BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Apakah Benar Filsafat Islam dari Yunani?


Penalaut.com - Sampai saat ini studi tentang filsafat tidak pernah benar-benar selesai dibahas. Ia akan selalu menjadi pembahasan yang menarik, dan terus menemukan relevansinya di tengah persoalan yang dihadapi manusia. Seolah-olah filsafat adalah peranti yang selama ini dibutuhkan manusia untuk menopang kehidupan mereka di dunia.

Filsafat seperti sebuah bahan bakar yang menggerakkan peradaban manusia, dari zaman batu ke zaman yang serba digital, dari kegelapan hingga pencerahan, dan dari zaman jahiliyah hingga zaman yang terang benderang. Selain itu, filsafat juga menjadi pendorong perkembangan agama-agama di dunia, khususnya Islam.

Dalam khazanah Islam, kita tidak mungkin mengesampingkan peran filsafat dalam membentuk cara berpikir (way of thingking) dan pandangan hidup (way of life) umat Islam. Bahkan, menurut Murtadha Muthahhari dalam Keadilan Ilahi (2009), filsafat memberi banyak sekali jawaban-jawaban yang lebih komprehensif dan meyakinkan bagi persoalan teologis (kalam) Islam. Hanya saja, sejauh ini, filsafat Islam masih dipahami sebagai kelanjutan dari filsafat Yunani Kuno. Dengan kata lain, filsafat Islam adalah “contekan” atau “tiruan” dari filsafat Barat klasik.

Lantas, apakah benar filsafat yang berkembang dalam pemikiran Islam merupakan tiruan dari Yunani Kuno/Klasik?

Filsafat Arab atau Filsafat Islam?

Islam memosisikan akal manusia dalam posisi yang istimewa. Karena akal itulah, manusia umum dikenal al-Hayawan an-Natiq (hewan berpikir). Dalam Islamic Philosophy form its Origin to the Present (2006), Seyyed Hossein Nasr mengatakan, bahwa para filsuf Muslim klasik kerap menggunakan istilah “falsafah” (al-falsafah) dan “hikmah” (al-hikmah al-ilahiyyah) daripada filsafat (philosophy) sebagaimana filsuf Yunani klasik.

Berkenaan dengan filsafat dalam dunia Islam, para ahli masih belum menemukan kesepakatan mengenai istilah yang tepat untuk menyebut pemikiran filsafat yang dikembangkan oleh filsuf Muslim. Misalnya, sebagian dari sarjana Barat (orientalis) ada yang menyebut “filsafat Arab” (arabic philosophy). Mereka yang menggunakan istilah itu ialah Ernest Renan, Dimitri Gutas, dan Peter Adamson.

Selain itu, ada yang menyebut “filsafat Islam” (islamic philosophy). Istilah ini digunakan oleh banyak sarjana, antara lain: W. Montgomery Watt, Richard Walzer, Michael E. Marmura, George F. Hourani, Oliver Leaman, Samuel Stren, Seyyed Hossein Nasr, dan seterusnya. Dalam kajian yang dilakukan Max Horten dan T.J de Boer, juga disebut “filsafat dalam Islam” (philosophy in Islam). Lebih jauh, ada yang menggunakan istilah “filsafat Muslim” (muslim philosophy) dan “filsafat ilmu kalam” (philosophy of the kalam).

Dalam rangka melerai perdebatan itu, menurut Oliver Leaman, istilah yang tepat ialah “filsafat Islam”. Dalam History of Islamic Philosphy (2001), ia manyatakan bahwa filsafat Islam merupakan istilah yang dihasilkan masyarakat dalam bingkai tradisi dan konteks peradaban Islam, terlepas mereka yang memiliki kontribusi dalam pemikiran filosofis tersebut dari keturunan Arab atau non-Arab, Muslim atau non-Muslim, menggunakan bahasa Arab atau bukan, dan seterusnya.

Filsafat Islam, lanjut Leaman, berusaha menyelaraskan ajaran wahyu dengan tuntutan akal. Berbagai objek yang ditelaah filsuf Muslim (meski sama sekali bukan persoalan baru) itu menggunakan perspektif Islam (wahyu dan akal). Dengan demikian filsafat Islam bisa dimaknai sebagai cara (metode) untuk memahami segala sesuatu, baik yang bersifat material maupun spiritual, dengan bertolak dari ajaran agama Islam.

Cara yang dimaksud ialah menggunakan penalaran rasional-filosofis. Jadi, filsafat Islam adalah salah satu ilmu yang membahas tentang berbagai persoalan, seperti teoologi, alam semesta, manusia, hukum, dan seterusnya, dengan pendekatan-pendekatan rasional-filosofis yang juga diselaraskan pada wahyu.

