BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Dengan Hormat; Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu Rusa di Kebun Binatang, Tuan dan Nyonya Pejabat!

Penalaut.com
- Rakyat kecil penduduk Banyuwangi memang sedang ketiban sial. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kesialan-kesialan itu datang beruntun sudah seperti antre masuk pelabuhan ASDP Ketapang. Panjang sekali, dan tentunya bikin pening kepala. Belum lega hatinya akibat penutupan jalur Gumitir yang menyebabkan petani, sopir truk angkut, dan pedagang pasar harus sering pasang koyo di kepala dan beli balsem, masyarakat masih harus menerima kabar adanya kenaikan tarif Pajak Bumi Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2), yang bahkan mungkin tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya kalau kabar ini datang di bulan Agustus. Bukannya menikmati karnaval dengan gelegar musik dari sound horeg, justru kepala mereka menjadi berisik akibat naiknya ‘pungutan wajib’. Beruntungnya kuburan tidak dikenai pajak Bumi Bangunan juga. Kalau iya, bayangkan saja!—jika Tuhan menghendaki—tulang belulang penghuni kuburan bakal datang ikut demonstrasi di depan kantor Pemerintah Kabupaten yang terhormat.

Kalau mau dirunut, pajak ini sebenarnya berakar dari konsep iuran, yang merupakan budaya masyarakat kita yang masih lestari. Asas dasarnya adalah gotong royong, sebuah moralitas agung. Kalau ingin menjadi warga negara yang baik, maka harus bayar pajak. Jika tidak, mungkin sudah setara seorang pengkhianat bangsa belaka. Namun, meski menjadi sebuah budaya, iuran ini seharusnya tidaklah bisa sembarangan menentukannya. Seorang Ketua RT yang hendak melakukan perbaikan mushola umum, misalnya. Haruslah mengerti kondisi tetangga sekitar mushola terlebih dahulu sebelum menentukan berapa iuran yang harus mereka tanggung. Ukurannya harus manusiawi. Apa guna tempat ibadah di bangun bermegah-megah jika jamaahnya masih kelaparan? Nanti jatuhnya bukan lagi gotong royong, tapi menindas.

Pun demikian yang terjadi kepada rakyat kecil Banyuwangi, kesialan mereka ternyata bertambah lagi satu. Jika keliru dalam menanganinya, bisa-bisa rentetan kesialan itu semakin bertambah panjang. Bebannya tambah berat, kepalanya kian pening, dompetnya makin kosong, dan bisa-bisa mereka lari ke hutan—memilih tinggal dan berburu di sana. Setidaknya makanan dan tempat tinggal di hutan tidak dihantui pajak.

Duduk Perkaranya Begini...

Semula dalam Pasal 9 Perda Kabupaten Banyuwangi Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Banyuwangi menerapkan kebijakan fiskal berupa penentuan pajak bumi dan bangunan secara multi-tarif, yakni; untuk NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) dari sepuluh juta sampai dengan satu milyar rupiah sebesar 0,1 persen per tahun; untuk NJOP di atas satu sampai lima milyar rupiah sebesar 0,2 persen per tahun; sedangkan untuk NJOP di atas lima miliar rupiah sebesar 0,3 persen per tahun. Namun saking manutnya kepada atasan, berdasarkan rekomendasi Kementerian Dalam Negeri kepada pemerintah daerah untuk menyamaratakan pungutan pajak bumi bangunan. Akhirnya melalui keputusan Pemkab Banyuwangi dalam rapat Paripurna tanggal 6 Agustus 2025, ketentuan dalam pasal 9 Perda tersebut diubah menjadi 0,3 persen seluruhnya (single-tarif), tanpa ada pembedaan NJOP seperti sebelumnya.

Sebagai perumpamaan, katakan seorang rakyat kecil memiliki rumah di pinggir kali dengan akses masuk yang sempit dan luas tanah yang menyedihkan. Pada mulanya hanya diwajibkan membayar pajak sebesar 0,1 persen dari nilai harga rumah tersebut yang ditetapkan oleh pemerintah (NJOP). Sehingga misalnya kita asumsikan bahwa harga rumah tersebut ialah 30 juta rupiah dalam NJOP, maka kewajiban si rakyat kecil untuk membayar pajak rumahnya adalah 30 ribu rupiah setiap tahun. Apabila rancangan perubahan Perda 1/2024 PDRD tersebut di laksanakan, maka beban pajak yang ditanggung oleh si rakyat kecil bertambah menjadi 90 ribu per tahun, karena beban pajaknya naik tiga kali lipat.

Memang betul tidak satu pun daerah di Indonesia yang tidak menjalankan kebijakan fiskal ini. Sekalipun berbeda-beda saja bentuknya, namun sistemnya juga masih sama. Bahkan sejak masa kolonial dan kerajaan, kita sudah mengenal istilah upeti. Ini mau dibilang keteledoran bisa, mau dibilang kemalasan juga bisa. Sebab apa sebenarnya yang sudah berubah melalui sistem tua ini? Buat apa itu bendahara yang ada di setiap instansi pemerintahan, apakah fungsinya hanya mengatur dan mencatat saja? Toh, tak seorang pun bisa menghitung berapa banyak sarjana ekonomi di Banyuwangi. Barangkali jumlahnya sama dengan pohon yang di tebang akibat dibukanya tambang, tapi hanya Tuhan yang tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan.

Lagi-lagi kebijakan fiskal—bahkan kebijakan apa pun—haruslah berorientasi untuk menyejahterakan rakyat kecil, lebih maju, dan lebih membikin tenteram hati penduduk. Kalau tidak, bukannya memberi untung, malah bikin dompet jadi buntung. Pemerintahan yang baik adalah yang berorientasi kepada rakyat kecil, bukan berorientasi memanjakan para tuan-tuan besar yang punya mainan alat berat itu. Sekalipun penarikan pajak bumi dan bangunan ini telah banyak dinilai menjadi investasi yang stabil bagi pendapatan asli daerah. Sebab bangunan dan tanah mana yang akan berpindah tempat? Sehingga ketika suatu tanah atau bangunan menjadi salah satu objek pajak, pastilah akan tetap dikenai pajak sampai tanah dan bangunan tersebut secara resmi tidak digunakan oleh manusia.

Tapi penilaian tetaplah penilaian. Bukankah Deddy Corbuzier menganggap bahwa nilai di ijazah saat ini tidak lagi menjadi tolok ukur kemampuan seseorang untuk bekerja di perusahaan? Saya rasa logika yang sama bisa kita gunakan dalam merenungkan kebijakan ini. Kebijakan yang dinilai baik, belum tentu bisa digunakan begitu saja. Butuh seleksi ketat. Sehingga logika yang menjerumuskan ini tidak hanya berlaku bagi sarjana nganggur yang ingin cari kerja saja, tapi juga bisa diterapkan dalam menilai buah pikiran pemerintah. Biar impas. Sehingga kalau boleh dikata, bukankah lebih baik menarik upeti dari sumber daya yang diambil dari perusahaan-perusahaan itu daripada membikin kebijakan yang membingungkan ini? Hal ini mestinya menjadi pertimbangan untuk memikirkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) itu.

Maka, Saudara-saudara Sekalian...

Menanggapi hal semacam ini masyarakat tidak perlu panik. Bapak Guntur Priambodo, Sekretaris Daerah (PJ Sekda) Kabupaten Banyuwangi, sepertinya sepakat dengan pendapat saya yang satu ini, sebab kalimat penenang ini telah disampaikannya melalui berbagai media di Banyuwangi. Beliau ini ibarat kusir dokar yang mengendarai kuda gila, namun hanya berusaha menenangkan penumpang, karena takut para penumpang nekat melompat keluar dokar dan tidak bayar ongkos. Sebatas menenangkan saja, tanpa memberikan kepastian. Walaupun ia juga takut kalau-kalau kudanya lari dan nyemplung ke jurang, dan berakhir dihajar habis-habis oleh penumpangnya yang kecewa atas kegilaan kudanya.

Hal ini menjadi soal lain, karena Tuan dan Nyonya pejabat di Banyuwangi ini berbeda-beda argumentasinya dalam merespons tanggapan publik. Dan ini sangat membikin bingung. Sebab respons masyarakat yang menjadi kritik kebijakan, malah dibalas dengan respons pula. Bukan malah rapat ulang dan memperbaikinya.

Bapak Guntur Priambodo menjelaskan dalam laporan Times Indonesia, bahwa Bupati Ipuk Fiestiandani tidak memiliki proyeksi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menaikkan tarif PBB-P2 (Baca di: Times Indonesia, 2025). Namun dalam dokumen resmi Laporan Hasil Pembahasan atas Raperda tentang Perubahan Perda Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tanggal 6 Agustus 2025, poin kedua dengan terang berbunyi; 

Ketentuan pasal 9 ayat (1) diubah, Berbunyi ayat (1) Besarnya tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen)

Dari sebelumnya membagi tingkatan tarif pajak berdasarkan NJOP menjadi tiga tingkatan seperti telah dijelaskan sebelumnya. Membaca hasil rancangan perubahan Perda ini dan melihat tanggapan Pemkab Banyuwangi, sudah terang bin jelas bahwa telah muncul ambiguitas dalam respons Pemkab Banyuwangi menanggapi tanggapan publik. Dan ini sangat membikin bingung.

Bicara perihal fenomena perbedaan dalam media massa ini, Noam Chomsky dalam Politik Kuasa Media (1988) memperlihatkan keraguannya terhadap media yang di umpamakan pada percakapan Bajak laut dengan armada pasukan laut pada zaman pertengahan. Saat bajak laut tersebut tertangkap dia mengajukan keberatan terhadap pasukan laut tersebut dengan mengatakan "Mengapa saya yang kecil disebut perampok, sementara Anda yang mengambil upeti dalam jumlah besar di sebut pahlawan?" kisah tersebut dapat di telaah bagaimana peristiwa yang sama dapat mendapatkan makna yang berbeda. Kisah tersebut juga dapat menunjukkan pada kita bagaimana media massa dapat di jadikan sebagai alat yang ampuh dalam perebutan makna. Mereka yang berhasil membangun citra akan mendapatkan legitimasi publik yang sesuai dengan apa yang mereka ingin, atau sebaliknya.

Maka saya teringat dengan slogan “Setop Bayar Pajak” yang menjadi ungkapan ekspresif Warganet (baca; Netizen) ketika beredar rekening gendut dan kekayaan eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak terbongkar di jagat maya di tahun 2023 lalu. Ungkapan kekesalan ini semakin marak saat mantan Menkopolhukam, Mahfud MD menyatakan ada pergerakan uang mencurigakan sebesar Rp300 triliun di Ditjen Pajak dan Bea Cukai. Slogan ini bentuknya hampir sama dengan tren pengibaran bendera “Jolly Roger” yang baru-baru ini ramai menjadi perdebatan publik. Meski ketiban sial berkali-kali akibat kebijakan, beruntungnya masyarakat selalu punya ide kreatif untuk menyuarakan ‘rasa muak’. Termasuk terhadap kebijakan pajak yang terjadi di tahun 2023 tersebut.

Sebab ibarat kata, kenaikan pajak ini seperti berburu rusa di kebun binatang. Mudah sekali dapatnya. Rusa yang dikerangkeng tidak akan bisa lari ke mana pun kecuali hanya bertengger di pojokan kandang, sambil berharap Tuhan mau memberikan umur panjang padanya. Kecuali ia mau berteriak kencang dan membangunkan gajah serta binatang lainnya untuk membantunya mengusir manusia pemburu itu. Sehingga bukan tidak mungkin apabila slogan semacam “setop bayar pajak” didengungkan kembali di Banyuwangi. Mungkin kalau mau lebih kreatif, slogannya bisa diganti “rumah kami kecil, mengapa pajaknya besar?”.


Oleh: Hafid Aqil - PAD (Pemuda Asli Daerah) Banyuwangi
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak