Ketika dunia mengadopsi pembelajaran daring sebagai keniscayaan di era digital, Indonesia justru memperlihatkan betapa timpangnya akses yang terjadi. Anak-anak di pelosok Papua, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, hingga Maluku tidak hanya harus berjuang memahami materi pelajaran, tetapi juga berjuang melawan ketidakadilan sistemik: ketiadaan infrastruktur digital. Mereka belajar di bawah pohon, memanjat bukit, bahkan bertaruh nyawa demi sekadar menyerap ilmu melalui layar ponsel yang hanya bisa menyala jika sinyal datang.
Padahal, Allah Swt. dalam Al-Qur’an telah menyeru dengan tegas agar manusia mencari ilmu dan tidak hidup dalam kebodohan. Allah berfirman:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا الْأَلْبَٰبِ
"Katakanlah (Muhammad), 'Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?' Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (QS Az-Zumar: 9)
Namun bagaimana mungkin mereka bisa mengetahui, jika akses terhadap ilmu itu sendiri masih dibatasi oleh sinyal yang tak pernah hadir di daerahnya?
Pendidikan adalah hak, bukan privilese. Tapi dalam praktiknya, digitalisasi pendidikan di Indonesia justru menciptakan kasta baru dalam dunia pendidikan: mereka yang tersambung internet dan mereka yang tertinggal. Anak-anak di kota dengan mudah mengikuti Zoom Meeting, Google Classroom, dan berbagai platform belajar daring lainnya. Sementara di pelosok, anak-anak harus saling bergiliran meminjam satu ponsel milik orang tua, itupun jika memiliki pulsa dan listrik.
Ironisnya, pemerintah kerap berbicara tentang “revolusi industri 4.0”, “generasi emas 2045”, dan “smart society”. Namun tidak semua anak Indonesia punya kesempatan yang sama untuk menjadi bagian dari revolusi itu. Kita terlalu sibuk memikirkan artificial intelligence (AI) sementara masih ada anak-anak yang tidak tahu bagaimana cara menghidupkan laptop. Digitalisasi seharusnya menyatukan, bukan memisahkan.
Di sinilah pentingnya menghadirkan keadilan dalam pembangunan infrastruktur digital. Rasulullah Saw. dalam sabdanya menegaskan:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
"Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim." (HR. Ibnu Majah)
Kewajiban itu berlaku universal, bukan hanya bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar. Maka menjadi tanggung jawab kolektif bangsa ini untuk memastikan bahwa akses terhadap pendidikan – termasuk sarana digitalnya – harus tersedia bagi seluruh anak bangsa, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote.
Sayangnya, laporan Komisi X DPR RI (2024) menyebutkan bahwa dari 83.000 sekolah di Indonesia, lebih dari 12.000 masih belum memiliki koneksi internet yang memadai. Bahkan, dalam survei Kominfo dan World Bank, sebanyak 3,8 juta siswa tidak memiliki akses sama sekali terhadap perangkat belajar daring. Angka ini adalah tamparan keras bagi narasi kemajuan digital yang terus digaungkan.
Beberapa pemerintah daerah telah mencoba melakukan terobosan, seperti mendirikan “wifi corner”, pengadaan laptop bagi siswa kurang mampu, hingga distribusi kuota gratis. Namun, solusi ini masih bersifat temporer dan parsial. Padahal, solusi permanen dan struktural harus segera hadir: pembangunan BTS (Base Transceiver Station) di daerah terpencil, pemanfaatan satelit independen nasional, serta integrasi antara Kemendikbudristek, Kominfo, dan PLN untuk memastikan listrik dan internet hadir bersama.
Lebih dari itu, kita juga harus membicarakan soal ketimpangan literasi digital. Banyak siswa dan guru yang bahkan tidak memiliki kecakapan dasar dalam menggunakan teknologi. Maka digitalisasi pendidikan bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga soal kultur. Pendidikan digital harus disertai dengan pendidikan literasi digital yang terencana, sistematis, dan berkelanjutan. Jika tidak, maka yang terjadi adalah gagap teknologi secara massal, bukan kemajuan.
Allah Swt. mengingatkan kita dalam Al-Qur’an:
يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ آمَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَـٰتٍ ۚ
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS Al-Mujadilah: 11)
Artinya, negara yang ingin ditinggikan derajatnya di hadapan dunia adalah negara yang menghormati ilmu dan memuliakan pendidikan. Maka tak ada jalan lain: pemerintah harus menempatkan pendidikan – termasuk pendidikan digital – sebagai prioritas mutlak, bukan hanya jargon politis.
Pendidikan yang setara hanya mungkin terjadi jika semua anak Indonesia mendapatkan sinyal yang sama kuat: sinyal keadilan, sinyal pemerataan, sinyal keberpihakan. Bukan sinyal dari BTS raksasa, tapi sinyal dari nurani kebangsaan. Jika tidak, maka “Negeri 1000 Pulau” akan tetap menjadi “Negeri 1000 Ketimpangan.”
Mari kita tutup opini ini dengan satu pesan reflektif dari Al-Qur’an yang seolah menjawab semua kegelisahan ini:
وَقُل رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًا
"Dan katakanlah: 'Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan'." (QS Taha: 114)
Tambahkan ilmu, ya Allah, untuk mereka yang tak tersentuh sinyal. Tambahkan juga kasih sayang pada hati para pengambil kebijakan, agar pendidikan tak lagi jadi ironi.
Oleh: Nashrul Mu’minin, Content Writer Yogyakarta
Posting Komentar