BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Pendidikan dan Budaya Religius: Mabadi Khaira Ummah

Penalaut.com
- Akhir-akhir ini pendidikan di Indonesia dihebohkan dengan munculnya beragam peristiwa yang kurang mengenakan. Peristiwa ini cenderung menyeluruh dan sontak semakin riuh ketika kalangan luaran juga turut memberikan pendapat yang kadang kurang relevan pada opsi masalah. Di mulai dari formal (menengah pertama, atas, dan pendidikan tinggi) hingga non-formal seperti pesantren. Klasifikasi pendidikan tersebut kini terdapat banyak berita yang sangat santer pada lembaga-lembaga terkait. Peristiwa tersebut hingga mampu memantik pada isu-isu nasional karena algoritma media sosial yang semakin cepat.
 
Mulai dari pemberitaan runtuhnya bangunan pesantren di Sidoarjo dan puncaknya pada framing salah satu stasiun televisi atas salah satu pesantren besar di Kediri. Selain itu, di Tuban, putra seorang kiai dengan santriwati yang memiliki hubungan asmara. Kemudian, pendidikan tinggi dihebohkan oleh berita viral mahasiswa di Bali dan Jember. Di sekolah menengah atas (SMA) terdapat kasus tentang rokok, mogok, dan demonstrasi. Terakhir, pada sekolah menengah pertama (SMP), terdapat kasus bullying.

Pendidikan tidak menyoal hanya pada kecerdasan intelektual, tapi juga emosional. Artinya, pendidikan tidak melulu fokus pada pelajaran, tetapi juga budaya. Kebiasaan seorang pelajar tercermin dari apa yang sering mereka baca, mereka lihat, dan mereka sering lakukan. Maka, dalam lingkungan pendidikan, juga mula-mula dari kebiasaan kelak yang dapat mereka cerminkan dalam tingkah laku mereka sehari-hari.
 
Pelajaran seharusnya bisa disertai dengan kontekstual makna. Artinya, materi tidak hanya menyajikan teori-teori semata, melainkan juga mampu memberikan contoh praktis. Makna kontekstualitas ini akan memberikan gambaran bagi pelajar tentang pentingnya nilai pada setiap pembelajaran tersebut. Terkadang mereka tidak memikirkan sama sekali arti pentingnya belajar. 

Mereka hanya berpikir usai sekolah bekerja, dampak cara berpikir tersebut membuat pola pikir mereka stagnan dan menjadikan sekolah hanya produsen ijazah. Akhirnya, mereka tidak mendapat makna pendidikan itu sendiri. memang, berbicara berkah bukan konteksnya, melainkan semua membutuhkan proses dan tahapan untuk bisa mendapatkan keberkahan tersebut.

Pendidikan harus mengedepankan makna pada setiap pembelajaran. Salah satunya adalah membangun budaya religius di lingkungan sekolah. Budaya religius ini mendasarkan pada pola tingkah laku pelajar dan penguatan pondasi keagamaan. Mereka akan terbiasa dengan pelajaran serta maknanya. Budaya religius memetik pada setiap nilai-nilai penting dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, khususnya bagi dunia keterpelajaran. Salah satu nilai yang dapat dipetik adalah makna dari Mabadi Khaira Ummah dari Nahdlatul Ulama.
 
Mabadi Khaira Ummah (MKU) adalah pedoman dasar dalam membentuk umat yang baik. Pedoman ini dirumuskan oleh KH. Machfud Siddiq pada 1939. Awalnya, Mabadi ini hanya memiliki tiga nilai dasar (Mabdaul Tsalatsah): as-Sidqu, al-Amanah wa al-Wafa bil-Ahdi, dan at-Ta'awun. Namun, pada Munas NU di Lampung 1992, Mabadi ini mendapatkan tambahan dua nilai: al-Istiqamah dan al-'Adalah. Sehingga total nilai Mabadi itu ada lima, dan kemudian dikenal dengan Mabdaul Khamsah.

Dalam konteks pendidikan, MKU itu dapat menjadi salah satu pondasi dalam membentuk pelajar yang baik. Tidak hanya pada materi keagamaan berlangsung atau seminari ke-NU-an, tapi lebih jauh pada kontektualitas makna pada pelajar. Konteks historis memang menekankan pada komunitas Islam tertentu, akan tetapi tidak ada salahnya ketika lembaga pendidikan memberikan perspektif lain dalam membangun peserta didik yang baik, untuk hari ini dan masa depan.
 
Dalam MKU terdapat lima nilai agama yang disarikan dari al-Quran dan Hadis, kemudian diperkuat dalam pandangan Ijma, dan Qiyas. Lima nilai tersebut bagian dari cara pandang keagamaan dalam melihat realitas sosial-kemasyarakatan. Adapun nilai tersebut, antara lain: as-Sidqu, al-Amanah wa al-Wafa bil-Ahdi, at-Ta'awun, al-Istiqamah dan al-'Adalah.

Pertama, As-Sidqu. Kata ini berarti jujur, kebenaran, kesungguhan, maupun keterbukaan. Memang secara makna as-Sidqu berdekatan dengan makna al-Amanah. Jujur selalu bergandengan dengan kebenaran, menepati janji, atau menyampaikan. Jujur menjadi dasar bagi pelajar dalam membangun sikap dan tingkah laku dalam keseharian dengan minimal di lingkungan sekolah.

Lambat laun mereka akan mulai tahu tentang pentingnya makna prilaku yang baik, membiasakan budaya religius dalam sehari-hari, seakan sudah menjadi kebiasaan. Dalam nilai ini, pelajar akan belajar mulai dari cara mereka berbicara hingga tindakan yang jujur, bahkan mulai dari pola berpikir mereka. Baik pikiran, perkataan, dan tindakan merupakan sikap yang saling berkaitan dan berhulu pada paradigma itu sendiri. Hal mendasar seperti, menepati janji, merupakan hal paling dasar dalam menumbuhkan sikap budaya religius dalam sehari-hari.

Kedua, al-'Amanah. Berarti dapat dipercaya, setia, dan menepati janji. Konsep dari mabadi khaira ummah ini bisa menjadi bagian integral sebagai insan pelajar yang mampu menerapkan sisi emosional dalam berkehidupan. Baik mereka teramanahi sebagai pemimpin kelas, ketua kegiatan, dan sekadar mengerjakan tugas kelompok, mereka harus tertanam nilai amanah dalam diri. Nilai yang tidak tampak, tapi mampu dirasakan dan berdampak bagi diri sendiri dan orang lain. Nilai ini bagian dasar yang dapat membentuk karakter pelajar yang unggul dalam akhlak dan intelektual. Maka, amanah diajarkan tidak hanya nilai dan norma, melainkan praktis pada penerapan pembelejaran berlangsung.

Ketiga, al-Ta’awun. Berarti tolong menolong, gotong royong, dan/atau saling membantu. Dalam konteks ini, pelajar akan diajarkan sebagai manusia yang memiliki sifat sosial. Kecerdasan sehebat apapun, pelajar harus bisa memiliki rasa gaul pertemanan yang dapat membangun sisi emosional dan empatik kepekaan terhadap sesama. Rasa sesama akan timbul juga menjadi ciri akan sisi kemanusiaan yang harus tercermin dalam rumus simbiosis mutualisme. Dalam kerja kelompok, dalam berdiskusi, bukan mengunggulkan diri sendiri, tapi bagaimana kelompok bisa dirumuskan dengan kerja sama.
 
Keempat, al-'Adalah. Berarti adil, sikap tengah dan/atau menempatkan posisi pada tempatnya. Nilai ini begitu mampu membangun sikap religius sebagai pelajar. Karena tujuan berbuat adil adalah untuk menciptakan keharmonisan dan kesinergian hidup dalam menjalankan kehidupan. Sikap keadilan ini berlangsung kepada siapapun tanpa pandang bulu atau latar belakang, adil kepada Allah Swt., adil kepada diri sendiri, adil kepada orang lain, dan adil kepada makhluk.
 
Kelima, al-Istiqamah. Berarti ajeg, konsisten, berkesinambungan, dan berkelanjutan. Kegiatan pembelajaran, pembiasaan doa, pembiasaan ibadah di lingkungan sekolah, dan pembiasaan yang berakar pada nilai-nilai kebaikan, tidak lain tidak bukan adalah bertujuan membentuk kebiasaan yang nantinya membiasa bagi seluruh pelajar dalam segi ibadah maupun muamalah dalam lingkungan sekolah. 

Kebiasaan pelajar dengan pembelajaran tanpa mencontek, harus membaca, berdiskusi, negosiasi, pemanfaatan media dengan bijak, adalah cara bagaimana pelajar bisa istiqomah dalam pembiasaan itu selama di sekolah. Perlahan, cara tersebut akan memberikan dampak pada karakter pelajar dalam memanajement penggunaan hal-hal yang menurutnya adalah pendukung. Artinya pelajar akan mengusahakan dari diri sendiri, dan meminta bantuan pada alat bantu ketika membutuhkan. Mereka tidak ketergantungan terlalu berlebihan, dan itu akan lebih efektif dalam pendayagunaan akal pikiran dalam proses pembelajaran berlangsung dan terbiasa mandiri untuk berpikir.

Tidak hanya itu, istiqamah juga berarti sikap tanpa pamrih. Pelajar ketika memberi sesuatu jangan berharap imbalan, istiqomah saja. Pun dalam bersikap; adil, jujur, setia, menolong, bukan karena ada mau dan harapan semata, tapi lakukan karena ingin menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan dan semua dijalan dengan dasar istiqomah.

Pendidikan dan budaya religius dalam studi MKU ini merupakan perspektif yang dapat diterapkan dalam pendidikan sebagai bagian dalam membentuk karakter budaya bangsa. Nilai-nilai ketika berakar pada budaya kebaikan dan agama, semuanya memiliki potensi positif dan maknanya adalah profetik. Semua pasti ada proses yang begitu dinamis, tapi ketika mencoba menerapkan nilai-nilai agama yang maksud-maknanya adalah ketuhanan, nilai-nilai dalam budaya tersebut memiliki dasar ruh keagamaan. 

Dan pendidikan wajib memiliki karakter religius, karena dasar religius akan mampu mengajak cara bertindak memiliki dasar dan pijakan, serta semesta dan beragam ilmunya adalah milik sang pencipta. Sehingga akhlak dalam nuansa religius, adalah dasar untuk memahami beragam ilmu yang mana ilmu berdasar pada adab. Jadi, pendidikan memiliki ruh yang tidak bisa terpisahkan yaitu ilmu dan adab, keduanya seimbang dan memiliki karakter. Kadang di negeri ini, keduanya masih berat sebelah, akan tetapi ketika keduanya seimbang, dan secara istiqomah, karakter pendidikan akan baik-baik saja.


oleh: Ahmad Zainuri
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak