BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Menjadi Kader Pergerakan: Meneguhkan Identitas di Tengah Tantangan Zaman

Penalaut.com
- Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia. Organisasi yang hadir untuk mencetak generasi muda islam yang progressif, berkarakter, dan berdaya saing. Sejak didirikanya pada tanggal 17 april 1960 di Surabaya, PMII telah menempuh perjalanan panjang mengawal dinamika bangsa, khususnya dalam bidang sosial, pendidikan, dan penguatan nilai-nilai kebangsaan. 

Identitas menjadi seorang kader PMII bukan hanya sebuah label organisatoris, melainkan jati diri, nilai-nilai, dan prinsip hidup yang harus dipertahankan dan dikembangkan dari generasi ke generasi.

Ke-PMII-an pada dasarnya merupakan kristalisasi dan nilai-nilai Aswaja An-Nahdliyah, intelektualitas, keberpihakan sosial, dan komitmen kebangsaan. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman kader dalam bertindak bersikap, serta menempatkan diri di tengah masyarakat sebagai agen perubahan, PMII memandang bahwa mahasiswa bukan hanya pewaris peradaban, tetapi juga motor penggerak dalam menciptakan kemajuan bangsa. Karena itu, ke-PMII-an dibangun melalui proses kaderisasi yang sistematis, pengalaman sosial yang luas, serta internalisasi nilai yang kuat.

Salah satu pondasi utama dari ke-PMII-an adalah pemahaman terhadap Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) sebagai paradigma berpikir dan bertindak. Aswaja dalam PMII tidak dipahami sebatas doktrin keagamaan, melainkan sebagai metode dalam memastikan bahwa setiap pemikiran dan tindakan kader selaras dengan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan keseimbangan. Empat pilar Aswaja tawasuth (moderat), tasamuh (toleransi) tawazun (seimbang), dan i'tidal (adil) menjadi landasan moral untuk menghadapi perubahan sosial yang cepat dan kompleks.

Melalui nilai tawasuth, kader PMIl belajar untuk menghindari sikap ekstrem atau konservatif berlebihan. Tasamuh mengajarkan penghargaan terhadap perbedaan budaya, agama, dan pandangan politik. Tawazun membentuk kemampuan untuk melihat persoalan dari berbagai sudut pandang secara proporsional, sedangkan i'tidal menuntun kader untuk bersikap adil dan Objektif. Internaliasi nilai-nilai ini membuat kader PMII mampu tampil sebagai penengah di tengah masyarakat.

Selain nilai keagamaan, ke-PMII-an juga mencakup tradisi intelektual yang kuat. PMII dikenal sebagai organisasi yang menuntut kadernya untuk terus membaca, meneliti, berdiskusi, dan mengembangkan gagasan. Proses pengkaderan seperti MAPABA, PKD, PKL, hingga PKN bertujuan mengembangkan kemampuan analisis, ketajaman berpikir, dan kecerdasan emosional kader. Tradisi intelektual ini tidak hanya menjadi bekal akademik, tetapi juga membentuk karakter kader yang kritis terhadap ketidakadilan, peka terhadap realitas sosial, dan mampu menawarkan solusi konstruktif.

Lebih jauh lagi, ke-PMII-an tercermin dalam semangat pergerakan. PMII Sejak awal menempatkan dirinya sebagai organisasi gerakan, bukan sekadar perkumpulan diskusi atau ajang seremonial. Pergerakan berarti keberanian mengatakan benar adalah benar, salah adalah salah, sekalipun harus berhadapan dengan kekuasaan. 

Kader PMII dididik untuk memiliki sensitivitas sosial, keberanian moral, dan kepedulian terhadap kelompok rentan. Sejarah mencatat bahwa kader-kader PMII terlibat dalam berbagai aksi advokasi, pemberdayaan masyarakat, dan perjuangan demokrasi sejak era Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi.

Selain itu, ke-PMII-an tidak dapat dipisahkan dari komitmen terhadap keindonesiaan. PMII menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang selaras dengan nilai-nilai Islam rahmatan lil'alamin. Kader PMII diajarkan untuk menjaga persatuan bangsa, menghargai keberagaman, dan mengabdi kepada masyarakat sebagai bentuk manifestasi iman dan cinta tanah air. Dalam konteks sosial dan politik yang penuh polarisasi, PMII hadir sebagai kekuatan moral yang menjaga ruang dialog dan menciptakan harmoni.

Hal lain yang menjadi ciri khas ke-PMII-an adalah independensi organisasi. PMII tidak berada dibawah partai politik manapun, sehingga memiliki kebebasan dalam menentukan sikap, Prinsip independensi ini menjadikan PMII tetap objektif dalam menyikapi situasi politik, tidak terjebak dalam kepentingan kelompok, dan mampu berdiri tegak membela nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Di tengah dinamika demokrasi yang penuh intrik. Independensi, menjadi nilai yang sangat mahal dan perlu terus dipertahankan.

Dalam era digital dan globalisasi saat ini, tantangan PMII semakin kompleks. Arus Informasi bergerak cepat, budaya baru muncul setiap detik, dan krisis moral semakin tampak. Di sinilah ke-PMII-an diuji, Kader PMII bukan hanya dituntut memahami nilai-nilai organisasi, tetapi juga harus mampu menerapkannya dalam konteks yang terus berubah. Kader PMII harus mampu menjadi intelektual digital, aktivis yang melek teknologi, sekaligus tetap berpegang pada nilai moderasi, kepedulian sosial, dan kebangsaan.

Pada akhirnya, ke-PMII-an adalah Identitas sekaligus perjalanan. la bukan sesuatu yang selesai dalam satu malam, melainkan proses panjang pembentukan diri. Ke-PMII-an membentuk kader menjadi pribadi yang religius, intelektual, kritis, humanis, serta siap berkontribusi bagi bangsa dan agama. Dengan karakter semacam inilah PMII terus berperan sebagai organisasi yang melahirkan pemimpin masa depan: pemimpin yang bijaksana, inklusif, dan mampu merawat peradaban.

Dengan demikian, menjadi kader PMII bukan hanya tentang mengenakan jaket biru, tetapi tentang meneguhkan komitmen sebagai manusia pergerakan. Ke-PMII-an adalah panggilan untuk terus belajar, bergerak dan mengabdi. Selama nilai-nilai itu dijaga, PMII akan selalu relevan, dan memberi manfaat bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan.


Oleh: Afidhotul Muhafidoh (Kader PMII Rayon FKIP UNDAR)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak