BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Gadget di Tangan Anak, Siapa yang Salah? Refleksi dari Generasi Swipe

Penalaut.com
- Di era digital saat ini, pemandangan anak-anak yang sibuk menatap layar gadget sudah menjadi hal yang lazim, bahkan di ruang-ruang publik yang seharusnya menjadi ajang interaksi sosial. Anak-anak usia dini kini lebih akrab dengan suara jingle YouTube daripada suara orangtuanya saat membacakan dongeng sebelum tidur. Mereka lebih cekatan melakukan swipe layar daripada membalik halaman buku. Pertanyaannya kemudian, ketika anak lebih mengenal karakter kartun dari kanal streaming dibanding cerita para nabi atau pahlawan nasional, siapa yang patut disalahkan?

Banyak orang tua merasa bangga ketika anaknya “anteng” dengan tablet di tangan. Mereka menganggap itu sebagai tanda bahwa anaknya cerdas dan mengikuti perkembangan zaman. Padahal, dalam diam itulah anak mulai mengalami ketergantungan pada teknologi, kehilangan waktu berkualitas bersama keluarga, dan terputus dari akar nilai-nilai luhur yang semestinya ditanam sejak dini. Ketika layar menggantikan suara ibu, dan tontonan menggantikan tuntunan, maka kita sedang menciptakan generasi yang fasih dalam teknologi, tapi kering dalam adab dan empati.

Fenomena ini tidak hanya soal pilihan teknologi, tetapi juga refleksi dari krisis pengasuhan. Gawai, dalam banyak kasus, menjadi baby sitter digital karena orang tua tidak memiliki cukup waktu, energi, atau pengetahuan untuk menghadirkan alternatif yang lebih bermakna. Terlebih lagi, dalam tekanan ekonomi dan sosial, banyak keluarga akhirnya menyerah pada kenyamanan instan yang ditawarkan oleh gadget.

Dalam konteks ini, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang memadukan nilai keagamaan dan kemajuan zaman, memegang peran penting sebagai penuntun masyarakat. Sejak berdirinya, Muhammadiyah telah menunjukkan komitmen besar terhadap pendidikan anak melalui pendirian taman kanak-kanak ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (ABA), sekolah-sekolah dasar, hingga perguruan tinggi. Namun tantangan zaman kini bukan hanya sekadar menyediakan ruang pendidikan formal, melainkan membangun ekosistem keluarga yang sadar teknologi sekaligus berorientasi pada nilai-nilai tauhid dan akhlak.

Muhammadiyah tidak menolak teknologi. Sebaliknya, Muhammadiyah senantiasa berada di garda depan dalam pemanfaatan teknologi untuk dakwah, pendidikan, dan pelayanan sosial. Akan tetapi, pemanfaatan teknologi harus diiringi dengan pemahaman maqashid syariah, agar kemaslahatan dapat diraih dan kerusakan dapat dihindari. Dalam hal ini, peran orang tua Muhammadiyah, guru Muhammadiyah, dan aktivis dakwah digital menjadi penting untuk membimbing anak-anak agar tidak terseret arus konten digital yang bersifat konsumtif, hedonistik, bahkan destruktif.

Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Tahrim ayat 6:

"يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا..."

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...”

Ayat ini bukan hanya ajakan untuk menjaga keselamatan keluarga secara spiritual, tetapi juga seruan untuk menjaga mereka dari pengaruh lingkungan yang membahayakan jiwa dan moral, termasuk dari konten digital yang merusak. Maka, refleksi bagi para orang tua adalah: apakah kita benar-benar sedang menjaga anak-anak kita? Ataukah kita tanpa sadar sedang menjerumuskan mereka ke dalam dunia tanpa batas, di mana nilai dan norma menjadi kabur?

Di sinilah letak pentingnya gerakan penguatan literasi digital dalam keluarga Muhammadiyah. Kita tidak bisa serta-merta menyalahkan teknologi, karena teknologi bersifat netral—ia hanya alat. Yang patut disorot adalah ketidaksiapan orang tua dan lembaga dalam membimbing penggunaannya. Ketika orang tua tidak mengenal dunia digital anaknya, maka jurang komunikasi akan makin lebar. Ketika sekolah hanya fokus pada capaian akademik tanpa memperhatikan etika digital, maka pendidikan hanya menjadi tempurung sempit yang gagal menjangkau dunia nyata anak.

Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern harus terus mendorong pelatihan parenting digital, membangun platform konten islami yang menarik bagi anak-anak, serta menggencarkan dakwah keluarga yang kontekstual dengan tantangan abad ke-21. Tidak cukup hanya mengadakan pengajian di masjid, tetapi juga menghadirkan edukasi dalam bentuk video animasi islami, game edukatif, dan komunitas literasi keluarga.

Anak-anak Muhammadiyah hari ini adalah pemimpin Indonesia masa depan. Mereka harus memiliki fondasi iman yang kuat, kecakapan teknologi yang mumpuni, dan sensitivitas sosial yang tinggi. Jangan biarkan mereka tumbuh sebagai generasi pasif yang hanya konsumtif terhadap konten, tetapi ciptakan mereka sebagai kreator, pemikir, dan da’i digital yang mampu menebar nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin melalui dunia maya.

Akhirnya, kembali pada pertanyaan awal: gadget di tangan anak, siapa yang salah? Jawabannya bukan pada benda mati bernama gawai, tetapi pada manusia dewasa yang lalai membimbing. Maka, mari kita rebut kembali peran orang tua sebagai pendidik pertama dan utama. Mari kita hidupkan kembali budaya membaca, berdialog, dan berpelukan hangat bersama anak-anak. Sebab, sebelum tangan mereka akrab dengan swipe, biarlah hati mereka lebih dulu akrab dengan cinta, akhlak, dan tauhid.

"Barang siapa yang mengajarkan anaknya Al-Qur’an, maka Allah akan memakaikan mahkota kemuliaan kepadanya di akhirat." (HR. Abu Daud)

Gadget bukanlah musuh, tapi juga bukan pengganti orang tua. Ia adalah alat yang perlu diarahkan. Maka, dalam semangat tajdid Muhammadiyah, mari kita bangun peradaban digital yang berkeadaban—dimulai dari rumah kita sendiri.


Oleh: Nashrul Mu’minin – Content Writer, Yogyakarta
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak