Namun, di kampus, suasana organisasi sangat berbeda. HMI, GMNI, IMM, PII, hingga PMII berlomba merekrut mahasiswa baru. Usai ospek, stand-stand organisasi memenuhi halaman kampus. Rosyadi pun bimbang. Ia menyadari bahwa salah memilih organisasi dapat memutus jenjang kaderisasinya. Sementara di Jawa Timur, kariernya di IPNU sudah mapan dan tinggal selangkah menuju tingkat wilayah.
Teman-temannya menyarankan bergabung ke HMI karena jejaringnya kuat di birokrasi. Tapi Rosyadi telah tumbuh dalam tradisi Aswaja sejak kecil. Akhirnya ia memilih PMII. Ia mengikuti Pelatihan Kader Dasar (PKD) di lereng Gunung Merapi selama tujuh hari. Di sana, ia dibaiat sebagai kader PMII.
Karier organisasinya di kampus menanjak. Ia dipercaya menjadi Ketua DEMA. Namun, dalam struktur PMII, ia hanya pernah menjadi anggota rayon. Di sisi lain, Rosyadi tetap aktif sebagai tokoh IPNU di kampung. Setiap pulang, ia diundang mengisi forum pelajar MA dan MTs, walau tak lagi tercatat sebagai pengurus IPNU cabang.
Posisinya pun menjadi tanggung. Ia berdiri di dua kaki: IPNU dan PMII. Satu rumah, satu ideologi, tapi warna organisasinya berbeda. Temannya pernah berkata bahwa konflik IPNU dan PMII di Jawa Timur makin liar—dari perebutan jabatan di kampus hingga tarik-menarik pengaruh di tubuh NU. PMII dicap sebagai organisasi mahasiswa yang politis, sementara IPNU dianggap sebagai pelajar penjaga tradisi Aswaja.
Bagi Rosyadi, ironis. Semakin banyak banom NU, semakin besar potensi konflik internal. Padahal kaderisasi NU idealnya berjalan runtut: IPNU, lalu PMII, dilanjutkan GP Ansor, dan akhirnya NU. Kenyataannya tak sesederhana itu.
Rivalitas sebagai Kontestasi Simbolik
Alih-alih kaderisasi berjalan utuh, yang muncul justru persaingan antarbanom NU. Rivalitas IPNU dan PMII tidak hanya soal perebutan kader, melainkan menyentuh makna menjadi warga NU yang sah.Dalam perspektif Clifford Geertz, simbol memiliki peran sentral dalam membentuk tindakan sosial. IPNU mengusung simbol kesalehan tradisional: pakaian putih, pesantren, barzanji, dan rutinitas santri. PMII membawa simbol modernitas: diskusi kampus, teori sosial dan identik dengan demonstrasi.
Keduanya berdiri di atas fondasi Aswaja dan NU, namun konteks sosial yang berbeda—pelajar dan mahasiswa, pesantren dan kampus—membentuk makna yang bisa saling bertabrakan. Budaya, dalam pandangan Geertz, adalah sistem simbol yang memberi makna pada tindakan manusia. Maka, IPNU dan PMII dapat dipahami sebagai dua sistem simbol dalam kultur besar NU.
IPNU lahir dari atmosfer pesantren—tertib, patuh, dan berorientasi pada kesalehan tradisional. PMII tumbuh dalam atmosfer kampus—kritis, rasional, dan berwawasan kebangsaan. Simbol yang dibawa berbeda, sehingga cara memaknai NU juga berbeda.
IPNU melihat NU sebagai warisan yang harus dijaga dari perubahan cepat. PMII memandang NU sebagai tradisi hidup yang harus ditafsir ulang sesuai zaman. Rivalitas muncul saat keduanya saling memperebutkan otoritas makna: siapa yang paling sah membawa wajah NU?
Dalam kerangka Geertz, ini adalah perebutan definisi sah atas realitas. Bukan soal akidah, tapi soal siapa yang berhak menafsirkan dan merepresentasikan NU. Ironisnya, karena berangkat dari nilai yang sama, konflik simbolik ini justru lebih tajam. Ini yang disebut Geertz sebagai "internal cultural struggle"—konflik dalam satu rumah simbolik.
Organisasi sebagai Arena Kekuasaan
Penjelasan ini juga bisa diperkaya dengan pendekatan antropologi politik ala Max Gluckman dan Fredrik Barth. Bagi mereka, organisasi sosial tak pernah netral. Ia adalah arena perebutan kekuasaan dan legitimasi.Dalam konteks NU, IPNU dan PMII bukan bertengkar soal ajaran. Keduanya berhaluan Aswaja. Tapi mereka bersaing di ranah simbolik dan politik: siapa yang paling pantas bicara atas nama NU? Siapa yang dipercaya elite? Siapa yang dapat akses ke sumber daya?
Banom NU menjadi arena konflik mikro—di mana perebutan kekuasaan terjadi di level lokal tapi berdampak luas. Seperti kata Barth, identitas kelompok bersifat negosiatif, tergantung siapa yang mengakses sumber daya simbolik dan politik. PMII sering dianggap lebih modern karena dianggap lebih modern karena membawa semangat intelektualisme kampus, wacana kritis, sedangkan IPNU dianggap lebih murni karena menjaga tradisi, karena dianggap lebih murni karena menjaga tradisi keislaman ala pesantren dan kultur NU, Tapi dalam praktiknya, keduanya bersaing di ruang yang sama. NU seolah menjadi "negara kecil", dan banom adalah "partai politiknya."
Mendesain Ulang Relasi Banom
Daripada terus saling meributkan rivalitas kedua organisasi, NU seharusnya perlu mendesain ulang relasi antarbanom. Bukan untuk menyeragamkan simbol, tapi memperkuat harmoni dalam keberagaman tafsir ke-NU-an.Sinergi tidak lahir dari slogan normatif, tapi dari rekayasa struktural dan kultural yang menyentuh akar masalah. NU perlu membuka ruang dialog antarbanom secara berkala. Forum ini bisa menjadi tempat bertukar tafsir, membangun empati, dan merumuskan agenda bersama.
Lebih jauh, penting juga mengembangkan kurikulum kaderisasi lintas banom. Seorang kader IPNU bisa mengenal tradisi intelektual PMII, dan sebaliknya. Dengan begitu, kader tidak merasa eksklusif, tapi menjadi bagian dari sistem NU yang saling terhubung.
Para elite NU, baik di pusat maupun daerah, harus menjadi jembatan. Bukan memperuncing rivalitas dengan intervensi yang tak adil. Kepemimpinan NU harus mencerminkan keadilan simbolik—di mana setiap banom diberi ruang tumbuh sesuai konteksnya.
Masa depan NU sangat ditentukan oleh cara mendampingi generasi mudanya—pelajar dan mahasiswa. Bukan diperebutkan, tapi dibimbing. Karena kader hari ini adalah pemimpin esok hari. Jalan terbaik bukan mendikte arah, tapi membuka jalan.
Dengan begitu, rivalitas antarbanom tidak lagi menjadi luka dalam tubuh NU, tetapi energi dinamis yang memperkaya tafsir ke-NU-an. Menghidupkan Aswaja dalam wajah yang selalu relevan di setiap zaman.
Pertanyaannya kini, bagaimana NU dapat terus merawat perbedaan sebagai sumber kekuatan bersama, bukan sumber jarak yang melemahkan?
Jawabannya terletak pada keberanian untuk membangun budaya organisasi yang inklusif dan visioner. NU tidak cukup hanya mengandalkan khazanah tradisi, tetapi juga perlu memperkuat tata kelola kelembagaan yang adaptif terhadap perubahan zaman.
Oleh: Kang Atho’ilah Najamudin (Antropolog, sekaligus Dosen Universitas Islam Ibrahimy, Banyuwangi)
Posting Komentar