Penalaut.com - Aku tak pernah menyangka bahwa di hari yang seharusnya menjadi perayaan bagi para pekerja, aku malah merasakan betapa perlawanan itu menjadi napas yang tak bisa aku lepaskan. Hari Buruh, May Day, bukan sekadar perayaan seperti yang banyak orang pikirkan. Hari itu, bagi kami, adalah panggilan untuk berdiri tegak di tengah ketidakadilan yang semakin menyelubungi kami. Dan aku, aku adalah bagian dari ribuan suara yang tak lagi bisa dibungkam.
Simpang Tugu Yogyakarta—di jantung Kilometer Nol, tempat yang telah menjadi saksi sejarah negeri ini—hari itu dipenuhi dengan hiruk-pikuk yang berbeda dari hari biasanya. Di bawah terik matahari yang menyengat, aku berdiri di tengah ribuan orang, memandang mereka yang membawa spanduk bertuliskan "Stop Militarisasi! Upah Layak untuk Keadilan Sosial!" dan poster-poster bernada kritis terhadap pemerintah. Tidak ada senyum ceria, hanya keteguhan dan semangat yang berkobar dalam setiap langkah mereka.
Aku adalah bagian dari mereka, buruh yang tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY. Kami datang dari berbagai serikat pekerja, seperti DPD KSPSI DIY, DPD SPN DIY, dan FSPM Indonesia. Kami datang untuk menuntut hak kami yang sudah lama terabaikan, dan untuk memastikan bahwa suara kami tidak akan lagi diabaikan begitu saja. Di sini, di Yogyakarta, kami ingin memastikan bahwa May Day bukan sekadar seremonial.
Aku berjalan pelan, mengikuti kerumunan, mendengarkan orasi yang bergema di udara. "Kami menentang segala bentuk represi terhadap buruh, termasuk penggunaan aparat untuk membungkam suara kami!" seru salah satu orator. Suaranya lantang, penuh semangat, dan meskipun terik matahari terasa semakin panas, semangatku justru semakin menyala. Aku tahu, ini bukan hanya tentang upah yang layak. Ini tentang hak-hak kami sebagai manusia, tentang martabat kami yang tak seharusnya diinjak-injak.
Di tengah kerumunan, aku melihat teman-temanku, mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan kampus lainnya. Mereka turut bergabung dalam aksi ini, menolak revisi RUU TNI yang akan memungkinkan militer kembali terlibat dalam urusan sipil. Aku mendengarkan dengan seksama ketika mereka berbicara tentang pentingnya menjaga semangat reformasi 1998, menjaga demokrasi agar tidak dikikis secara perlahan. Mereka juga menyuarakan keprihatinan tentang militerisasi yang semakin merasuk dalam kehidupan sehari-hari.
Kami berteriak, bukan hanya untuk memperjuangkan kesejahteraan, tetapi juga untuk menolak militerisasi yang sedang berkembang. Kami menuntut agar militer tidak dilibatkan dalam proyek-proyek strategis nasional yang akan meminggirkan hak kami untuk berserikat dan melakukan aksi mogok. Di tengah-tengah kami, ada aktivis Front Perjuangan Rakyat (FPR) yang dengan tegas mengatakan, "Militerisasi hanya akan menguntungkan pemodal dan mengancam demokrasi buruh."
Aku merasa ada sesuatu yang besar, sesuatu yang tak terungkapkan dengan kata-kata, mengalir dalam kerumunan itu. Kami adalah rakyat yang terus berjuang, meski sering kali suara kami diabaikan, meski sering kali kami harus melawan arus. Tetapi, kami tak akan menyerah. Aku tak akan menyerah.
Saat itu, aku mendengar suara dari speaker di atas panggung. Salah satu orator membacakan sebuah puisi yang menggugah hati. Puisi itu tentang buruh, tentang ketidakadilan, dan tentang perjuangan yang tak kenal lelah. "Kami tak butuh seremoni, hanya keadilan yang tidak ditunda," katanya dengan lantang. Kata-kata itu mengalir dalam darahku, menggetarkan setiap serat tubuhku. Aku merasa seolah-olah puisi itu diciptakan untuk kami, untuk kami yang terus melawan meskipun segala kekuatan menekan kami.
Sementara itu, beberapa dari kami juga mengangkat poster besar yang bertuliskan:
"QS. Al-Baqarah 279: ...وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ"
“Jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak berbuat zalim dan tidak dizalimi.”
Dan tak ketinggalan, hadis Nabi yang selalu mengingatkan kami akan hak-hak kami:
"أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ"
“Berikan upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
Aku menatap poster itu dengan dalam. Ayat dan hadis ini adalah pengingat bagi kami, bahwa perjuangan kami bukan hanya soal uang, tetapi tentang keadilan yang kami tuntut agar ditegakkan. Kami ingin hidup dengan layak, kami ingin hak-hak kami diakui dan dihargai. Tidak ada yang lebih penting dari itu.
Sementara itu, di tengah semua orasi, puisi, dan poster-poster yang kami bawa, ada juga kenyataan yang menyakitkan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mencatat, dalam setahun terakhir, ada 15 kasus kriminalisasi aktivis buruh di DIY. Kami menyadari bahwa perlawanan kami bukan tanpa risiko. Tetapi, meskipun ancaman itu ada, kami tidak akan mundur. Tidak ada lagi ketakutan. Tidak ada lagi diam.
Sore itu, sekitar pukul 15.00 WIB, setelah kami menyampaikan tuntutan kami kepada perwakilan pemerintah daerah, massa mulai membubarkan diri. Tetapi, koordinator aksi memberi tahu kami, bahwa jika tuntutan kami tidak digubris dalam seminggu, kami akan kembali turun ke jalan. "May Day bukan sekadar seremoni. Ini perjuangan panjang yang tidak akan kami biarkan padam," ujarnya dengan lantang.
Aku merasa, ini bukan akhir dari perjuangan. Ini baru permulaan. Kami akan terus berjuang. Dan aku, aku akan selalu menjadi bagian dari perlawanan ini. Sebab, May Day bukan sekadar perayaan. May Day adalah perjuangan yang tak akan pernah berhenti.
Oleh: Nashrul Mu'minin – Content Writer Yogyakarta
Posting Komentar