BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Perempuan Cerdas, Hindari Hubungan Toxic

Penalaut.com
- Masa remaja adalah fase penting dalam proses kehidupan setiap manusia, di mana masa ini mulai membangun hubungan sosial yang lebih mendalam, termasuk pertemanan yang lebih dekat dan hubungan romantis. Meskipun remaja adalah masa yang penuh potensi untuk pertumbuhan dan pembelajaran, hubungan romantis yang dilakukan remaja dalam fase perkembangan ini rentan mengarah ke hal-hal negatif.

Hubungan toxic merupakan hubungan yang tidak sehat dan merusak, baik secara emosional, mental, maupun fisik. Hubungan ini ditandai dengan pola interaksi negatif seperti manipulasi, kontrol berlebihan, kurangnya rasa hormat, hingga kekerasan. Hubungan toxic bisa terjadi dalam berbagai bentuk relasi, termasuk hubungan romantis, persahabatan, atau keluarga.

Hubungan toxic adalah lingkaran hubungan yang tidak sehat dan perlu untuk segera diatasi. Namun terkadang, sebagian besar orang yang berada dalam hubungan ini tidak menyadari bahwa dirinya tengah berada di hubungan toxic. Setiap orang pasti ingin hubungan yang sehat, baik dalam hal pertemanan, percintaan, maupun keluarga.
 
Hubungan toxic (Toxic relationship) adalah hubungan tidak sehat sehingga membuat individu yang terlibat di dalamnya merasa tidak bahagia, direndahkan, mengalami ketidakadilan, selalu menjadi sasaran amarah yang berakhir pada kekerasan verbal, psikologis maupun fisik. Meski sering dikaitkan dengan hubungan antar kekasih, sebenarnya toxic relationship juga bisa terjadi pada ranah pertemanan bahkan keluarga.
 
Hubungan toxic ini merupakan situasi yang tidak dapat dianggap sepele. Jika dibiarkan, hubungan yang tidak sehat tersebut dapat memengaruhi kesehatan mental maupun fisik seseorang di dalamnya. Tidak semua orang yang sedang berada dalam hubungan toxic dapat menyadari situasi dirinya sendiri. Bahkan, beberapa dari mereka menganggap bahwa perlakuan-perlakuan yang didapatkan adalah suatu hal yang normal.

Pada sebagian besar kasus toxic relationship dalam percintaan, pihak yang menjadi korban terkadang tidak menyadari bahwa ia sedang dalam hubungan tidak sehat. Justru, ia akan menganggap sikap pasangannya sebagai hal normal dan tetap bertahan atas dasar cinta. Hal tersebut membuat hubungan toxic yang dialami tak kunjung berakhir dan menjadi berlarut-larut. Padahal, dalam toxic relationship, tak jarang korban mengalami cemas berlebih, stres, hingga depresi bahkan mengalami penyakit tertentu.

Tanda yang paling terlihat jelas dari hubungan tersebut ialah adanya salah satu pihak selalu mengontrol pihak lainnya, tidak dapat menjadi diri sendiri kemudian bersikap seperti apa yang dia inginkan bukan apa yang kamu inginkan, Alih-alih mendapat dukungan dan apresiasi, kamu malah mendapatkan perkataan kasar dan kritik tidak membangun yang bisa menghambat kesuksesanmu, terkadang sering dibohongi dan selalu dicurigai dan dikekang, bahkan hingga menerima kekerasan fisik yang berujung kerugian pada si korban.

Dalam menjalani suatu hubungan, idealnya setiap individu akan saling menyayangi, mengasihi, dan memberikan rasa aman. Namun, pada toxic relationship, salah satu pihak biasanya akan berupaya untuk mendominasi, memanipulasi (gaslighting), maupun sekadar mempermainkan pasangannya (breadcrumbing), banyak orang tidak menyadari bahwa mereka sedang terjebak dalam toxic relationship. Para korban justru menyangkal sikap toxic pasangannya dengan dalih hubungan yang dijalaninya sudah lama atau bertahan atas dasar cinta. Istilah ini disebut dengan sunk cost fallacy. Hal tersebut yang membuat toxic relationship berlangsung lama.

Salah satu karakter yang dapat ditemukan pada hubungan yang toxic adalah demanding atau menuntut. Contohnya adalah dengan menuntut untuk melakukan aktivitas seksual yang tidak diinginkan atau tidak disetujui, dengan begitu mereka akan mencoba bahkan memaksa untuk melakukan tindakan seksual bersama pasangannya. Pihak yang menuntut tersebut kerap menggunakan penyalahgunaan kekuasaan dan kontrol, sehingga dapat memanipulasi pasangannya untuk melakukan hal-hal yang ia kehendaki.

Hal ini kemudian dapat menimbulkan tekanan dan keterpaksaan bagi mereka, sehingga rentan untuk menjadi objek eksploitasi seksual. Ciri-ciri dari hubungan toxic adalah rasa tidak aman (insecurity), penyalahgunaan kekuasaan dan kontrol (abuse of power and control), menuntut (demanding), mementingkan diri sendiri, mementingkan diri sendiri, mengkritik secara negatif, ketidakjujuran, ketidakpercayaan, serta komentar dan sikap yang merendahkan.

Peran perempuan dalam hubungan toxic bisa beragam, mulai dari menjadi korban hingga pelaku, atau bahkan menjadi bagian dari lingkaran kekerasan. Perempuan seringkali menjadi korban karena pelaku dalam hubungan toxic cenderung berusaha mempertahankan dominasi dan kendali. Namun, perempuan juga bisa menjadi pelaku, dan dalam hubungan toxic, baik laki-laki maupun perempuan dapat berperan sebagai pelaku dan korban.
 
Beberapa peran perempuan dalam hubungan toxic diantaranya ialah bisa sebagai korban, seringkali menjadi korban dalam hubungan toxic karena pelaku seringkali mencari cara untuk mengontrol dan mendominasi, dapat mengalami kekerasan fisik, emosional, psikologis, bahkan merasa terjebak dalam hubungan ini karena cinta, ketakutan kehilangan, atau tekanan sosial. Kemudian ketika peran perempuan sebagai pelaku, perempuan mungkin menggunakan manipulasi, kekerasan verbal, atau perilaku negatif lainnya untuk mengontrol pasangannya, merasa tidak aman atau memiliki pengalaman masa lalu yang buruk.
 
Jika perannya menjadi pendukung, maka yang terjadi adalah mereka dapat memberikan dukungan emosional, mengingatkan tentang bahaya hubungan toxic, dan membantu korban mencari bantuan. Namun, dukungan ini juga harus dilakukan dengan bijak agar tidak memperburuk keadaan. Kemudian yang terakhir dapat juga menjadi bagian membantu korban pulih dan membangun kembali kepercayaan diri. Edukasi tentang hubungan sehat dan dukungan psikologis sangat penting untuk membantu perempuan keluar dari hubungan toxic.
 
Penting untuk diingat bahwa setiap individu unik, dan peran perempuan dalam hubungan toxic bisa berbeda-beda tergantung pada situasi dan pengalaman masing-masing. Perempuan seringkali memiliki berbagai sikap dalam menghadapi hubungan toxic, mulai dari bertahan meskipun terluka, berusaha memperbaiki, hingga akhirnya memutuskan untuk keluar dari hubungan tersebut. Tak dipungkiri bahwa keluar dari hubungan toxic bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi jika hubungan yang terjalin sudah lama. Namun, yakin dan percaya bahwa setiap orang berhak mendapatkan pasangan maupun teman yang bisa membuatnya merasa aman dan bahagia.

Perlu diingat bahwa pembahasan tentang hubungan toxic ini tidak dapat menggantikan saran dari tenaga medis profesional. Oleh karena itu, jika Anda merasa sedang berada di tengah-tengah hubungan toxic, sebaiknya segera mencari pertolongan secara profesional. Sebagai perempuan yang berharga diri, wajib sadar sepenuhnya bahwa kita adalah manusia yang memiliki berbagai peran yaitu sebagai adik, kakak, seorang guru pendidik, dan calon ibu dari anak yang akan dilahirkan kemudian hari. Oleh karena itu, jadilah perempuan yang cerdas yang bervalue, berilmu, beriman, serta dapat mengambil keputusan dan langkah yang cepat dan tepat.


Oleh: Nadia Ramadani (Mahasiswi Hukum UIN Sumut-Medan)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak