Sebelum Kak Nanda terbangun dan mulai merecoki hariku, aku langsung pergi mengintari lingkungan yang sepenuhnya berbedq. 3 minggu liburan sekolah akan aku habiskan di antara orang orang asing dan bangunan tinggi. Tidaklah salah bila dikatakan bahwa jakarta adalah wajah baru kemajuan indonesia. Kereta melayang di atas langit yang awalnya hanya aku lihat di video games kini bener bener aku pandangi dengan mata telanjang. Bahkan, kata Kak Nada, jakarta sudah punya kereta bawah tanah. Lebih lagi, kereta super kencang itu, yang entahlah apa namanya sudah ada di sini dan bisa menempuh jakarta bandung dalam 1jam!
Sudah terlelap berapa lama aku dari peradaban. Tidak pernah aku mencicipi kemajuan. Sejak awal tiba, aku tidak bisa membohongi raut wajah tentang indahnya dan modern-nya kota jakarta. Kota ini adalah antitesa dari daerah tinggalku yang hanya diselimuti hutan.
Aku jalankan sepeda mengintari jalanan komplek. Ruas jalannya besar dan sepi dari jalan kebanyakan lalu di sampingnya rumah-rumah bergaya istana di film klasik menghiasi sekelilingnya. Aku telusuri berbagai sisi hingga keluar dari zona perkomplekan.
Setibanya, di gang sempit yang mentransisikan perkomplekan mewah dan perkampungan, aku terkejut merasakan kekontrasan. Bayanganku tentang keagungan jakarta hampir seluruhnya pudar. Aku mengamati dan menyusuri jalanan sempit tersebut hingga tiba di suatu kali.
Di balik pagar kali berwarna kuning yang telah berkarat, wajah cakap jakarta itu telah kehilangan impresinya di depanku. Tidak indah. Tidak pula modern. Ini adalah simbol keterbelakangan. Air di bawah sana sudah berwarna coklat dan tercium bau bangkai tak sedap. Bahkan, sejauh mata memandang, apa yang terpampang di atas kali hanyalah sampah. Aku terkejut dan tidak bisa bertahan lama kemudian menggowes sepeda menyebrangi kali melalui jembatan untuk mencapai perkampungan di sebrang sana.
Aku mengayuh sepeda menjauhi kali busuk itu. Rasanya, terpatahkan dan terkhianati oleh kota jakarta yang baru saja menyambutku dengan keelokannya. Kini, jakarta seolah menyuruhku atau mungkin mengusirku untuk segera melepas kaki dari tanahnya. Aku jadi rindu tempat asalku.
Kemudian, di tengah perjalanan, aku melihat di depan sana beberapa orang menutupi jalanan. Mereka tampak membawa perlengkapan bersih bersih dan tangannya telah terbalut sarung tangan. Aku mendorong pedal terus hingga berada di antara kerumunan itu. Setibanya di depan mereka, aku tanyakan untuk apa dan apa tujuannya menggunakan perlengkapan tersebut.
"Oh, ini dek, kami mau gotong royong membersihakan kali."
Kali itu dibersihkan?
Aku berubah antusias. Setidaknya sebelum kembali hidup bersama pohon, aku dapat memberikan dampak di bumi jakarta. Kemegahan dan kebesaran jakarta sudah membuat mataku berbintang penuh kagum, tapi adanya hal ini, jakarta tampak pincang.
"Saya mau ikut, Pak! Tapi bukan warga sini gak papa?"
"Boleh, kok, bahkan kami juga bukan warga sini. Kami relawan yang mempunyai tujuan untuk melestarikan lingkungan."
Wah, aku mengucapkan terima kasih sembari jujur dengan wajah dan perasaanku. Ketika aku berada di antara mereka, aku merasa dikelilingi harapan yang akan menghempas anomali kota jakarta! Aku memegang harapan besar di dada setelahnya kali ini akan menjadi sebersih kali di sebrang rumahku di Papua sana. Tak terbayang, betapa heroik mereka. Mereka adalah sosok pahlawan lingkungan begitu pula pahlawan masa depan.
Kemudian, aku ikuti aksi mereka memunguti sampah di setiap bagian kali. Aku memilih masuk ke bagian tengah dan meraba-raba permukaan kali itu perlahan-lahan. Benar saja, banyak sampah plastik bersarang di bawah sana dan menyatu dengan tanah.
Tangan dan kakiku kotor, bajuku basah, dan bau kali itu terus melekat di hidung. Tapi anehnya, aku tidak merasa jijik. Justru ada rasa puas saat berhasil menarik sepotong plastik besar dari dalam lumpur, seolah-olah aku menarik luka lama yang tertanam di tubuh kota ini. Di sekelilingku, suara tawa dan semangat para relawan saling bersahutan, menutupi kebisingan kota yang biasanya mendominasi.
Sesekali, aku memandang ke arah langit yang tertutup awan tipis. Rasanya seperti Jakarta sedang memperhatikan kami—sekelompok kecil manusia yang menolak diam melihatnya terluka. Dan di momen itu, aku percaya bahwa meski kecil, aksi kami berarti. Kali ini mungkin masih kotor, tapi setidaknya hari ini kami telah menggerakkan sesuatu.
Entah itu perubahan, kesadaran, atau hanya harapan kecil yang perlahan tumbuh... aku yakin, semua itu adalah awal. Awal dari Jakarta yang lebih baik.
Kami membubarkan diri saat matahari hampir tenggelam. Sejauh ini, kami bisa mengatakan bahwa kali sudah aman terkendali dari bau busuk dan sampah plasrik. Tapi tentunya, perjalanan panjang masih membentang di muka.
***
Sudah dua minggu aku tinggal di kota ini, menganggumi lalu jatuh terkhianati sebab keagungan di awal hanyalah topeng untuk menutupi wajah asli jakarta. Sejak menapaki dan melihat jakarta tanpa topeng itu, aku merasakan adanya suatu keinginan atau bahkan kewajiban untuk menyembuhkan jakarta.
Sebelum dan saat bergotong royong itu, aku merasakan betapa sesaknya hidung melewati jalanan sekitar kali. Hari ini, setelah dua minggu berlalu, aku dan Kak Nanda berencana untuk kembali menengok kabar dari kali tersebut. Ketika matahari belum menampaki diri, aku sudah berjalan tergopoh-gopoh menuju kamar Kak Nanda sembari berteriak membangunkannya.
"Dik, kamu kenapa?"
Aku tersenyum menampakan gigi, mengacak-ngacak rambut dan memaksa matanya terbuka. Aku buat mata mata Kak Nanda menjadi nyingsing dan begitu sipit.
"Ehh, Dik, kita kan bisa berangkat agak siang. Hari ini aku ngga kerja, kok."
"Sekarang, kak, plis."
Kak Nanda menanggapi dengan senyuman lalu perlahan bangkit menuju kamar mandi. Aku begitu yakin aksi kami menghasilkan dampak dan tentunya kali yang super busuk itu berhasil kami rubah menjadi jauh lebih baik. Apalagi, aku ingat bahwa mereka juga telah melakukan edukasi kepada warga sekitar untuk memahami peran lingkungan sehingga tidak kembali membuang sampah di kali.
Setelah Kak Nanda kembali dari kamar mandi, aku menarik tangan lalu membuka lebar pintu utama rumah. Pandanganku langsung tertuju ke arah jalan yang akan mengantarkan kami ke kali itu. Aku sudah sangat tidak sabar dengan hasil jerih keringat kami sekaligus merasakan gejolak di dada yang terus saja mengatakan bahwa kali tersebut telah berhasil lepas dari kebusukannya.
Kami berjalan kaki membelah komplek hingga sampai perkampungan tempat kali itu berada. Di tengah jalan hendak tiba di kali, aku kembali ingat dengan bau yang sama. Bau busuk yang sempat menjadi musuh hidungku. Aku mempercepat langkah, berharap bau itu hanyalah sisa dari kenangan dan bukan kenyataan yang kembali.
Namun, langkahku perlahan melambat. Kakiku seakan-akan menolak untuk terus maju saat mata mulai menangkap pemandangan yang begitu familiar. Pagar kuning berkarat itu masih berdiri, tapi di baliknya, wajah kali itu... belum banyak berubah.
Sampah kembali menumpuk di permukaan. Beberapa kantong plastik terlihat tersangkut di dahan ranting yang tumbuh di tepi kali. Airnya pun masih berwarna kecoklatan, dan bau itu—bau yang sempat aku pikir sudah dikalahkan—kini menyeruak lebih kuat daripada yang aku bayangkan.
Aku berdiri terpaku. Kak Nanda menepuk bahuku pelan.
“Mungkin warga belum terbiasa menjaga lingkungan, Dik,” ucapnya lirih.
“Perubahan butuh waktu. Apalagi di kota besar seperti ini.”
Aku menarik napas panjang, mencoba menelan kenyataan. Sejenak, rasanya sia-sia. Dua minggu lalu aku begitu yakin kami telah menciptakan perubahan. Aku bahkan sempat merasa telah menjadi bagian dari sesuatu yang besar.
Namun kini aku sadar, perubahan tidak selalu datang dalam sekali langkah. Bahkan, mungkin bukan dalam satu musim liburan. Tapi bukan berarti usahaku tidak berarti.
Aku menoleh ke arah Kak Nanda dan tersenyum kecil.
“Kalau gitu, kita bersih-bersih lagi, yuk.”
Mata Kak Nanda membulat. “Sekarang?”
Aku mengangguk mantap. “Kalau nunggu orang lain sadar duluan, kali ini keburu jadi tanah.”
Kami tertawa kecil, lalu berjalan menuju lokasi tempat kami dulu berdiri bersama para relawan. Entah siapa yang akan datang kali ini. Tapi aku tidak peduli. Selama aku masih punya dua tangan dan harapan, aku akan terus berusaha menjaga satu bagian kecil Jakarta ini. Meski hanya sebuah kali, meski hanya sedikit lebih bersih dari kemarin.
Karena bagiku, cinta pada kota bukan berarti memujanya terus-menerus, melainkan menyelamatkannya. Lagi dan lagi.
Oleh: Muhamad Anugrah Putra
Oleh: Muhamad Anugrah Putra
Posting Komentar