BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Dunia Nyata Tidak Punya Kurikulum Tetap

Penalaut.com
- Di ruang kelas, semuanya tampak bisa diprediksi. Jadwal pelajaran tertempel di papan, silabus dibacakan di awal semester, dan guru menyusun materi dengan rapi seperti susunan puzzle. Bab satu mendahului bab dua. Setelah teori, praktik. Setelah praktik, evaluasi. Sistem pendidikan kita dirancang seperti jalur kereta: lurus, teratur, dan terdapat pemberhentian yang pasti. Tapi begitu lonceng sekolah berhenti berdentang, dan kita melangkah keluar menuju dunia yang katanya “nyata”, kita tersadar: tak ada rel yang lurus. Tak ada kurikulum tetap. Tak ada kisi-kisi hidup.
Karena hidup bukan soal linearitas. Ia tidak pernah tunduk pada urutan.
Kadang kita belajar dulu, lalu gagal. Tapi sering kali kita gagal dulu, baru belajar. Dunia nyata mematahkan anggapan bahwa semua bisa direncanakan. Bahwa kita bisa mempersiapkan segalanya lewat pelajaran di buku teks. Sebab, kenyataan tak datang dalam bentuk soal pilihan ganda. Ia hadir dalam bentuk kehilangan, keputusan tergesa, atau perubahan rencana yang tak terduga.

Sekolah mengajarkan sistem, tapi hidup mengajarkan absurditas. Di sekolah, kita ditanya “Apa nama ibu kota negara?” Tapi di luar sana, kita ditanya “Apa yang membuatmu betah di suatu tempat?” Kita diajari menghitung peluang dalam statistik, tapi tidak diajari bagaimana menghadapi ketidakpastian hidup yang tak bisa dikalkulasi. Kita belajar fisika tentang gaya dan tekanan, tapi tak pernah tahu bagaimana menghadapi tekanan yang datang dari dalam diri: kecemasan, kehilangan arah, atau perasaan gagal menjadi ‘seseorang’.

Dunia nyata menghapus garis tegas antara benar dan salah. Apa yang dulu dianggap kegagalan bisa jadi pijakan menuju keberhasilan. Dan sebaliknya, keberhasilan hari ini bisa menjadi penjara bagi esok yang menuntut perubahan. Orang yang mendapat nilai sempurna di sekolah belum tentu bisa membaca isyarat kehidupan. Sedang mereka yang dulu dianggap biasa-biasa saja, justru bisa menjadi luar biasa ketika dunia menuntut adaptasi, bukan sekadar hafalan.

Di ruang kelas, kita hidup di bawah jam dinding. Di dunia nyata, kita hidup di bawah ketidakpastian. Tak ada pengawas yang mengawasi kita menjawab hidup. Tak ada penghapus coretan salah. Semua yang kita pilih akan membekas, dan kita harus bertanggung jawab bukan pada guru, tapi pada diri sendiri. Dunia nyata tidak memberi jeda waktu untuk remedial. Tapi ironisnya, justru di situlah pembelajaran yang paling ikhlas terjadi.

Kita belajar bahwa mencintai seseorang tidak diajarkan oleh teori psikologi cinta, tetapi oleh patah hati dan kecewa. Kita tahu makna kerja keras bukan dari motivasi di buku pengembangan diri, tapi dari pagi-pagi minum kopi dan malam yang tidak pernah cukup untuk tidur. Kita paham bahwa kebaikan tak selalu dibalas kebaikan, dan kadang, kejujuran tidak menjamin keselamatan. Nilai-nilai hidup tidak bisa dirangkum dalam tabel kompetensi dasar. Mereka hadir lewat pengalaman, dan pengalaman tak pernah bersifat seragam.

Lalu, apakah sekolah tak penting? Tentu penting. Tapi itu saja tidak cukup.

Sekolah hanya memberikan alat. Dunia yang mengajari bagaimana cara menggunakan alat itu dalam hutan yang tak berpeta. Sekolah memberi teori. Dunia menguji apakah teori itu bisa bertahan dalam lumpur kenyataan. Kita butuh pendidikan, tapi kita juga harus sadar bahwa pendidikan formal bukan satu-satunya jalan menuju kedewasaan.
Kita hidup di zaman ketika ijazah menjadi bukti, tapi pengalaman menjadi pondasi. 
Dunia kerja tidak hanya mencari siapa yang tahu, tapi siapa yang sanggup bertumbuh. Bukan siapa yang punya gelar, tapi siapa yang punya daya lenting. Resiliensi. Adaptabilitas. Dan semua itu tidak ada dalam kurikulum.

Karena itu, bersyukurlah ketika hidup tidak berjalan sesuai rencana.

Bersyukurlah ketika kau tersesat, ketika rencanamu gagal, atau saat kau merasa bingung akan masa depan. Sebab justru di situlah hidup bekerja: ia sedang menyusun pelajaran dengan kurikulumnya sendiri. Kurikulum yang tak bisa disalin, tak bisa ditiru, dan tak bisa ditentukan oleh siapa pun selain dirimu sendiri. 

Hidup bukan tentang menghafal langkah, tapi tentang caramu melangkah dalam hidup yang penuh ketidakpastian ini. Dunia nyata tidak butuh jawaban yang seragam, yang dibutuhkan adalah keberanian untuk bertanya ulang. Ia menuntut kita untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat, bukan hanya sampai wisuda sesaat.

Dan mungkin, justru karena dunia nyata tak punya kurikulum tetap, kita bisa menjadi manusia utuh, yang belajar bukan untuk ujian, tapi untuk hidup itu sendiri.

Dunia nyata tidak akan bertanya “Apakah nilai ujian sekolahmu bagus?”
Tapi dunia nyata akan bertanya: Apakah kau bisa bangun setelah gagal? 
Apakah kau bisa bertahan saat dunia tidak berpihak kepadamu?”
Dan itulah ujian yang sesungguhnya.


Oleh: David Yogi P. 
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak