Dalam tradisi pemikiran Islam klasik, Al-Ghazali dalam filsafat pendidikannya menekankan bahwa tujuan utama pendidikan adalah penyucian jiwa dan penyempurnaan akhlak. Pendidikan tidak hanya bertujuan mencetak manusia cerdas, tetapi juga membimbing manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui pengembangan akhlak dan ilmu.
Namun hari ini, mahasiswa sebagai kelompok intelektual muda yang seharusnya menjadi sebuah pionir perubahan, justru terjebak pada belenggu sistem pendidikan. Mereka memikul ambisi keluarga dan lingkungan, ditambah tekanan akademik yang bertumpuk dalam dunia kampusnya. Tekanan ini bukan hanya berdampak pada pencapaian akademik, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental yang tergerus, motivasi intrinsik, bahkan sampai pada kehilangan jati diri.
Berangkat dari realitas inilah, penting untuk mengkaji perihal belenggu pendidikan yang menggerus potensi, dan warisan ambisi tanpa ruang dialog yang memperparah derita mahasiswa. Dengan merujuk pada buku "Psikologi Belajar" dari Dr. Afi Parnawi dan "Teori Praktik Pendidikan" dari Robert E slavin, tulisan ini akan membedah persoalan yang melilit pendidikan di Indonesia, serta menawarkan alternatif pembebasan yang manusiawi.
Antara Cinta dan Tekanan
Pendidikan seharusnya lahir dari cinta: cinta pada ilmu pengetahuan, proses pertumbuhan, dan perbedaan tiap individu yang memiliki keunikan masing-masing. Hal ini berbanding terbalik dengan pendidikan di Indonesia, cinta itu berubah menjadi sebuah beban yang menekan. Alih-alih membimbing untuk menumbuhkan kasih dan pemahaman, justru pendidikan kini lebih berorientasi pada angka, peringkat dan prestasi instan sebagai indikator kesuksesan.Menurut psikologi belajar karya Dr. Afi Parnawi, proses belajar yang sehat seharusnya memunculkan perubahan perilaku secara alami bukan tanpa paksaan. Robert E Slavin dalam bukunya "Psikologi pendidikan: Teori dan Praktik", ia menegaskan bahwa motivasi internal dan keamanan emosional adalah fondasi keberhasilan pembelajaran. Sejalan dengan itu, Imam Al Ghazali berpendapat bahwa pendidikan sejati harus menumbuhkan akhlak mulia dan menyucikan jiwa peserta didik, dengan pendekatan yang penuh kasih dan bertahap, bukan dengan kekerasan ataupun pemaksaan.
Sayangnya pendidikan kita terlalu kaku dalam menjalankan sistemnya, sehingga mengakibatkan tekanan yang membunuh rasa keingintahuan, bahkan sampai memunculkan paradigma "belajar adalah beban".
Hereditas: Potensi yang Terbelenggu
Setiap individu lahir dengan berbagai macam latar belakang yang berpotensi membawa hereditas berupa kecerdasan, bakat, dan keunikan. Namun dalam dunia pendidikan kita, potensi tersebut dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan cetakan secara seragam. Sistem yang seragam dan kaku menuntut semua mahasiswa untuk memenuhi standar akademik tertentu, tanpa memperhatikan latarbelakang dan gaya belajar atau kecerdasan majemuk mereka.Slavin menekan pengajaran diferensiatif untuk menyesuaikan pembelajaran dengan kekuatan dan pembelajaran tiap individu, akibatnya para mahasiswa merasa tidak cocok dengan satu definisi kesukaan yang sempit. Potensi kreatif, sosial, atau vokasional seringkali terpinggirkan. Dalam hal inilah yang perlu dikritisi. Pendidikan di Indonesia lebih sibuk menyeragamkan daripada membebaskan potensi.
Krisis mental Siswa dan Mahasiswa
Tekanan yang muncul dari berbagai aspek dan tekanan akademik yang kronis telah memicu kesehatan krisis mental di kalangan siswa dan mahasiswa. Dalam psikologi belajar dari Afi Parnawi, menyoroti bahwa banyak kesulitan belajar diakibatkan oleh kesetresan, kecemasan, dan tekanan sosial. Slavin juga menegaskan bahwa lingkungan belajar yang aman dan nyaman secara emosional dapat mengoptimalkan proses belajarNamun, realita di lapangan menunjukkan bahwa angka stres akademik, burnout masalah, rasa rendah diri dan alienasi dari dunia belajar, masih sangat tinggi. Mahasiswa terjepit diantara ambisi yang diwariskan dan pendidikan yang membelenggu. Dua tekanan itulah yang menggerogoti semangat belajar dan kemerdekaan berpikir mereka.
Pendidikan sebagai Pembebasan
Untuk mengatasi belenggu tersebut, Pendidikan Indonesia harus segera melakukan perubahan yang mendasar, yakni Pendidikan yang membebaskan; yang berfokus pada proses, bukan sekedar hasil. Pendidikan yang memberikan ruang untuk eksplorasi, kegagalan dan pertumbuhan. Menghargai setiap individu dengan gaya belajar yang beraneka ragam melalui pendekatan yang memiliki kekuatan dan menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing peserta didik. Membangun motivasi intrinsik dengan menumbuhkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan bukan menumbuhkan rasa takut akan kegagalan. Selain itu pendidikan juga harus mengedepankan kesehatan mental dan menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman.Dalam pandangan Imam Al Ghazali pendidikan tidak hanya untuk mentransfer pengetahuan saja, tetapi juga membentuk akhlak mulia, kesadaran spiritual, dan keutamaan moral, serta mengubah relasi pendidikan dari hubungan berbasis kekuasaan menjadi hubungan yang dilandasi oleh kasih sayang, empati dan pemberdayaan.
Membuka Jalan Menuju Pembebasan
Pendidikan seharusnya menjadi sebuah jalan dalam pembebasan, bukan untuk membelenggu yang menjadi jalan sebuah pembungkamam. Mahasiswa seharusnya dibantu dan diarahkan untuk menemukan siapa dirinya, bukan dijadikan sebagai refleksi dari ambisi orang lain. Sebagaimana prinsip-prinsip psikologi belajar yang mengajarkan bahwa potensi manusia akan berkembang dalam iklim pembebasan, cinta dan penghargaan terhadap keberagaman. Demikian pula menurut Imam Al Ghazali, pendidikan sejati akan membawa manusia pada kebaikan akhlak dan kesempurnaan spiritual, bukan hanya kesuksesan duniawi.Oleh: Akid Waliyudin (Ketua Umum HMPS PGMI - UNIIB)
Referensi:
Dr. Afi Parnawi, M.Pd. (2019). Psikologi Belajar. Depublish (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA).
Robert E Slavin. (2011). Psikologi pendidikan; Teori dan praktik. edisi ke 9 jilid 1. PT Indeks Jakarta.
DR. Rosihon Anwar M.Ag. (2005). Filsafat Pendidikan; Gagasan Konsep Teori dan Filsafat Ghazali. CV Pustaka Setia.
Posting Komentar