BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Di Antara Reruntuhan Nilai: Mencari Übermensch dalam Kabut Demokrasi Indonesia

Penalaut.com
- Di atas reruntuhan nilai-nilai yang dahulu sakral, kini berdiri istana kekuasaan yang dibangun dari citra dan retorika. Di jalanan, rakyat masih bersorak, bukan karena telah merdeka, melainkan karena mereka diajari untuk bersorak bahkan saat dijadikan budak. Inilah demokrasi kita. Panggung sandiwara yang aktor utamanya tidak lagi memimpin, melainkan memanipulasi. Tidak lagi menunjukkan arah, melainkan menjual ilusi akan arah.

Übermensch, kata Zarathustra, bukanlah manusia yang menunggu perintah dari Tuhan, partai, atau pasar. Ia mencipta nilai, bukan menghafalnya. Ia menanggung derita dunia, bukan berlindung di balik protokol dan pengawal. Tapi lihatlah negeri ini, berapa banyak yang mengaku pemimpin, namun tak berani menolak norma lama? Berapa banyak yang berbicara tentang reformasi, namun berlutut pada oligarki?

Mereka bukan Übermensch, melainkan penguasa palsu, yang memoles dirinya dengan narasi keunggulan, tetapi dalam dirinya hanya terdapat kehampaan yang gemar mengutip. Yang menumpuk gelar, tetapi takut berpikir. Yang mencuri makna dari kitab orang lain, tapi tak berani menulis tafsir sendiri.

Nietzsche menggugat para nabi palsu. Mereka yang memakai jubah keagungan tapi tak punya isi. Indonesia mengenal banyak tokoh semacam ini, wajah mereka terpampang di baliho, nama mereka diucap sebagai mantera pemilu, namun di dada mereka tidak berdenyut api pembebasan. Mereka adalah arsitek tata dunia palsu, yang membangun rumah demokrasi dari ilusi, dan menambalnya dengan konsultan pencitraan.

Kebebasan, Pemberontakan, dan Politik Simbolik

Di negeri ini, kebebasan dikurung dalam pagar etika publik yang dibentuk oleh algoritma dan popularitas. Siapa yang berkata jujur, ia dibungkam. Siapa yang menggugat moral palsu, ia dianggap sesat. Lalu, bagaimana manusia unggul bisa lahir dari rahim ketakutan?

Nietzsche berkata, “Kau harus punya kekacauan dalam dirimu untuk melahirkan bintang yang menari.” Tapi masyarakat kita fobia terhadap kekacauan, takut akan kritik, muak pada paradoks. Mereka ingin keteraturan, meski lahir dari represi. Mereka mencintai damai, meski itu artinya diam.

Kita butuh pemberontakan, bukan dalam bentuk kerusuhan jalanan, tetapi dalam keberanian berpikir sendiri. Dalam puisi yang menusuk, dalam novel yang mengutuk sistem, dalam teater yang mengejek sang raja. Kita butuh sastra sebagai tombak, bukan sebagai selimut.

Di sinilah kita mengenang Wiji Thukul. Penyair jalanan yang tak hanya menulis puisi, tapi menghunuskannya pada kekuasaan. "Hanya satu kata: lawan!" begitu teriaknya. Bukan sekadar slogan, melainkan nyala kesadaran. Ia adalah cermin kecil dari Übermensch yang menolak diam, meski diburu, meski dihilangkan. Ia menolak tunduk pada ketakutan kolektif. Ia tidak meminjam suara rakyat tapi ia menjadi suara itu sendiri.

Namun kini, politik pun telah menjadi puisi buruk. Simbol-simbol dipertontonkan, blusukan, tangisan pura-pura, narasi keluarga sederhana. Semua dikurasi oleh agensi, dijahit oleh buzzer, dan disambut tepuk tangan massa yang lapar tontonan. Tak ada kebenaran, hanya persepsi. Tak ada nilai, hanya kemasan.

Maka, jika seseorang hendak menjadi Übermensch, ia harus menolak menjadi simbol. Ia harus meledakkan makna, bukan mempermanisnya. Ia harus rela disalib oleh zaman demi menyalakan terang yang akan menyinari masa depan.

Menyalakan Api Nilai di Tengah Kegelapan Sistem

Kata Zarathustra, "Aku mencintai dia yang hidup demi kehancurannya, sebab ia akan menyeberangi lautan kelam dan menemukan dirinya di seberang." Maka siapa di antara kita yang mau terbakar agar terang muncul?

Indonesia bukan kekurangan cendekiawan, tetapi kekurangan pengembara nilai. Kita memiliki banyak guru yang pandai menafsirkan, tetapi sedikit yang berani menciptakan tafsir baru. Kita memiliki banyak orator, tetapi sedikit penyair keberanian. Kita memiliki banyak pemimpin, tetapi hampir tak satu pun pendobrak nilai.

Soe Hok Gie adalah satu dari sedikit pengecualian. Ia muda, ia jujur, dan ia memilih untuk tidak berkompromi. Ia tidak menulis untuk tenar, tapi untuk menusuk. Ia menolak bergabung dengan partai, bukan karena apatis, tapi karena paham bahwa kebebasan berpikir lebih mulia daripada kursi kekuasaan. "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan," tulisnya dalam sebuah kalimat yang menyayat, tapi juga membebaskan.

Menjadi Übermensch di negeri ini berarti menolak untuk selamat. Ia adalah sang musafir yang berjalan sendirian melintasi sistem yang beku, meludahi moral lama dengan karya, dan menanamkan benih nilai baru dalam tanah yang kering oleh kompromi.

Ia tak akan dielu-elukan, karena ia datang bukan untuk menyenangkan. Ia hadir membawa pisau kritik, bukan bunga janji. Ia tidak menyesuaikan diri dengan rakyat, tetapi mengajak rakyat melampaui dirinya sendiri.

Di masa yang lebih matang, kita mengenal Gus Dur yang dengan jenaka memporak-porandakan tabu, menggugat moralitas palsu, dan membela minoritas tanpa pamrih. Ia bukan malaikat, bukan dewa. Tapi dalam dirinya, ada nyala pemberontakan yang lembut namun dalam. Gus Dur bukan sekadar presiden, ia adalah peziarah nilai yang menolak tunduk pada arus mayoritas. Ia bisa tertawa saat dihina, dan tetap berdiri saat disingkirkan. Mungkin ia bukan Übermensch sepenuhnya, tapi ia telah memberi jalan, bahwa keagungan tidak selalu lahir dari otot atau pidato, tapi dari hati yang merdeka.

Seruan Zarathustra dari Timur

Wahai kamu yang membaca, jangan hanya menjadi penonton dalam arena sejarahmu sendiri. Jangan hidup hanya untuk mengulang. Jadilah pencipta. Jadilah penggugat. Dan jika kamu merasa sendiri, anggaplah itu pertanda bahwa kamu belum menjadi kerumunan.

Übermensch bukanlah utopia. Ia adalah tantangan untuk berpikir lebih dalam, merasa lebih jujur, dan hidup lebih berani. Ia tidak datang dari langit, tidak dipilih lewat pemilu, tidak dibentuk oleh survei. Ia lahir dari pergulatan batin, dari penderitaan kreatif, dari kebencian terhadap kepalsuan. Dan mungkin, ia bisa lahir di sini, di tanah yang sedang kehilangan nilai, dalam demokrasi yang sedang kabur, dan di hati seseorang yang tak lagi ingin hidup dengan cara yang lama.


Oleh: Dwi Kurniadi
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak