan tertanamkannya empati, yang sejauh ini pudar di tengah masyarakat Modern, mengedepankan kepedulian yang termanifestasikan dari manfaat terhadap sesama, manfaat yang tidak mudah lekang ditelan zaman, sebagaimana yang ia ekspresikan dalam larik terakhir sajaknya: “aku mau hidup seribu tahun lagi”.
“Aku mau hidup seribu tahun lagi”, terhindar dari muatan utopis karena bukan jasad yang hidup seribu tahun, melainkan karya, manfaat, yang dapat dinikmati serta terpatri dalam lubuk generasi penerus. Adalah sajak “Derai-derai Cemara” yang secara pemaknaan intertekstualitas sangat koheren meyakinkan penafsiran di atas.
“Aku mau hidup seribu tahun lagi”, terhindar dari muatan utopis karena bukan jasad yang hidup seribu tahun, melainkan karya, manfaat, yang dapat dinikmati serta terpatri dalam lubuk generasi penerus. Adalah sajak “Derai-derai Cemara” yang secara pemaknaan intertekstualitas sangat koheren meyakinkan penafsiran di atas.
Dalam sajak itu terdapat redaksi, “hidup hanya menunda kekelahan”. Maksudnya, saat waktunya tiba, setiap individu akan meninggal dunia, dan tidak satu pun yang sanggup menang atau menghindari ajal. Dengan demikian, sajak “Derai-derai Cemara” tidak sekadar menjawab perihal manfaat yang akan hidup abadi, tetapi turut memberikan alternatif mengembangkan makna hidup.
Realitasnya, individu yang berbahagia, individu yang mengingat mati, sebaliknya disebut individu yang tidak bahagia. Mengingat kematian efektif menjauhkan dari perilaku sewenang-wenang, termasuk mengaktualisasikan kebaikan yang selama ini terpendam lantaran keterpengaruhan pandangan atau model hidup dominan.
Penyair yang merupakan arsitek jiwa manusia telah menyinggung keterpengaruhan ini. Keterpengaruhan negatif di atas terjadi karena masyarakat Modern tidak lagi autentik. Penyebabnya, mengingkari prinsip cinta tanpa syarat.
Penyair yang merupakan arsitek jiwa manusia telah menyinggung keterpengaruhan ini. Keterpengaruhan negatif di atas terjadi karena masyarakat Modern tidak lagi autentik. Penyebabnya, mengingkari prinsip cinta tanpa syarat.
Penyair Sapardi Djoko Damono, dalam sajaknya “Aku Ingin”, menggugah kesadaran masyarakat Modern akan urgensitas cinta tanpa syarat itu: “aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”. Kehendak Sapardi Djoko Damono dari sajaknya adalah masyarakat saling mengaplikasikan cinta yang tulus, sarat komitmen, dan penuh pengorbanan tanpa merasa berkorban.
Mirisnya, masyarakat Modern tidak melanggengkan orientasi itu. Masyarakat Modern lebih tergoda dengan cinta estetis dan etis; yang pertama mengacu pada keindahan materi, sedangkan yang kedua mengacu terhadap suatu ikatan, seperti tanggung jawab suami atas istri, orang tua atas anak, kakak atas adik, dan sebaliknya.
Mirisnya, masyarakat Modern tidak melanggengkan orientasi itu. Masyarakat Modern lebih tergoda dengan cinta estetis dan etis; yang pertama mengacu pada keindahan materi, sedangkan yang kedua mengacu terhadap suatu ikatan, seperti tanggung jawab suami atas istri, orang tua atas anak, kakak atas adik, dan sebaliknya.
Dampak negatif cinta estetis dapat terlihat dari perannya yang memicu pandangan masyarakat atas yang lainnya menjadi superior atau inferior. Mereka yang menganggap dirinya inferior akan meniru gaya hidup yang dianggap superior tanpa peduli kehilangan autentisitas, kepribadian. Akibatnya, tidak ada makna sekaligus tujuan hidup yang memungkinkan kebahagiaan sejati masing-masing individu. Adapun negatifnya cinta etis, setiap individu hanya akan mengupayakan cinta karena suatu ikatan, sementara yang sebaliknya, cenderung diabaikan, merasa tidak memiliki peranan terhadap sekitar.
Idealnya dari kedua cinta di atas, yaitu cinta religius; cinta yang penuh ketulusan, mengesampingkan keindahan materi, dan mengutamakan kemanusiaan termasuk sesama ciptaan, tanpa perlu ikatan tertentu. Prioritas cinta religius adalah Tuhan, bukan pujian manusia atau sejenisnya. Masyarakat yang menafikan cinta religius akan kembali tertawan dalam kepiluan sejarah, seperti yang pernah terjadi pada masyarakat sekular akibat terlalu menjunjung materialisme.
Idealnya dari kedua cinta di atas, yaitu cinta religius; cinta yang penuh ketulusan, mengesampingkan keindahan materi, dan mengutamakan kemanusiaan termasuk sesama ciptaan, tanpa perlu ikatan tertentu. Prioritas cinta religius adalah Tuhan, bukan pujian manusia atau sejenisnya. Masyarakat yang menafikan cinta religius akan kembali tertawan dalam kepiluan sejarah, seperti yang pernah terjadi pada masyarakat sekular akibat terlalu menjunjung materialisme.
Alhasil, setiap individu harus mengakui, hanya dengan mengaplikasikan cinta religius seseorang menjadi autentik. Menjadi autentik berarti mengatasi kodrat sensual (estetis), kemudian rasio universal (etis) (Mokorowu, 2016: 111), sehingga kekacauan antar individu atau masyarakat tidak akan mudah terjadi.
Pada akhirnya, semua dapat menyimpulkan, mengkaji puisi merupakan kebahagiaan tersendiri. Puisi tidak semata-mata alat mengembangkan makna hidup, melainkan makna hidup itu sendiri, sebagai teladan, sebagai kebijaksanaan. Mensubordinasikan puisi sebagai alat hanya akan mengurangi independensi puisi, suatu reduksionisme.
Masyarakat Modern yang notabenenya mengalami krisis makna hidup, selayaknya kembali meminati puisi lantaran selain memberikan kenikmatan seni (Pradopo, 2017: v), memperkaya kehidupan batin, dan membangkitkan semangat hidup, puisi memungkinkan semakin tingginya rasa ketuhanan dan keimanan yang selama ini jauh terpendam.
oleh: Syamil Basyayif, Pemelajar Sastra dan Penulis buku Haninu: Sajak-sajak Kerinduan (2020)



Posting Komentar