Aliran-aliran Utama dan Metode

Kajian seputar filsafat Islam tidak dapat dipandang utuh atau tunggal. Ia akan selalu menemukan beragam pembacaan yang berbeda-beda. Dalam perkembangannya, filsafat Islam memiliki beberapa aliran. Dalam Buku Saku Filsafat Islam (2005), Haidar Bagir menyebutkan setidaknya ada lima aliran yang berkembang dalam filsafat Islam di masa-masa awal, antara lain:

Pertama, Teologi Dialektik (‘Ilm al-Kalam). Umumnya, metode keilmuan yang digunakan dalam aliran ini ialah model penalaran deduksi. Metode deduksi adalah prosedur untuk menghasilkan kesimpulan dari menyandingkan dua premis (pernyataan) yang telah disepakati lebih dulu kebenarannya. Namun, kebenaran yang dimaksud, lebih kepada “kebenaran” keagamaan (Islam).

Kedua, Paripatetisme (Masya'iyyah). Dalam aliran ini, metode yang digunakan mirip dengan aliran yang pertama, yakni deduksi (silogisme). Menurut logika Aristoteles, dalam menarik kesimpulan, harus ada dua premis: 1) premis mayor (umum); (2) premis minor (khusus). Namun, perbedaan metode yang digunakan aliran Paripatetisme dengan Teologi Dialektik, ialah pada kebenaran premis. Dalam aliran ini, kebenaran premis yang dipakai lebih kepada kebenaran yang tidak lagi dipersoalkan (primary truth).

Ketiga, Iluminisme (Isyraqiyyah). Metode yang digunakan dalam aliran ini ialah metode intuitif. Secara sederhana, intuisi dijadikan alat untuk mendapatkan kesimpulan. Menurut aliran ini, pengetahuan yang didapatkan tidak menggunakan penalaran deduktif atau induktif, melainkan melalui “intuisi”. Setelah mendapatkan pengetahuan dari intuisi, maka kemudian mencari bukti-bukti tentang pengetahuan tersebut. Demikian dalam pandangan Suhrawardi.

Keempat, Sufisme (Tasawuf atau ‘Irfan). Aliran ini juga menggunakan metode epistemologi yang sama dengan Iluminisme, yakni intuisi (irfani). Ia menggunakan pengalaman langsung dan intuisi dalam mencari pengetahuan. Umumnya, metode yang digunakan oleh para sufi ialah melalui pengalaman batin. Dan metode ini membantu mereka untuk memperdalam pemahaman spiritual serta mendekatkan diri kepada Tuhan.

Kelima, Filsafat Hikmah (al-Hikmah al-Muta’aliyah). Aliran ini dikembangkan oleh salah seorang filsuf Muslim, Mulla Sadra. Epistemologi aliran ini berusaha menggabungkan antara tiga sumber: akal, wahyu, dan pengalaman intuitif. Dengan kata lain, ia hendak menyelaraskan berbagai epistemologi yang telah dikemukakan sebelumnya dengan nilai-nilai spiritual dan kebenaran agama yang ditopang pengalaman intuitif.

Apakah Benar Filsafat Islam dari Yunani?

Dalam An Introduction to Classical Islamic Philosophy (2004), Oliver Leaman mengemukakan dua jawaban pokok mengenai pertanyaan: mengapa filsuf Muslim tidak menggunakan atau menerima (semua) filsafat Yunani untuk memahami masalah-masalah yang muncul dalam penafsiran Islam, kendati rasionalitas dijunjung tinggi oleh mereka? Pertama, karena teori bahasa dan yurisprudensi dalam khazanah pemikiran Islam sudah berkembang dengan baik. Kedua, kesimpulan yang dihasilkan oleh penalaran demonstratif-filosofis (Yunani/Barat) kerap bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, terutama Al-Qur’an dan Hadist.

Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan mengenai filsafat Islam adalah “jiplakan” dari Yunani Klasik, kita dapat merujuk pada buku Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer (2016) karya Ahmad Khudori Soleh. Menurutnya, meski filsafat Yunani mendorong pemikiran filosofis Islam, bukan berarti filsafat Islam itu berasal atau nukilan langsung dari filsafat Aristoteles atau Neo-Platonisme sebagaimana yang dituduhkan orientalis seperti Ernest Renan dan Pierre Duhem.

Terdapat tiga argumen untuk membuktikan hal ini:

Pertama, belajar atau berguru tidak berarti hanya “meniru” belaka. Perlu dipahami, bahwa sebuah ide dapat dibahas oleh banyak orang dan akan memunculkan beragam kesimpulan. Misalnya, Aristoteles mempunyai pandangan sendiri ketika menerima pemikiran gurunya, Plato. Baruch Spinoza adalah murid Rene Descartes (Bapak Modernisme), namun Spinoza jelas memiliki pemikiran yang berdiri sendiri dan berbeda dengan Descartes.

Hal serupa juga dialami filsuf Islam seperti al-Farabi. Meski ia membaca dan dipengaruhi pemikiran filsafat Yunani, akan tetapi ia memiliki pandangan sendiri yang khas. Atau, yang lebih kentara ialah Ibn Rusyd, di mana pemikirannya dipengaruhi oleh karya-karya Aristoteles, namun bukan berarti ia tidak memiliki pemikirannya sendiri.

Kedua, setiap ide dan gagasan adalah hasil dari proses komunikasi antara seseorang dengan kondisi sosial-nya. Maksudnya, sebuah ide, gagasan, atau pengetahuan tertentu tidak mungkin tercerabut dari akar sosio-historis dan lingkungan di mana gagasan itu muncul. Oleh karena itu, dua pemikiran yang lahir dari dua kebudayaan akan berbeda satu sama lain. Maka jelas, filsuf Yunani dan Muslim akan membuahkan hasil pemikiran yang tidak sama.

Proses transmisi filsafat Yunani ke Arab-Islam, dengan demikian, adalah proses yang panjang dan kompleks. Filsafat yang berasal dari Yunani, ketika dipelajari oleh cendekiawan Muslim, tidak lagi “murni”. Mereka akan dibaca oleh filsuf Muslim yang menggunakan pendekatan teologis, sesuai dengan konteks sosial, dan selalu membaca dengan perspektif Islam. Aktivitas penerjemahan buku-buku filsafat Yunani tidak mungkin dipahami sebagai proses penerjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa Arab yang bebas dari interpretasi. Artinya, situasi “di luar” teks harus dipertimbangkan ketika memahami penerjemahan karya-karya filsafat tersebut.

Sehingga, para filsuf Muslim sejak al-Kindi hingga Suhrawardi, tidak mungkin sepenuhnya dipahami tanpa merujuk kepada situasi-situasi kultural yang memberikan gambaran tentang arah dan karakter karya mereka.

Ketiga, pemikiran rasional telah berkembang dalam peradaban Islam sebelum kedatangan filsafat Yunani. Kita tahu, penerjemahan karya-karya Yunani itu ketika masa kekuasaan Bani Umaiyyah (661-750 M) oleh Ja’far Ibn Yahya al-Barmaki. Akan tetapi, teks-teks filsafat Yunani baru mulai diterjemahkan di masa Dinasti Abbasiyyah (750-1258 M), utamanya di bawah Khalifah al-Makmun (811-833 M). Penerjemah teks-teks filsafat itu adalah Yuhana Ibn Musyawaih dan Hunain Ibn Ishaq.

Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, seperti di bidang fikih dan kalam. Dalam teologi (kalam), doktrin Mu’tazilah yang dibangun oleh Wasil Ibn Atha’ (699-748 M) mendominasi dalam masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi dan berkembang dalam berbagai cabang pemikiran. Demikian juga dalam bidang fikih. Nalar rasional dalam penggalian hukum telah lazim digunakan oleh ulama-ulama fikih kala itu.

Dari argumentasi di atas, kita dapat memahami, bahwa sebelum masyarakat Islam kedatangan filsafat Yunani yang dikenal dengan metode-metode rasional-filosofis, mereka sudah lebih dulu mengembangkan model pemikiran filosofis dalam wilayah teologis dan studi hukum (fikih).

Sehingga, dapat disimpulkan: pemikiran rasional dari teologi dan fikih inilah yang menjadi alasan mengapa kemudian masyarakat Islam menerima logika dan filsafat Yunani dalam tradisi pemikiran mereka. Dan secara jelas kita dapat mengatakan, bahwa filsafat Islam itu bukan “jiplakan” dari filsafat Yunani Klasik.

Sumber

Bagir, Haidar. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2005

Leaman, Oliver. An Introduction to Classical Islamic Philosophy. United Kingdom: Cambridge University Press, 2004

Leaman, Oliver & Seyyed Hossein Nasr (ed.). History of Islamic Philosophy. New York: Routledge, 2001

Muthahhari, Murtadha. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan-Dunia Islam. Bandung: Mizan, 2009

Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Philosophy From Its Origin to The Present. New York: State University of New York Press, 2006

Soleh, A. Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak